[BeraniCerita #36] – Menagih Jatah
Posted November 19, 2013
on:- In: Fiction
- 8 Comments
Cerita ini memenangkan tantangan BeraniCerita #36
Antrian mengular panjang, nyaris tak terlihat kepalanya di mana. Amba ikut berbaris di dalamnya, mendera kaki demi pasokan sembako bersyarat. Sesekali pekikan dan makian marah membahana di udara, jelas suara si tentara di depan, yang merasa diri sebagai Tuhan karena posisinya yang di atas angin. Berada di bawah terik panas dalam entah seberapa lama juga tak dipungkiri makin menipiskan batas sabar manusia.
Amba mengamati sekitar untuk membunuh waktu dan kepiluannya. Kebanyakan mereka yang mengantri membawa bocah lelakinya. Amba hanya membawa sebuah keranjang kecil beranyam.
Semua berubah, memang. Rezim lama itu berhasil ditundukkan. Penguasa baru kini memegang takhta, dengan beribu janji manis yang entah nyata atau tidak.
Bersembunyi dalam deraan takut tak berkesudahan, kengerian tanpa ujung akan kehabisan pasokan makanan yang menipis tanpa ampun, penantian gelisah akan maut yang siap menjemput kapan saja dengan cara-cara tak beradab, semuanya yang jadi santapan sehari-hari penduduk negeri ini selama berbulan-bulan sudah berakhir. Segala aksi tembak-menembak, dentuman senjata dan ledakan sana-sini, semua juga sudah usai. Itu masa lalu, Amba menekankan pada dirinya sendiri, tersengal sesaat.
Seperti ribuan orang lain yang hari-hari itu ketakutan, Amba harus tidak lagi punya masa lalu, sebab apalah artinya kenangan bila isinya luka dan pilu belaka? Menyambut masa depan baru mungkin satu-satunya solusi bagi banyak orang, tapi tidak bagi Amba, sebab baginya masa depan itu semu tak berwujud. Sang masa lalu akan selalu menghantui, mencengkeram tanpa sedikit pun mengendurkan pertahanan. Revolusi mungkin sudah usai, tapi bagiku belum dan tiada akan pernah, katanya pahit.
Berjam-jam Amba berdiri tanpa goyah, menanti gilirannya. Sudah pernah kualami yang lebih menyiksa dari ini, batinnya tegar.
Satu per satu mereka yang mengantri mengguratkan nama di sebuah buku lusuh yang terbuka di atas meja, kemudian lekas mengambil jatahnya, keluar dari antrian dengan wajah penuh syukur bersama putra-putranya. Kelaparan sudah usai, mungkin begitu gumam lega mereka dalam hati.
Tibalah giliran Amba. Di meja pendaftaran terpampang puluhan roti kering tanpa isi dalam keranjang bambu dan berbotol-botol susu. Tentara berkumis tebal menatapnya garang,
“Mana anak yang akan kaudaftarkan masuk ketentaraan?!” sentaknya.
Amba menarik keluar stoples dari keranjang yang dibawanya dengan wajah penuh derita, “Ini abu anakku, mati direnggut revolusi.. Boleh kuambil roti dan susuku? Aku sudah tidak makan seharian..”
Total Kata : 358
*Diikutsertakan dalam tantangan BeraniCerita untuk membuat cerita dengan premise “Seperti ribuan orang lain yang hari-hari itu ketakutan, Amba harus tidak lagi punya masa lalu..”
November 19, 2013 at 6:56 am
waaa…. “anaknya” dibawa-bawa
November 19, 2013 at 6:59 am
Demi dapet makan 😀