Fanny Wiriaatmadja

Archive for November 2013

Dalam hari yang biasa-biasa saja aku sudah benci tempat semrawut ini, apalagi setelah hujan singgah mengguyur, kemudian tanpa dosa menyisakan prasasti berupa kolam-kolam kecil yang sukses terbentuk dari ceruk yang terserak di sepanjang jalan, bukti pengabaian pemerintah akan kondisi infrastruktur daerah ini.

Jalan becek, alhasil berjalan harus ekstra hati-hati kalau tidak mau noda hitam air sisa hujan melekat mesra di kakimu.

Kutahan-tahan deritaku walau mulut konsisten mengutuk. Sabarlah, gumamku, sebentar lagi semua tak lagi begini.

Kiri kanan semua wajah tukang jualan langgananku muram durja. Mendung penyambut hujan sudah lama reda, tapi pasar ini punya mendung yang baru.

Mbok Kikir –dipanggil seperti itu karena kekikirannya dianggap tak masuk akal- yang biasa sibuk menjerit histeris, membalas sengit gerutuan pelanggannya yang protes akan biaya-biaya ekstra yang dikenakan seenak jidat, kini diam seribu bahasa dengan bibir terkatup rapat. Muka judesnya makin menyeramkan. Ajaibnya lagi, saat aku meminta kantung plastik untuk daun seledri belanjaanku, dia memberikannya cuma-cuma tanpa sepatah kata pun keluar!

Mang Uja, penjual tomat, lain lagi. Kalau biasanya bibir manisnya mendayu-dayu penuh rayu pada pelanggannya, kini kata-kata gombalnya berganti helaan napas berkali-kali. Sengaja disuarakan kencang-kencang, pertanda sifat suka jadi pusat perhatiannya belum digerus mendung massal ini. Hanya wajahnya saja yang terlihat asam. Ucapan terima kasihku hanya dibalas anggukan kaku. Aku jadi sedikit rindu pekik histerisnya, “terima kasih kembali, wahai manisku cintaku yang menawan indah..”

Terakhir saat mampir ke tempat Bang Jawir si tukang ayam, aku bengong melihat dirinya sudah tampak dari jauh. Utuh. Lazimnya, wajahnya akan tertutup setumpukan ayam-ayam yang baru dipotong. Dia diam bergeming dengan tatapan hampa, seolah sedang ada di alam lain.

“Ayamnya mana, Bang?” seruku heran.

Dia menggeleng-geleng, pasang raut terganggu dan menatapku sebal seolah pertanyaanku menyentil harga dirinya. Terpaksa ayam absen kubeli hari ini. Maklum hanya si abanglah penjual ayam satu-satunya di pasar ini.

Sesi belanja selesai, segera kuputuskan kembali ke rumah. Nuansa riuh rendah khas pasar ini benar-benar sudah lenyap. Semua keributan tawar-menawar dan segala perdebatan jual-beli seakan tamat riwayatnya. Pasar ini sedang menjemput ajalnya.

Ah, peduli amat, langkahku toh tetap ringan tanpa beban. Besok hypermart baru di blok sebelah resmi buka. Nyonyaku sudah bilang, selanjutnya kami akan belanja di sana.

Selamat tinggal becek, panas terik dan segala jenis bau-bauan pasar! Aku bahagia!

Total Kata : 365

Diikutsertakan dalam tantangan #BeraniCerita untuk membuat flash fiction dengan setting pasar tradisional.

thinking

Imaginary ‘machines’ that always comes to mind, hoping for miracle to be something real in this universe :

1. Mind-Erasing-Machine
It’s almost always difficult to find a good book, and it feels so damn sorry when you finally finished a good one, even if you’ve tried to read it very slowly and enjoy every second, every page. At the end, the book will reach ‘The End’ part, and you will feel something terrible like you lose a loved one. So that’d be more than enough if we can erase our mind, totally forget what the book has told us, and re-read again since the very first page. Ummmmm.. I can feel the adrenaline overflow inside, just by imagining that kind of machine. Good story is a treasure of mind, I bet you agree with me, and if you don’t, I won’t even pay you anyway 😀 If this machine does exist, you might use it for different purpose – forget someone you hated or ever loved, but I myself will definitely use it only for above reading purpose.

2. Time-Machine
One thing is I’m not so sure is whether you can change the history by travelling back to the past. If yes, I don’t think it’s a good idea, since your effort doesn’t guarantee that your life will be better. Do you really need to go back to the past (says), to keep changing your life path, as if you were in our childhood book, where the story provide you more than one alternatives so that you can choose and you’ll be directed to certain page and repeat then re-select once you find an unsatisfied ending? I will only use this machine to back to the past where I can see my father’s face again. Go through every single detail in his face – his smile, his wrinkle, his warm eyes, his nose (that’s 100 % the clone of mine) and put deeply in mind. That’s it, as I miss him so much. Then, back to the machine, same thing for future, are you dare to see your future and your death? I prefer no and live my life as it is now, happily.

3. Doraemon-Magic-Door
This is a tool where you can go everywhere, almost similar like no. 3, but I define this as a machine where you can go everywhere in the present. Well I’d love to have this too, no need a long explanation. Travelling is addictive, that’s it 😀

4. Know-Someone’s-Heart-and-Mind-Machine (or advanced version of lie detector)
I always and will always want to have this, but at the end the doubt always wins, as I know exactly what person I am. I’m bad in dealing with truth. I can’t manage it very well, so may be sometimes it’s good not to know someone’s real heart or mind. If they do lie, then let it be. May be protecting your heart is all that you need, rather than to be a ‘master-of-knowing-everything’ and at the same time, your heart is broken into pieces. So maybe I’ll skip to have this even if the temptation will always strike.

5. Aladdin Genie in The Bottle
Perfect stuff, grant you opportunities to make your dream come true, but it’s clear enough, this is too good to be true. Let it stay forever in the Disney world only.

Same like when people in the past assumed the idea of inventing the plane as crazy, we might have the same idea of above machines. But who knows what will happen in the future, with this crazy world?

Have a good day..

the%20letterasasa

Sepucuk surat di celah kotak pos mencuri secuwil perhatianku. Cepat aku meraihnya dengan sedikit prasangka akan melihat tagihan kartu kredit atau brosur iklan produk tertentu.

Nama ayah -tercantum di amplop itu- mengejutkanku. Serangan kaget kedua menyusul saat kulihat alamat pengirim dari negeri seberang sana. Entah kenapa refleks aku menoleh kiri kanan sebelum kusobek cepat amplop itu dan kubaca surat di dalamnya.

Sebuah tulisan tangan bergaya sambung yang menawan menyambutku. Ada bau parfum yang menyengat pula, jelas disemprotkan ke kertas warna krem itu. Lekas kulahap semua yang tertulis itu, lantas tertegun.

Ini kekasih lama ayah. Kekasih di masa mudanya yang mengirim surat lewat pos karena ayah tak kunjung membalas pesan elektroniknya. Wanita itu memberitahukan kepulangannya kembali ke tanah air setelah 29 tahun, plus mengundang ayah bersua. Isi surat itu aneh, penuh mesra yang mengundang risih. Sebagian kenangan romansa mereka tergurat pula di situ. Tanpa mengenalnya pun, aku sudah pasti tidak suka wanita ini.

Tak sanggup menyimpan beban ini sendiri, bergegas aku menuju kamar ibu. Ibu membacanya, gradasi raut mukanya jelas terlihat. Tenang berubah jadi tegang.

“Dewi..” lirih ibu bergumam, mengucapkan nama keramat itu.

“Apa dia benar kekasih ayah?” Aku bak bodoh mengucapkannya, tak menemukan hal lain untuk dirangkai dalam ucap.

Ibu mengangguk kaku.

Aku menatap ibu, menyelidik raut wajahnya. Ada cemburukah? Atau rasa tidak nyaman? Secercah benci? Entah, tak kudapat jawabnya.

“Kalau ayah membaca surat ini, mungkin..” Ucapanku tak mengenal tanda titik, ibu sudah keburu menoleh dengan wajah beringas. “Kamu tahu itu tak mungkin!” bentaknya. Aku diam lagi.

Benar, ayah tidak akan mengetahui keberadaan surat ini. Wanita ini tidak akan bisa sembarang menemuinya. Tidak, kalaupun ayah masih hidup. Tidak, walaupun ayah masih sanggup menghela napas melawan kanker ganas itu. Surat ini sudah pasti tidak akan kami sampaikan padanya.

Kubakar surat itu sore itu juga. Lenyap habis, raib tanpa sisa.

Total Kata : 296

– Untuk berpartisipasi dalam #Prompt 30 MondayFlashFiction (MFF) dengan judul “Sang Mantan”.

timthumb

Buku karangan Jennifer Nielsen ini saya pilih karena berdasarkan hasil membaca sekilas, halaman-halaman pertamanya bikin saya lumayan penasaran dan kagum dengan dialog yang sangat smart, ditambah tentu saja temanya yang memang menarik. Ahh maka tanpa ba-bi-bu buku ini kutetapkan sebagai buku terpilih untuk dibeli hari itu, dan TADAAAA, dia resmi memenangkan kompetisi melawan beribu buku lain di Gramedia.

Sesuai namanya, buku ini menceritakan tentang upaya seorang bangsawan bernama Conner untuk mencari kandidat pangeran palsu dari panti-panti asuhan di seluruh negeri. Maklum raja, ratu dan pangeran pertama negeri itu, Darius, baru saja mati diracun, sementara sang pangeran muda Jaron juga telah hilang bertahun-tahun lalu dan dianggap sudah tewas dibunuh para perompak negeri lain. Pangeran palsu ini dicari sedemikian rupa yang perawakannya menyerupai kondisi Pangeran Jaron bertahun-tahun lalu di detik-detik terakhir kematiannya, dan akan dinobatkan sebagai raja sekaligus untuk membuat posisi Conner aman sebagai regen utama di negeri itu.

Maka setelah mendapatkan 4 anak yatim piatu yang dianggap sesuai, Conner mulai melakukan berbagai pelatihan dan gemblengan untuk membuat para anak itu siap melakoni peran mereka sebagai pangeran palsu. Siapakah dari antara mereka yang akan terpilih sebagai kandidat paling qualified?

Well, tokoh utama dalam buku ini adalah Sage, seorang anak yatim cum pencuri yang dipilih paksa oleh Conner karena kemiripan fisiknya dengan Pangeran Jaron. Setelah mengetahui duduk perkaranya, Sage yang keras kepala dan berlidah tajam tentu saja berusaha melawan Conner mati-matian dan menghalangi rencananya liciknya. Sayangnya karena hidup matinya berada di tangan Conner, terpaksa ia dan teman-teman sekalgus saingannya itu mengikuti kemauan Conner dengan terpaksa.

Tema buku ini walaupun menarik, sepertinya bukan hal yang baru. Saya rasa ada banyak buku di luaran sana yang beridekan sama –tentang putri/pangeran yang hilang. Kelebihan buku ini, seperti yang sempat saya bahas di atas, adalah dialog-dialognya yang cerdas. Adu mulut antara Sage dan Conner maupun Sage dan teman-temannya disampaikan dengan tajam, sesuai karakter Sage yang memang bermulut pedas. Kata-kata di sini dijadikan senjata untuk memenangkan liga perbantahan yang selalu terjadi hari demi hari dalam sesi pelatihan mereka.

Di luar dialog-dialog tajam yang menjadi kekuatan utama buku ini, menurut saya ceritanya cukup naik turun; kadang bisa seru dan bertempo cepat, kadang bisa lambat dan cenderung membosankan sehingga sesekali saya melewatkan berbagai bagian yang terlalu mendayu-dayu dan panjang.

Twist yang dijanjikan di akhir buku ini pun ternyata kurang memenuhi ekspekstasi saya. Cukup mudah tertebak dan ada kerancuan kalimat yang digunakan saat menyampaikan twist tersebut, sehingga baru 1 bab setelahnya saya ‘ngeh’ akan twist yang dimaksud. Entah, apakah para pembaca lain akan mengalami hal yang sama.

Dalam benak saya, twist yang bakal lebih menggigit adalah bila pangeran Jaron yang asli adalah Latimer (atau siapa itu ya namanya), anak yatim piatu yang mati dibunuh Conner di awal, tapi tentu saja twist ala saya ini akan menghancurkan keseluruhan cerita dan lebih baik bukunya ga usah dibuat 😀

Overall buku ini cukup menghibur. Lihai dan cerdas, again, adalah kata-kata yang tepat untuk menggambarkannya. Otak saya dipaksa berpikir dan mencerna cepat setiap melahap dialog-dialog yang ada. Karakteristik tokoh cukup kuat dan konsisten, tapi memang kadang alur dan tempo jadi sedikit masalah dalam buku ini.

Kemudian dengar punya dengar ternyata buku ini punya dua sekuel lagi. Hmmh bolehlah saya hunting lagi nanti next sekuelnya.

Score : 8

Cerita ini memenangkan tantangan BeraniCerita #37

“Bu, buat apa beli sarung banyak begini?” Ida mengernyitkan kening, menyapu sekilas tumpukan sarung yang terserak di ranjang ibunya.

Ibu tersenyum. “Untuk dibagi-bagi dong Nak.. Buat tukang sayur, tukang jamu, tukang sampah, dan lain-lain.. Kan sudah mau hari raya,” katanya.

“Tukang sampah? Ibu tidak salah? Orangnya galak begitu, setiap kali hanya sungut-sungut yang keluar dari mulutnya setelah mengambili sampah kita, Bu! Kadang dia sengaja membuat halaman kita jadi lebih berantakan, mentang-mentang rumah kita rumah kontrakan kumuh..” dengus Ida.

Ibu hanya tersenyum sambil merapikan sarung-sarung itu. Bayu, adik Ida, yang asyik bermain mobil-mobilan di lantai, tampak tidak terganggu oleh perdebatan kecil itu.

“Jangan begitu, Nak.. Hanya karena kasar perangainya, tidak berarti dia orang yang jahat. Mungkin berat pekerjaan dan beban hidupnya yang membentuknya jadi orang berkarakter keras. Kita tak tahu kan? Jangan menilai orang semata-mata dari yang nampak oleh dunia..”

Ida menunduk. Ibunya memang bijaksana. Kehidupan sulit selepas kematian ayah mereka tidak membuatnya jadi lemah, malah semakin mengasah dan mengokohkan mentalnya. Kehilangan sosok yang disayangi dan dikagumi tidak mematahkan semangatnya sama sekali, yang ada seolah membakar dan membuatnya jadi lebih hidup.

“Yang terpenting sekarang,” ibu menambahkan, “adalah kita tetap menabung pahala selama di dunia. Kelak amal kebaikan kita akan membawa kita ke Surga.”

Ida termenung. Dilihatnya mata besar adiknya meliriknya sekilas, seperti mengejek kepicikannya. Malu berdesir sesaat dalam hatinya.

*

Lusa harinya, ibu kebingungan mencari sarungnya yang hilang. Setumpukan sarung dalam aneka ragam motif itu raib entah ke mana. Sepanjang siang ibu dan Ida mencarinya, nihil tetap hasilnya. Dalam takjub tanpa bersua jawaban, mendadak seorang tetangga mengadu, katanya melihat tukang sampah membawa setumpukan sarung keluar dari halaman rumah ibu kemarin.

Ida berang bukan kepalang. “Apa kubilang, Bu!” geramnya. Tangannya mengepal.

Ibu masih berusaha menenangkannya. “Jangan menuduh dulu, Nak.. Nanti sore coba kita tanyakan baik-baik ke bapak itu..”

Ida tahu ibu juga gelisah. Terlihat jelas dari kegugupannya memainkan deretan rapi mobil-mobilan Bayu di atas meja belajar. Tidak murah harga semua sarung itu. Dalam keterbatasannya, ibu masih memikirkan mereka yang lebih membutuhkan. Kadang Ida tidak habis pikir.

Sore itu, yang dinanti-nanti datang menunaikan tugas. Anehnya, mukanya sumringah. Jelas tidak seperti biasa. Didekatinya ibu dan Ida yang telah berpose kaku di pintu rumah.

“Bu, terima kasih atas sarungnya,” katanya penuh syukur sambil menunduk-nunduk.

Ibu dan Ida terbelalak. “M-maksudnya?” kata Ida.

Sang tukang sampah mulai kebingungan. “Ng, itu, setumpukan sarung yang kemarin anak lelaki Ibu kasih untuk saya.. Katanya itu Ibu beli untuk saya?”

Ibu dan Ida bengong, hilang daya untuk berkata.

Mendadak Bayu yang baru bangun tidur siang muncul sambil membawa kantung plastik berisi mobil-mobilannya.

“Mas, ini untuk Mas lagi,” katanya riang. Disodorkannya kantung plastik itu pada si tukang sampah. Semua terdiam lagi dalam kebingungan.

Bayu menoleh ke Ibu dan Ida, matanya mengerjap bahagia.

“Bayu ingin beramal sebanyak-banyaknya,” bisiknya, “supaya bisa ke Surga seperti kata Ibu. Bayu ingin ketemu ayah..” dia tersenyum sangat manis.

Total Kata : 469

Diikutsertakan dalam tantangan #BeraniCerita dengan tema sarung.

untitledasasaaas

Catching Fire, sekuel kedua dari Hunger Games, muncul minggu kemarin di bioskop.

Katniss Everdeen dan Peeta Melaark (maap amburadul nulis namanya) yang telah memenangkan kompetisi Hunger Games, kini harus melakukan parade ke semua distrik dalam rangka kemenangan mereka. Tanpa disadari, kedua remaja ini ternyata telah menjadi simbol kekuatan dan pengharapan dari semua distrik, otomatis menyulut semangat pemberontakan yang mengkhawatirkan Presiden Snow dan Capitol. Katniss dan Peeta pun dianggap ancaman kini oleh sang Presiden, dan beliau telah memberikan ancaman secara eksplisit pada Katniss.

Setelah tour mereka selesai, Presiden mengadakan kembali kompetisi Hunger Games dengan tujuan membunuh Katniss dan Peeta, dimana semua pemenang tahun-tahun sebelumnya diikutsertakan lagi dalam turnamen itu, tentunya termasuk Katniss dan Peeta serta Haymitch, mentor mereka yang juga merupakan juara di tahun-tahun sebelumnya. Dimulailah lagi neraka hidup-mati mereka.

Surprisingly, film ini ternyata bisa mengadaptasi bukunya dengan sangat baik, in my opinion.

Paruh pertama menceritakan tentang kehidupan Katniss sebagai ‘selebriti’ pasca kemenangannya bersama Peeta, ditambah beberapa bumbu percintaan dan tour mereka ke distrik-distrik. Favorite scenes saya adalah setiap kali Cesar sang MC acara muncul di panggung. Aktingnya sangat natural dan hidup, benar-benar mewakili gaya dan style Capitol yang serba wah. I had so much fun watching him! Puncak perayaan di Capitol juga sangat megah dengan dekor yang sangat cantik dan super keren. Jangan lupakan juga pidato pertama Katniss di Distrik 11 untuk mengenang Rue. Begitu sederhana, namun sanggup bikin mata saya agak berkaca-kaca entah mengapa. Mungkin ekspresi Katniss yang terluka cukup menyentuh hati. Oh ya, satu lagi, tatapan Katniss ke Presiden Snow saat mereka keliling dengan kereta kuda juga super keren. Dalam, menusuk.

Scene sebaliknya, yang menurut saya picisan walaupun hanya sekian detik adalah aksi Katniss dilamar oleh Peeta di panggung, yang disiarkan lewat televisi. Akting Katniss saat itu yang menaruh kedua tangannya di dada tanda terharu sepertinya terlalu ‘murahan’ walaupun memang sih jelas dalam film itu pun reaksi bahagianya hanya pura-pura. Entahlah, saya pikir mestinya responsnya lebih manis dan lebih enak dilihat 🙂 Satu lagi akting Katniss yang saya rasa berlebih adalah saat dia bermimpi buruk dan (seperti biasa) menjerit-jerit. Kedatangan Peeta yang hanya sekian detik juga sepertinya terlalu cepat, sedikit tidak masuk akal.

Scene lain yang menurut saya agak kepanjangan dan sedikit membosankan adalah dialog-dialog antara Katniss dan Presiden Snow, atau Presiden Snow dengan Plutarch, si Kepala Seksi Permainan yang baru. Apakah kalau diperpendek esensinya akan berubah? Rasanya tidak. Bahkan saya malah tidak terlalu paham inti pembicaraan Presiden Snow dan Plutarch terkait rencana mereka.

Paruh kedua menceritakan turnamen Hunger Games yang sangat menegangkan. Kamu akan menahan napas berharap scene demi scene cepat selesai supaya adrenalinmu bisa sedikit cool down.

Secara keseluruhan, sekali lagi buat saya film ini memuaskan, apalagi didukung durasinya yang hampir mencapai 2,5 jam.

Jennifer Lawrence sebagai Katniss tampil OK-OK saja, meskipun saya lebih suka aktingnya di Silverlining Playbook yang menawan. Anyway, saya noticed bahwa Jennifer memang ahli menjerit-jerit dan berteriak-teriak histeris dengan cukup alami, dan saya berharap di film berikutnya dia bisa memainkan role lain yang lebih beda, bukan lagi sosok cool pendiam dingin seperti film-filmnya sebelumnya (jangan lupakan pula X-Men, kalau saya tidak salah).

Sedikit tambahan tidak penting, sesi nonton kali itu sedikit bikin emosi naik karena hampir sepanjang film, serombongan abege ga jelas terus-menerus memekik dan cekikikan tanpa sebab, persis seperti pengalaman saya nonton film Twilight. Sumpah, lagi adegan datar-datar aja, mereka bisa tahu-tahu menjerit histeris atau tertawa aneh bin ajaib. I know, mereka itu remaja, mereka itu abege, tapi behave sedikit mestinya bisa kan ya, karena swear their attitude is sucks, Man.. annoying banget. Being a teen doesn’t justify your silly attitude, especially when you do it at public place T_T

Score : 8

Face_to_Face_Web

Pintu kuketuk –sedikit ragu. Tak lama, kamu muncul, membukakannya. Menatapku sebentar dengan dingin, sengaja diam cukup lama di celah pintu seolah menghukumku, lalu akhirnya membiarkanku masuk dengan wajah enggan. Setelahnya pintu kamu banting, menghasilkan bunyi berdebam yang mengutarakan eksplisit ketidaksukaanmu akan kedatanganku. Dan mungkin akan diriku. Cukup jelas, terima kasih.

Tanpa banyak kata, dengan tetap berdiri dekat pintu karena memang tak berniat lama di tempatmu, kusodorkan kunci yang dulu kala pernah kautitipkan padaku. Tak mau lagi aku menyimpannya. Bagiku semua sudah usai. Tamat. Tak usah lagi berpanjang kata.

Matamu melebar, amarah terpancar mencoba menusuk. Aku menunduk, pemandangan kakiku lebih menghangatkan daripada hangus oleh api amarahmu. Aku juga tak jago berkelit.

Kamu rampas kunci itu dari tanganku, pasti merasa terhina, dan kamu banting sekuat tenaga barang tak bersalah itu ke lantai. Karena sontak berjengit, tak sempat lagi aku melirik ke ubin, yang kuduga seharusnya pecah atas timpukan keras itu.

Kemudian seakan baru tercetus dalam pikiranmu untuk membalasku, kamu buka dengan kasar lemari pakaianmu, kamu cari sejenak yang kamu niatkan, dan akhirnya kamu raih keluar baju lengan panjang bergaris merah biru dan kamu lemparkan ke wajahku. Tepat sasaran.

“Kukembalikan juga itu!” desisnya, “aku tak mau baju hina darimu!”

Aku diam, memegangi baju itu dalam pelukanku. Terpana. Perlahan  kuletakkan baju itu di ranjangmu. Menolak menerimanya.

“Aku beli ini untukmu..” kataku lemah. Itu kalimat pertamaku yang keluar malam itu.

Kamu pungut lagi baju itu dari ranjang, kamu lempar lagi ke wajahku. Kacamataku oleng, kena sentakan itu.

Aku taruh lagi baju itu ke ranjangmu.

Kamu ulangi lagi rentetan gerakmu, kali ini dengan lolongan kemarahan yang panjang, “Ambil baju terkutukmu!!” Mukaku penuh baju lagi.

Aku diam lagi dengan baju di tangan. Gemetar. Secercah amarah timbul. Siapa yang dapat tahan sabar bila terus di-smash tepat di wajah?

Bergegas aku menuju kamar mandimu, kulemparkan baju yang tak diinginkan itu ke toilet, lalu ku-flush. Kamu berseru panik dari luar, menghambur masuk ke ruangan kecil itu, cepat menyambar baju yang sudah kuyup itu, kemudian menatapnya dengan tak percaya. Kamu berpaling padaku dengan ekspresi yang mungkin cocok dikatakan sebagai murka.

Mendadak kamu jejali baju itu lagi ke wajahku. Aku tergagap, nyaris tak bisa bernapas. Basah dan bau jamban siar terhirup. Aku gelagapan.

“Kamu bisa begitu jahat, aku juga bisa!” bentakmu, terus menyumpalkan baju basah itu. Aku jatuh terpuruk di lantai.

Kamu berhenti, tersengal. Mukamu merah, matamu liar. Aku termangu, dalam hati bergumam, “tak kauinginkan baju itu, tapi tak kauijinkan kubuang jua.. entah apa maumu..”

Terakhir kamu hempaskan lagi baju itu ke wajahku. “Ambil itu! Bawa pulang sampahmu!” gelegarnya.

Amarahku meletup lagi, bangkit, kuayunkan tanganku sekeras yang aku bisa, mengenai pipimu. Kamu terhuyung, memegangi pipimu yang kini berbulatan merah berbentuk cap tanganku. Kacamatamu jatuh. Kamu berpaling, menatapku dengan bengis. Tanpa kacamata, matamu lebih menyeramkan lagi. Aku takut isinya jatuh keluar.

Kamu hampiri aku dengan sangat cepat, aku hanya bisa terpejam tak sanggup menatap. Kamu dorong aku sampai terbentur tembok di belakang dan kamu cekik leherku dengan menggunakan tembok itu sebagai tumpuan, nyaris membuatku terangkat. Dalam detik yang sama pikiranku melontarkan candaan pada diri sendiri, “ternyata aku tidak gemuk.. dia sanggup mengangkatku,” sebelum kemudian mengutuki diriku karena masih bisa-bisanya berkelakar sinis dalam situasi hidup mati seperti ini.

Dalam cekikanmu, aku ternyata hebat. Aku diam. Aku tidak meronta. Aku pasrah, terus menatapmu. Aku tidak minta dikasihani dan dilepaskan. Hanya sedikit tersengal karena lama-lama bernapas mulai terasa cukup sulit jika ada kepalan tangan yang melingkari lehermu, berusaha memipihkan tenggorokanmu dengan paksa. Aku nyaris terbatuk ketika akhirnya kamu melepaskan cekikanmu. Gelap matamu rupanya masih bisa kaukendalikan. Atau mungkin rasa pengecut dalam dirimu, yang tak mau jadi pembunuh dan masuk bui.

Jangan lega dulu, karena kemudian kamu yang belum puas sama sekali, menyambar kacamataku, nyaris bingkainya menggores mataku saat kau tarik dengan kasar.

“Nah!” katanya beringas, “kau tampar aku sampai kacamataku jatuh! Aku juga bisa! Nah! Bagaimana rasanya? Buta tanpa bisa melihat??” tantangnya, mengayun-ayunkan kacamataku di depanku. Aku tak bisa melihat jelas, terasa bak tuna netra, tapi masih bisa melihat sebentuk kacamata yang dilambai-lambaikan. Aku jadi teringat permainan dengan ayahku saat aku kecil, dimana dia menggodaku, mengangkat tinggi-tinggi mainanku dan aku berusaha melompat untuk meraihnya sambil tertawa-tawa kesal. Hanya kali ini denganmu tiada tawa dan aku pun tidak merusaha mendapatkan kacamataku kembali, apalagi dengan melompat-lompat. Hanya diam beku saja aku. Telah kutekadkan untuk tidak menangis lagi. Air mataku kusimpan untuk orang yang lebih berharga.

Setelah puas mengejekku, kamu lempar kacamataku ke meja dengan bunyi yang menyakitkan. Kuduga retak? Kamu mendekatiku dengan langkah perlahan, menikmati kekuasaanmu. Jarimu terulur tiba-tiba, mendorong kasar keningku.

“Kamu puas sudah berani melawanku, heh??” sentakmu. Kemudian kamu cucukkan jarimu ke hidungku. Aku terhuyung ke belakang, dengan panik berusaha menggapai keseimbangan. Kamu dorong lagi aku. Aku berharap di belakang sana ada jurang. Terjun bebas sepertinya lebih menyenangkan.

“Sekarang.. keluar.. kamu.. dari.. kamarku..” katamu lambat-lambat. Tatapanmu teralihkan sekilas oleh baju yang kubuang ke jamban tadi, yang sekarang teronggok berantakan di lantai, “dan bawa baju keparat itu.. Jangan sisakan sampah di kamarku..”

Aku diam, masih menatapnya tanpa ekspresi. Datar. Mulut juga terkunci.

Kamu tidak terima terus diabaikan. Kamu sambar tanganku –sakit- dan kamu buka pintu, kamu lempar aku keluar. Harafiah, sungguh, melemparku ke luar. Kemudian bajumu menyusulku. Kena di wajahku lagi. Hari ini wajahku sasaran empuk, harusnya berbangga hati. Aku menunggu setengah berharap untuk kacamataku dilemparkan juga, karena aku tak bisa melihat tanpanya. Harapanku pupus. Yang ada hanya bantingan pintu. Memekakkan telinga lagi.

Aku diam. Tak bisa berpikir. Tanpa rasa. Kosong. Duduk di lorong dalam sepi, berharap tak ada seorang pun muncul dari kamar-kamar lain. Atau mungkin mereka menatapku dari dalam kamar, lewat jendela-jendela hitam pekat itu? Mengasihani nasib gadis hina ini, berkasak-kusuk dengan penuh penasaran di dalam bilik masing-masing? Entah..

Pintu terbuka lagi. Ah, kacamataku…

Ternyata bukan lagi. Kamu melangkah keluar. Aku menunduk, refleks berusaha melindungi kepalaku dengan kedua siku yang kutekukkan. Apalagi sekarang?

Salah total. Kamu meraih lenganku. Lembut kali ini. Mengangkatku, memaksaku bangkit. Mau tak mau aku menurut tanpa daya, pula tiada kuasa.

Kamu memboyongku masuk dalam kamar, kemudian anehnya memelukku.

“Maaf..” ujarmu.

Aku diam dalam pelukan paksamu. Tak percaya yang kudengar.

“Maaf..” gumammu lagi.

Aku tak merasakan apa-apa. Hanya sedikit heran nan mual. Setelah semua yang dilakukan? Kini sepotong maaf?? Takjub bersarang di hati.

“Kamu yang mulai duluan,” sifatmu yang selalu membela diri muncul. Defensif. Enggan menyandang peran antagonis.

“Maaf,” lagi kamu ulangi. Sebegitu mudahkah sebuah sesal hadir? Sebegitu murahankah?

Kita diam, lama. Berpelukan. Bukan, tepatnya kamu yang memelukku, karena aku tidak balas melingkarkan lenganku ke pinggangmu. Lenganku jatuh gontai di kedua sisi tubuh. Aku enggan menyentuhmu. Kamu merasakannya, alhasil melepaskan pelukan dan menatapku penuh selidik.

“Aku bilang aku minta maaf,” katamu tajam.

Aku diam. Melemparkan pandangan kosong ke sisi kirimu. Ogah menikmati matamu lagi.

“Aku SUDAH bilang, aku minta maaf,” kamu mulai naik darah lagi.

Aku tersenyum perlahan dalam suatu kesadaran yang tiba-tiba menohok. Ah, pantas sedaritadi aku mati rasa dan hanya diam. Rupanya aku berhasil. Aku sungguh telah berhasil. Hatiku sudah sukses kubunuh. Tiada rasa lagi. Rasa sakit sudah nihil. Absen. Aku menang. Aku mati rasa. Pilu dan kelam tak eksis lagi. Aku kebal. Imun. Dan atas semuanya itu pun aku tak lagi merasa bahagia. Sungguh semua sudah mati. Hati sudah gugur, bersama dengan segala rasanya. Kamu yang membantuku, dengan semua tindak-tandukmu yang dahsyat hari ini. Baru saja.

Dalam kemenangan itu, aku berjalan sempoyongan ke meja belajarmu. Kamu keheranan memperhatikanku, menghentak kaki tanda tak sabar.

Aku ambil gunting dari laci. Berbalik cepat, kutusuk kamu. Dalam, sedalam-dalamnya. Darah memercik. Kacamataku berdarah. Mukaku mandi darah juga. Cipratan darahmu kuat, hebat, deras. Aku kagum. Kucabut gunting itu sekuat-kuatnya. Nikmat rasanya.

Kamu ternganga, takjub, matamu melotot seram. Lalu terpuruk, jatuh ke lantai.

Aku tusukkan lagi berkali-kali gunting itu. Semakin banyak tusukan, semakin mantap tanganku. Ia belajar dengan cepat. Ada secercah bahagia walaupun hatiku mati. Memang telah kuputuskan bahwa setelah hatiku, telah tiba giliranmu untuk menyambut ajal. Maut sudah aku panggil untuk menjemputmu. Dan dia menurut. Kini kamu menyusul hatiku. Entah ke surga atau neraka.

Kutatap kamu yang bergelimang darah. Indah bak lukisan.

Suatu saat nanti, hatiku pasti bangkit lagi dari kematian. Pasti. Tapi tidak dengan kamu.

Aneh, tawaku tak bisa berhenti.

Empire State

Empire-State-20131

Ih ternyata ini kisah nyata (kalo’ ga salah)! Dan yang main ternyata si Liam Hemsworth, adiknya si Thor yang notabene lebih cakep dari kakaknya. Oh, maaf, infonya ga penting ya..

Sesuai namanya, film ini mengisahkan tentang Chris (diperankan oleh si Liam) yang baru dapat pekerjaan sebagai petugas security di sebuah security service company yang namanya Empire. Dalam keseharian tugasnya, Chris noticed bahwa security system di perusahaan ini ternyata jebot banget dan banyak kelemahan sana-sini.

Dasar cowok, mulutnya pun ga tahan berkoar-koar ngasihtau Eddie, sahabatnya, yang notabene mulutnya lebih ember lagi dari segala baskom di dunia dijadikan satu, sehingga menyebarlah berita itu ke gank mereka. Akhirnya buntut-buntutnya mereka malah ngedesak Chris untuk ngerencanain perampokan sejumlah duit yang ada di brankas perusahaan itu dengan memanfaatkan kelemahan sistem ini.

Chris sendiri sebenarnya super ragu dengan rencana itu. Maklumlah, ceritanya masih tersisa secuwil integritas dalam diri cakepnya. At the end Chris sendiri akhirnya menolak menjalankan rencana itu. Eh si Eddie yang memang jagoan dan preman kota walaupun kelas teri mentah memaksa ngerampok sendirian dan nyatronin kantornya Chris. Aksi Eddie sempat terekam kamera pengawas, sebelum Chris memberitahunya dengan panik, dan Eddie menghancurkan kamera pengawas itu.

Anyway busway di akhir pokoknya semua tambah ruwet karena si Dwayne Johnson sang detektif mencurigai Chris yang memang satu-satunya penjaga malam di tempat itu. Maklum di film itu juga kelihatan banget bodohnya Chris yang ga bisa bohong dengan mantap dan pede, belum lagi keterangannya yang berbelit-belit dan ga konsisten, dll.

Kasus tambah super ribet karena ditambah keterlibatan FBI, gara-gara kasus pencurian ini dianggap sebagai salah satu kasus pencurian terbesar di Amrik karena melibatkan duit jutaan dollar. Ah pokoknya begitulah.

Terakhir Chris dan Eddie ditangkap, dan dikisahkan bahwa setengah dari uang yang dicuri itu tidak pernah berhasil diketemukan sampai sekarang. Wow!

Filmnya menurut saya simply kurang OK. Aktingnya berlebihan, banyak scene juga yang terlalu dibuat reaksioner dan heboh, baik itu dalam aksi berantem-berantem maupun aksi dialog serius. Si Eddie sebenernya cukup cocok jadi pemeran jerk kayak di film ini, cuma saya bingung sendiri, ini saya benci sama Eddie karena dia perannya memang bagus sebagai seorang jerk, atau karena aktingnya menurut saya lebay banget ya nyebelinnya? Ga jelas.. Dan anyway, bosen banget ga sih ketemu si The Rock main sebagai detektif lagi?? Aaargh.. Find another role, would you?

Score : 7

Iceman

The Iceman Movie starring Michael Shannon

Ini, Saudara-saudara, juga adalah kisah nyata, tentang Kuklinski or kukilikilikilik something, orang Polandia yang jadi mafia dan dijuluki Iceman, dan telah membunuh beratus-ratus orang, tapi tidak pernah KETAHUAN dan ter-detect sama keluarganya, karena selalu dikenal sebagai suami yang perhatian dan ayah yang penyayang! Istrinya hanya tahu bahwa suaminya bekerja di dunia saham yang penuh pergejolakan. Kehidupan pernikahan mereka super mesra, anak-anak perempuannya pun dekat dan sayang sama dia. Such a perfect family deh! Amazing ya kisahnya..

Awal-awal nonton, saya masih bisa ngikutin.. Lama-lama, tokohnya makin banyak (maklum kisah nyata), benang merah permafiannya makin ruwet, kasus kejahatan dan dendam-dendamannya makin bikin megap-megap, dan terakhir saya cuma bisa melongo blank. Otak ga nyampe’ mencerna keseluruhan ceritanya, ahh!

Saya juga bingung, kok istrinya bisa dodol banget sampe’ bertahun-tahun ga aware kerjaan suaminya? Masa ga ada sih curiga dikit-dikit acan ngeliat telepon-telepon yang misterius atau semacam itu? Aargh.. Para istri, hati-hati dengan suamimu *kompor on.

Anyway si Michael Shannon something ini (yang meranin tokoh utamanya ini) gede banget ya, super tinggi.. Orang-orang di sekelilingnya jadi terlihat seperti kurcaci. Istrinya juga cantiiik banget. Seksi lagi.

Udah yah, ga banyak cerita deh kalo’ soal film ini. Nonton aja sendiri. Hihi, ga bermutu banget ya reviewnya.

Score : 7

9780062084248_p0_v1_s260x420

Buku ini saya beli murni karena gambar sampulnya yang manisss banget. Kesan hangat langsung terasa saat melihat gambarnya, memunculkan gambaran Natal di kepala saya entah kenapa. Efek emboss-nya juga makin membuat buku ini tampil memikat. Coba deh lihat gambar di atas.. Cantik banget kan? 😀

Ceritanya adalah tentang keluarga Bliss dan toko roti ajaib mereka. Rupaya sang ibu, keturunan langsung Bliss, mewarisi kemampuan sihir dalam membuat roti dari nenek-moyangnya. Segala macam cake yang bisa membuat orang mengatakan kebenaran ataupun menyembuhkan sakit, mampu mereka buat sesuai panduan buku rahasia mereka yang tersimpan rapat di bawah ruang pendingin. Tentunya makanan yang ajaib tersebut juga membutuhkan berbagai macam ramuan yang tidak kalah ajaibnya, mulai dari air mata kurcaci, serpihan cahaya halilintar, dan lain sebagainya.

Tokoh utama dalam cerita ini adalah Rosemary, anak kedua dari keluarga Bliss yang diceritakan berwatak pendiam, sabar, rajin dan telaten, dan hanya Rosemary-lah yang memang mewarisi bakat ayah ibunya dan memiliki kecintaan terhadap proses pembuatan roti. Sayangnya, gadis ini kadang merasa tidak dianggap dan dipercaya oleh ayah ibunya karena hanya dilimpahi tugas-tugas ringan saja sehari-hari, seperti membeli tepung atau membuat duplikat kunci, belum lagi segala tetek-bengek tugas hariannya seperti mengurusi adik-adiknya yang masih kecil, plus hidup bersama abangnya yang super tampan dan ‘glamor’. Rosemary pun terpicu untuk membuktikan diri akan kemampuannya, saat kebetulan ayah ibu mereka mendapat tugas untuk membantu kota tetangga.

Kemudian, saat harus berjuang bersama kakak-adiknya mengelola toko roti mereka tanpa kehadiran ayah ibu mereka, muncullah seorang wanita cantik yang mengaku sebagai adik ibu mereka, Auntie Lily. Apakah benar Lily bermaksud datang untuk membantu, atau punya niat jahat merebut buku rahasia keluarga Bliss? Bagaimana pula Rosemary dan kakak-adiknya menangani segala macam kekacauan yang terjadi di kota, disebabkan oleh roti-roti ajaib yang nekat mereka coba buat tanpa sepengetahuan orang lain?

Kira-kira begitu deh ceritanya.

Setelah membaca, hal yang paling menonjol dari buku ini adalah ‘Moral of Story’-nya bagus banget, terutama untuk para remaja seusia Rosemary. Sebersit penasaran juga ada, ingin tahu motif seorang Lily sebenarnya, dan hampir ga ada rasa ngantuk ataupun malas saat menyelesaikan buku ini. Kemudian cara buku ini mendeskripsikan tempat tinggal mereka serta toko roti mereka itu benar-benar berhasil membuat kita merasakan kehangatan kota kecil mereka. Again, yang kebayang itu adalah Natal walaupun setting waktu buku ini sama sekali bukan Natal.

Overall, buku ini memang manis fantasi dan ceritanya, tapi tetap lebih cocok untuk remaja ya sepertinya. Kalau difilmkan, pasti bakal bagus, semacam Charlie & Chocolate Factory. Oh ya, anyway, buku ini punya sekuel kedua dan ketiganya.

Score 7,5

Di tempat saya kerja, beberapa bulan terakhir ini game Line Pokopang sedang marak, entah kenapa. Tercipta semacam kompetisi tak kasat mata di antara kami, sekaligus pengisi di sela makan siang, break kala meeting dan segala jeda yang ada sepanjang hari.

Intinya permainan ini mirip dengan beratus-ratus game sejenis lainnya, dimana kita harus menyatukan block-block berwarna sama untuk mengeliminasinya. Dalam Pokopang, misi tersebut dikemas dalam sebuah cerita perlawanan terhadap monster-monster dengan menghancurkan block-block tersebut, dan kita akan dibantu oleh para binatang dan senjata.

IMG_9029

Some of my thought tentang Pokopang :

Pertama, game super ringan yang tidak membutuhkan kinerja otak ini mungkin sebuah bentuk refreshing sendiri bagi kami-kami yang mengaku lelah bekerja sepanjang hari di kancah perkantoran. Main game tanpa harus banyak mikir dan hanya mengandalkan kecepatan tangan dan sedikit strategi sederhana adalah sebuah penghibur cukup ampuh, dan terakhir game ini membuat kami tersugesti, merasa pintar dan profesional karena hanya orang-orang pekerja keraslah yang membutuhkan santapan game ringan untuk mengistirahatkan fungsi otak yang dianggap telah bekerja maksimal sepanjang hari. Yeah, Pokopang untuk para penipu ulung.

Kedua, menyenangkan melihat gambar hewan-hewan lucu yang imut dengan beragam warna dan bentuk. Cerah dan fun, itu kesan yang didapat dari game ini.

Ketiga, tidak terlalu time-consuming, karena satu kali ronde hanya berdurasi 1 menit saja, walaupun sayangnya game ini membutuhkan koneksi internet.

Keempat, fitur dan parameter dalam game ini termasuk ‘safe’ alias cukup banyak sehingga tidak cepat bikin bosan, sekaligus tidak terlalu banyak untuk membuat seorang pemula mengernyitkan kening dan memutuskan meng-uninstallnya.

1239566_213637852130151_1753972784_n

Beberapa parameter yang ada :

  • Parameter clover sebagai nyawa dalam game ini
  • Parameter cherry sebagai alat transaksi jual-beli berbagai macam fitur yang ada
  • Parameter diamond untuk alat transaksi high-class dan membeli cherry
  • Parameter semacam jam pasir horisontal untuk menentukan timing munculnya bom.
  • Parameter score sendiri untuk diperlombakan melawan pemain Pokopang lainnya

line-pokopang-14-10-s-307x512

  • Parameter bintang (yang sampai sekarang saya ga ngerti dapetnya darimana)
  • Parameter persentase untuk menentukan tingkat naiknya stage
  • Dan lain-lain.

Sedangkan fitur yang tersedia :

  • Friend point untuk minta bantuan binatang dari teman
  • Rainbow
  • Tambahan Waktu
  • Painter
  • Triple Point
  • Sesuatu warna-warni yang bikin diskon block

Kemudian activity yang bisa dilakukan :

  • Upgrade senjata dengan menggunakan cherry yang kita miliki. Setiap naik kelas, tentu kekuatan senjatanya makin dahsyat
  • Summon binatang alias memilih acak binatang untuk membantu kita menghancurkan musuh, dimana setiap binatang punya keahliannya masing-masing.

unnamed

  • Daily Mission untuk memenuhi tantangan setiap harinya dan mendapatkan kesempatan spin melipatgandakan cherry yang didapat.

imagesasasa

  • Museum untuk melengkapi puzzle-puzzle dan mendapatkan cherry.
  • Subsidi clover untuk teman sesama pemain Pokopang yang otomatis akan menambah Friend Point kita.

Banyak kan? Cukup seru dan menantang. Belum lagi tambahan fitur lain seperti bonus cherry setiap naik stage kelipatan sepuluh, featured-bonus sesekali seperti diskon harga summon binatang atau double percentage/cherry, dll. Makin kaya deh game ini.

Yang bikin orang bakalan sedikit kesel tentunya maraknya aksi kirim-mengirim clover satu sama lain, yang membuat notifikasi Line bunyi tanpa henti. Annoying sih, tapi yah salah sendiri deh, kenapa install Line dan Pokopang.

Anyway kenapa juga saya malah bikin summary kayak gini? Udah dulu, udah saatnya main Pokopang lagi.

Sampai jumpa..


Fanny Wiriaatmadja

Follow Fanny Wiriaatmadja on WordPress.com

Enter your email address to follow this blog and receive notifications of new posts by email.

Join 1,713 other subscribers

Memories in Picture - IG @fannywa8

No Instagram images were found.

Blog Stats

  • 594,778 hits

FeedJit

Archives

Categories

Protected by Copyscape DMCA Takedown Notice Infringement Search Tool

November 2013
M T W T F S S
 123
45678910
11121314151617
18192021222324
252627282930  
Jia Effendie

Editor, Translator, Author

Dream Bender

mari kendalikan mimpi

catatan acturindra

sekelumit cerita penolak lupa

JvTino

semua yang ada di alam ini bersuara, hanya cara mendengarnya saja yang berbeda-beda

Rini bee

Ini adalah kisah perjalanan saya. Kisah yang mungkin juga tentang kamu, dia ataupun mereka. Kisah yang terekam di hati saya. Sebuah karya sederhana untuk cinta yang luar biasa. Sebuah perjalanan hati.. :)

hati dalam tinta

halo, dengarkah kamu saat hatimu bicara?

Agus Noor_files

Dunia Para Penyihir Bahasa

kata dan rasa

hanya kata-kata biasa dari segala rasa yang tak biasa

Iit Sibarani | Akar Pikiran

Akar Pikiran Besar Mengawali dan Mengawal Evolusi Besar

cerita daeng harry

cerita fiksi, film, destinasi dan lainnya

Dunia Serba Entah

Tempatku meracau tak jelas

Astrid Tumewu

i am simply Grateful

Mandewi

a home

FIKSI LOTUS

Kumpulan Sastra Klasik Dunia

Meliya Indri's Notes

ruang untuk hobi menulisnya

anhardanaputra

kepala adalah kelana dan hati titik henti

catatanherma

Apa yang kurasa, kupikirkan...tertuang di sini...

Rido Arbain's Personal Blog

Introducing the Monster Inside My Mind

Sindy is My Name

Introducing the Monster Inside My Mind

MIZARI'S MIND PALACE

..silent words of a silent learner..

Nins' Travelog

Notes & Photographs from my travels

Gadis Naga Kecil

Aku tidak pandai meramu kata. Tapi aku pemintal rindu yang handal.

lalatdunia's Blog

sailing..exploring..learning..

GADO GADO KATA

Catatan Harian Tak Penting

Maisya

My Thought in Words and Images

Luapan Imajinasi Seorang Mayya

Mari mulai bercerita...

hedia rizki

Pemintal rindu yang handal pemendam rasa yang payah

Catatannya Sulung

Tiap Kita Punya Rahasia

chocoStorm

The Dark Side of Me

copysual

iwan - Indah - Ikyu

nurun ala

menari dalam sunyi

Rindrianie's Blog

Just being me

Nona Senja

hanya sebuah catatan tentang aku, kamu, dan rasa yang tak tersampaikan

https://silly-us.tumblr.com/

Introducing the Monster Inside My Mind

Doodles & Scribles

Introducing the Monster Inside My Mind

All things Europe

Introducing the Monster Inside My Mind

The Laughing Phoenix

Life through broken 3D glasses. Mostly harmless.

miund.com

Introducing the Monster Inside My Mind

Dee Idea

Introducing the Monster Inside My Mind

DATABASE FILM

Introducing the Monster Inside My Mind

www.vabyo.com

Introducing the Monster Inside My Mind

amrazing007 tumblr post

Introducing the Monster Inside My Mind

The Naked Traveler

Journey Redefined

~13~

Introducing the Monster Inside My Mind