Fanny Wiriaatmadja

Archive for November 13th, 2013

4017754_Love-friendship-f

“Jadi, kenapa kamu putus sama cewek itu?” tanyaku penasaran, setelah kami berdua mengambil posisi nyaman kami masing-masing di sofa bulukan itu.

Pria yang duduk di sampingku –sahabatku- menjawab ogah-ogahan, “Yaaah banyak sebabnya..”

“Di antaranya?” pancingku. Ilmu interview-ku keluar.

“Hmmm.. mulai darimana ya?” Dia termangu-mangu, kemudian setelah jeda yang nyaris membuatku ingin menohoknya, dia berkisah, “Mungkin salah satu penyebabnya adalah dia begitu membosankan.. begitu pasif, begitu tidak hidup..”

Mataku membulat, “Maksudmu?”

“Hmm, bagaimana ya.. Kira-kira begini : Dia tidak akan mengisahkan ceritanya hari demi hari kalau tidak ditanya.. Jadi setiap hari aku harus menggalinya, menanyakan kabarnya, dan lain sebagainya. Yah, itu baru belakangan ini saja sih.”

“Oooh.. Itu sih mungkin karena dia lelah akan responsmu setiap kali dia selesai bercerita, sehingga lama-kelamaan dia berhenti membuka mulut. Diam menurutnya lebih baik daripada sakit hati melihat ketidakpedulianmu akan kisahnya,” candaku, dengan kandungan sekian persen keseriusan dan kebenaran. Sedikit banyak aku tahu juga karakter perempuan yang pernah dicintainya itu.

Dia mendengus tanda tak terima akan kesimpulanku, kemudian balik bertanya dengan menyelidik, “Apa dia pernah curhat padamu juga?”

Aku tertawa dan mengangguk. Dia mendengus lagi.

“Sebab lain?” lanjutku.

Dia meregangkan tubuhnya, berusaha menunjukkan gesture bosan terhadap penyelidikanku. “Dia.. Dia bisa dibilang tidak menghargaiku..”

“Contohnya?” Aku melanjutkan tanyaku. “Bukannya tadi kamu yang tidak menghargainya?” candaku. Tapi muka seriusnya membuatku menghentikan kalimat dan tawaku.

“Contohnya, dia sering meminta masukanku tentang ide cerpennya. Dan parahnya, tak satu pun ideku diterimanya.”

Aku nyaris tergelak mendengarnya. “Memangnya harus semua idemu diterima ya?” sengalku di antara rentetan tawaku.

Dia pasang wajah tersinggung. “Apa salahnya?” bantahnya, “Ideku cemerlang!”

“Ya Tuhan, belum pernah kutemui orang searogan kamu, Hei, manusia itu beragam. Tak semua idemu sesuai dengan seleranya ataupun bisa diwujudkan dengan mudah. Hargailah kalau dia masih terus meminta masukanmu dan menanyakan pendapatmu. Sungguh, itu sudah cukup,” kataku lembut. “Percayalah, kalau idemu sesuai, tanpa kauminta dia pasti akan mewujudnyatakannya dalam cerpennya.. Juga, dia tidak menolak idemu dengan sengaja ataupun untuk menyakitimu, kamu seharusnya tahu dan sadar itu..”

Dia bergeming dengan wajah kaku.

“Apa lagi sebabnya?” Aku memulai lagi setelah dia tidak melanjutkan protesnya.

Dia menggaruk-garuk kepalanya. “Hmmm, mengenai uang, mungkin?” katanya.

Aku membelalak. Ini topik sensitif.

Tanpa kutanya lagi, dia lanjut bercerita, “Aku merasa semua biaya harus dikeluarkan dengan.. emm, memakai uangku,” katanya.

“Dalam hal apapun?” ulangku. Dia mengangguk cepat.

“Jadi..” aku sontak berpikir, “Perjalanan travelling kita itu semua kamu yang bayar untuknya?”

Dia mengangguk cepat sekali lagi, tapi kemudian berhenti. Dia terlihat enggan saat menjawab, “Yah, nggak juga sih.. Ada juga yang dia bayar..”

“Oke.. Jadi dia turut berpartisipasi dalam perjalanan kita selama ini kan. Maksudku dalam urusan bayar-membayar?”

Dia mengangguk.

“Apalagi yang dia bayar sendiri selain perjalanan keluar negeri? Barang pribadinyakah mungkin? Adakah?” tebakku bak ahli nujum.

“Yah, biasanya kalau dia beli barang untuk mamanya atau sepupunya, dia.. dia akan bayar dengan uangnya sendiri..”

Aku tersenyum. “Menurutku yang dilakukannya cukup adil dan masuk akal.”

Dia mengeleng-geleng .

“Jadi tidak semua hal kamu yang bayar kan? Mmm, misal tagihan credit card-nya?” tandasku lagi.

“Tidak.. Tidak pernah..” jawabnya.

“Jadi dia tidak memanfaatkanmu kan dalam sisi keuangan?” Aku masih penasaran.

“Mmmm.. tidak sih..”

“Saat kalian berbelanja bersama, apa dia membeli semua barang seenak jidat, mengingat kebanyakan semuanya kamu yang bayar?”

Sahabatku berpikir sejenak, kemudian menggeleng. “Tidak juga.. Kalau barangnya tidak bagus atau tidak diskon, dia tidak akan memaksa membeli..”

Mendadak aku teringat sesuatu. “Saat kamu mendapat banyak barang gratisan seperti tablet atau handphone apapun itu, kalau tidak salah kamu memberikannya padanya kan?”

Dia mengingat-ingat, kemudian menggeleng. “Tidak, dia bilang lebih baik barang itu untuk keluargaku. Dia tidak memerlukannya.”

Aku tersenyum. Klarifikasiku tentang soal keuangan selesai sudah. Aku pikir sahabatku ini sudah cukup mengerti point-ku.

“Apa lagi sebab yang lain?” lanjutku.

Dia terlihat sedikit lega, lari dari topik keuangan. “Hmm.. Dia suka menyinggung-nyinggung atau menyindir soal kesalahanku, mengungkit-ungkitnya..” katanya dengan nada kemenangan.

“Oow.. Oke, apakah kamu pernah melakukan hal yang sama?” kataku menyelidik.

Dia tercenung.

“Jujur,” pintaku.

“Yah, kadang.. Entahlah..” Dia mengangkat bahu.

“Jadi, pernah atau sering?” ulangku.

“Kadang,” katanya defensif.

“Apa yang dia lakukan saat kamu mengungkit-ungkit masa lalu dan semua kesalahannya?”

“Mmmm.. Yah, biasanya dia akan menenangkanku..” Dia menunduk.

Aku tersenyum. Entah sudah senyum ke berapa. “Jadi, kesimpulannya kamu boleh mengungkit-ungkit, dia akan menenangkanmu. Tapi saat dia melakukan yang sama, kamu akan marah dan ngamuk. Begitukah?”

Dia melotot, tapi diam dengan mulut terkatup.

“Bagaimana bila kau lakukan yang sama pula, saat dia mengungkit-ungkit kesalahan masa lalumu? Mengapa tidak menenangkannya seperti yang dia selalu lakukan padamu?” usulku sok bijak.

Sahabatku tidak terima dengan usulku, “Dia sengaja cari-cari..” kilahnya.

“Kalau kamu? Apa kamu tidak sengaja cari-cari dengan mengungkit masa lalu atau kesalahan gadismu?”

“Aku tidak cari-cari! Aku serius sakit hati dengan semua yang dia lakukan di masa lalu..”

“Menurutmu, apakah dia juga sakit hati dengan yang pernah kamu lakukan terhadapnya?” tanyaku.

Dia diam lagi. “Pastinya,” katanya pelan.

“Jadi?” tukasku, “menurutku kalian berdua sama. Tidak ada yang berniat untuk saling menyerang atau mencari-cari. Dua-duanya sama-sama tersakiti dengan cara yang sama, dan saat hati kalian memilih mengungkitnya, mengapa tidak saling menenangkan satu sama lain dan membangkitkan kepercayaan?” nasihatku.

Dia melengos. Kemudian kami berdiam dalam hening.

“Ada lagi penyebab kamu memutuskannya?” tanyaku.

“Terkadang saat aku bercerita, dia seolah meremehkannya dan tidak menaruh perhatian penuh,” adunya. “Yah, lagi-lagi masalah tidak menghargai,” simpulnya.

“Apakah saat dia bercerita, kamu sendiri menaruh perhatian penuh?” tanyaku, mulai tahu kelemahannya. “Kamu ingat tadi, kata-katamu mengenai kepasifannya dalam bercerita? Aku sudah bilang, dia begitu karena merasa responsmu sangat tidak menghargainya..”

“Yah, kadang kalau dia terus bercerita tentang tulisannya, blognya, aku juga bosan.. Normal kan? Tidak semua orang suka tulis-menulis,” katanya.

“Kalau begitu, apakah dia boleh berbuat sama terhadap ceritamu, yang tidak membuatnya tertarik?”

Dia hampir meledak. “Kami itu pasangan! Seharusnya kami saling support dan saling menghargai! Bukan balas-membalas!”

“Kalau begitu, mengapa tidak mulai melakukannya duluan?” kataku, menatap tajam pria egois ini. “Kujamin gadis itu akan melakukan yang sama pula. Aku lihat hubungan kalian lebih ke arah reaksi dan respons. Satu melakukan yang salah, dan yang lain otomatis –bukan dengan sengaja, catat- terpengaruh melakukannya juga, tanpa sadar.. Tidak ada yang sengaja berniat membalas. Itu semua psikologi sederhana, sama seperti batu keras yang terus dikikis oleh hujan, sebuah rasa sayang kadang bisa terkikis dengan mudah.. Butuh dua tangan untuk bertepuk tangan, tidak cukup hanya satu. Kalau kamu mau sesuatu, mulailah lakukan itu. Percayalah aksi-reaksi adalah hal paling mendasar di semesta ini. Yang kaulakukan, akan kaudapat balasnya,” aku mengakhiri petuahku.

Dia diam saja.

“Ada lagi penyebab lain putusmu?” cepat aku mengalihkan ke topik berikutnya.

“Yah, masih banyak hal-hal tidak menghargai lainnya,” katanya lemah.

“Contoh?” tanyaku,

“Yah, misal aku sedang cari sepatu. Dia kadang tidak menemaniku sepenuhnya. Maksudku, kadang dia melihat-lihat sepatunya sendiri.. Oh come on, aku sedang fokus mencari sepatuku, dan dia masih memikirkan barangnya sendiri!” Dia berkata dengan penuh emosi.

“Apakah letak rak sepatu pria dan wanita berdekatan?” Bak detektif, aku mengumpulkan bukti.

“Ya, ya, tapi tetap saja, seharusnya dia konsentrasi penuh pada sepatuku!” Sahabatku benar-benar seperti anak kecil yang ngambek.

“Hei, dengar,” kataku dengan sabar, “Menurutku tidak ada salahnya dengan mengalihkan pandangan sekian menit melihat-lihat sepatunya –dengan asumsi kamu tidak sedang meminta pendapatnya DETIK ITU- atau ketika kamu sedang sibuk memilih-milih. Sungguh, menurutku tidak ada salahnya. Kecuali, kalau dia menyuruhmu memilih sendiri, kemudian dia pergi meninggalkanmu ke tempat lain untuk mencari barangnya. Aku yakin dia tidak melakukan itu. Iya kan?”

Dia menerawang. “Ya, memang tidak.. Memang, semua barang-barang yang dilihatnya – itu semua dilakukannya sambil lalu, tapi tetap saja aku..”

Cepat aku memotongnya, “Berhenti ya! Jangan egois.. Aku yakin perempuanmu menemanimu seharian, bahkan saat mungkin kakinya sudah lelah atau dia sudah capek. Kamu tahu, untuk hal ini dia sudah bercerita padaku. Hari itu, saat kamu memintanya menemaninya, kakinya sudah lelah bukan kepalang, ditambah sepatu baru yang dipakainya membuat kakinya sedikit lecet di bagian belakang. Tapi dia bertahan menemanimu seharian, ditambah dia takut kamu marah kalau dia mengeluh tentang kakinya yang sakit. Jadi seharian itu dia bertahan, menemanimu, karena memang dia INGIN menemanimu. Itu, kalau kamu mau tahu kejadian sebenarnya.. Dan lagi aku camkan, tidak ada salahnya menemanimu mencari sepatu sambil sedikit melihat-lihat barang lain SAMBIL LALU..”

Sahabatku melongo sejenak, sebelum cepat-cepat memperbaiki ekspresinya. “Ah, aku tidak yakin seperti itu kejadiannya,” gumamnya.

Aku memutar-mutar mata. “Oke, apa lagi kesalahannya??” tuntutku, mulai malas berbasa-basi.

Dia diam, kemudian dengan lemah menggeleng. “Tidak, aku rasa tidak ada lagi..”

Kami diam lagi dalam perenungan pribadi masing-masing.

“Yah,” gumamnya. “Mungkin aku sudah kehilangan sesuatu yang sebenarnya berharga..”

Diam sejenak, kemudian aku tersenyum simpul. “Kelemahan terbesar manusia adalah membiarkan keburukan menang atas kebaikan. Percayalah dalam diri semua orang termasuk gadismu, ada kebaikan yang terpancar setiap saat. Hanya kau memilih membutakan matamu dengan balok, menghalangimu merasakan dan melihat keindahannya..”

Dia bangkit tiba-tiba. “Semoga belum terlambat,” katanya. Cepat dikecupnya pipiku, kemudian berlari ke depan. Aku tahu hendak ke mana ia.

Ah, perih menampar di hatiku. Mengapa kulakukan semua sesi bodoh ini? Aku melewatkan kesempatan mendapatkannya… Hatiku memang tidak bisa diajak bekerjasama. Lagi aku menghela napas. Mungkin memang belum saatnya dia jadi milikku. Tugaskulah mengembalikan dia ke pelukan wanitanya. Paling tidak saat ini.

Apartment 1303

MV5BMjAxMDc2NTk2N15BMl5BanBnXkFtZTcwMDQzMTI2OA@@__V1_

Tadinya saya kira ini film Indonesia, eh ternyata film barat toh.. Yah, setelah menontonnya, intinya sih mendingan duit 50 ribu dibuat makan aja daripada nonton film sampah ini. Biar fair, saya cerita dikit deh tentang alurnya. Sesuai namanya, ada seorang cewek bego yang mau pindah ke apartemen gara-gara ribut terus sama mamanya dan udah sign kontrak duluan sebelum liat wujud fisik apartemennya. Jadi pas dia datang ke apartemennya, yah kagetlah dia ngeliat suasana apartemen yang kumuh, sepi dan menyeramkan. Terus sepanjang pertengahan film, agak males juga sih ngelihat cewek ini ngomong-ngomong ga jelas sama dirinya sendiri sepanjang siang, kayak kesepian gitu. Habis itu baru deh dimulailah hantu-menghantuinya.

Selanjutnya, sedikit spoiler, cewek ini akhirnya mati didorong si hantu jatuh dari teras, seperti penghuni-penghuni sebelumnya. Berlanjutlah sekarang kakaknya si cewek ini yang tinggal di apartemen ini, dan at the end ikutan dihantui juga. Terus cowoknya si cewek yang pertama tadi juga ikutan dihantui, sampe’ mati dibunuh di apartemen ini juga. Mamanya si dua gadis bersaudara ini juga ikutan datang ke apartemen dan mati terbunuh juga. Intinya semua orang sepertinya hobi mati di kamar ini tanpa motif yang jelas. Keren kan filmnya? Horeee..

Score : 5

Carrie

Carrie-2013-poster

Karya Stephen King yang tersohor ini tentu harus ditonton punya walaupun ceritanya asli simple dan pasaran banget : Tentang Carrie, cewek remaja aneh yang punya ibu super-religius-cenderung-fanatik dan dalam kehidupan bersekolahnya sering di-bully temen-temennya. At the end, seorang teman ceritanya menyesal karena sering gangguin Carrie, dan untuk menebus kesalahannya, menyodorkan pacarnya untuk nemenin Carrie ke prompt night sesuai impian every girl out there.

Terjadi suatu insiden di pesta itu, dan Carrie hilang kontrol, tanpa sadar membunuh teman-temannya dan hampir seluruh kota dengan kemampuan telekinesisnya karena amarah.

Filmnya sih lumayan serem-serem bikin bergidik, cuma menurut saya tetep aja kurang berkesan deh. Aktingnya si Chloe something itu (ini yang main di Kick-Ass kan ya?) juga menurut saya terkadang agak berlebihan ekspresinya. Terus aksi bully-membully dalam dunia remaja di film ini juga menurut saya kurang alami dan cenderung dibuat-buat. Si guru olahraga pembela Carrie juga lagi-lagi terlalu berlebihan. Aaah sudahlah, pokoknya banyak cacat minor sana-sini ala saya. Saya malah lebih kepingin baca bukunya.

Untuk sekedar hiburan dan tegang-tegangan sih tentu saja film ini masih sangat layak ditonton.

Score : 7

The Big Wedding

untitledadada

Nama-nama terkenal bertaburan di film ini, mengundang banyak orang untuk menonton. Temanya agak complicated sih, tentang seorang cowok (Alejandro?) yang menikah dengan seorang cewek (Amanda Seyfried), dan ibu kandung si cowok yang udah lama ga ketemu dengannya, adalah seorang penganut Katolik yang taat. Sementara itu, di dunia real-nya, ibu angkat Alejandro (yang merawatnya selama ini – Diane Keaton) sudah bercerai dengan ayah Alejandro (Robert De Niro). Maka Alejandro membuat scene sedemikian rupa, bekerjasama dengan seluruh anggota keluarga untuk berpura-pura bahwa ayah dan ibu angkatnya masih rukun tanpa ada perceraian, untuk mendapatkan restu dari si ibu kandung. Nah masalahnya, si ayah sekarang udah punya pacar lagi (Susan Sarandon), dan pantes dong kalo’ pacarnya ini jadi jealous dan tersinggung karena ga dianggap?

Aah kira-kira gitu deh cerita intinya. Sub-storynya lagi juga ada beberapa, misalnya kakak perempuan Alejandro (beautiful Katherine Heigl) yang lagi bertengkar hebat sama pacarnya dan ternyata hamil; kemudian adik Alejandro yang ternyata masih perjaka dan kesengsem sama seorang gadis. Di akhir juga akan terbuka lagi banyak rahasia lainnya yang bikin film ini makin complicated (dan jadi kurang masuk akal) seperti mertua Alejandro yang ternyata lesbian, dll.

Ceritanya sih sebenernya manis ya, tentang sebuah keluarga besar dan bagaimana mereka saling support satu sama lain. Yang mungkin cukup bikin saya gerah mungkin (lagi-lagi) subtitle Indonesianya yang berantakan banget. ‘Breathtaking’ diterjemahin ‘menahan napas’; ‘Orgasme‘ diterjemahin ‘organisme’ (yang ini mungkin typo aja sih) dan masih banyak lagi kesalahan translation lainnya yang asli super annoying, OMG.. Pengen ngamuk rasanya sama yang punya bioskop.

Yah, intinya sih bolehlah film ini, selain ‘manis’ seperti yang saya bilang tadi, filmnya juga cukup menghibur.

Score : 7

Ender’s Game

enders-game-movie-poster

Benci banget lihat tulisan di layar bioskop sebuah mall yang menuliskan judul film di atas dengan “Ender Is Game”. OMG, what’s wrong sih dengan orang-orang kebahasaan yang ada di dunia bioskop kita?? Sepertinya banyak yang harus ambil sertifikasi kebahasaan or melahap KBBI or something. Gregetan.

Sebelum nonton film ini, saya baca beberapa review yang bilang bahwa film ini lumayan bagus dan keren, dan ga kayak film anak-anak, dan saya rasa saya cukup setuju.

Asa Butterfield sebagai pemeran Ender is totally awesome actingnya! Lihat raut mukanya yang keras dan sorot matanya yang tajam saat sedang serius atau berkonsetrasi; lihat emosinya saat sedang marah; lihat keraguan dan ketakutannya saat sedang didera masalah; lihat kharismanya saat sedang menghadapi tugas besar dan memegang pucuk komando. Semuanya begitu perfect!

Yang juga saya suka dari film ini adalah penjelasan-penjelasan ilmiah/taktikal yang ada, seperti scene saat Ender tersenyum pas Harrison Ford masuk sambil melayang ke ruang gravitasi nol dan Ender menjelaskan kenapa dia tersenyum, dan hal-hal sejenis itu. Keren banget, walaupun asli saya ga ngerti maksudnya apa, karena terlalu teknis. Ah pokoknya selalu menarik mengamati seorang anak jenius dan pola pemikirannya. Unsur psikologis dalam film ini juga kental banget, bikin saya enjoy menikmati setiap menitnya.

Di akhir film juga akan ada twist yang bikin kita sedikit ternganga. Keren..

Score : 8

tdc

Judul Buku : The Da Vinci Code
Pengarang : Dan Brown
Penerbit : Serambi Ilmu Semesta
Tahun Terbit : 2004

OK, kalau buku pertama yang inspiratif untuk saya adalah Purpose Driven Life yang terkait dengan hidup, maka buku kedua adalah The Da Vinci Code karya Dan Brown, karena bagi saya menginspirasi dari sisi menulis dan hikmah yang didapat. Hmmh, kenapa semua buku yang saya suka jenisnya serius ya?

Jadi, seperti biasa, karena mendengar sana-sini tentang kehebohan massal yang ditimbulkan oleh buku ini, saya pun turut berpartisipasi membaca buku kontroversial ini, dan senang bukan kepalang bahwa ini adalah buku kedua (setelah Harry Potter) yang mampu membuat saya terjaga penuh alias membaca terus non-stop selama dua hari untuk membabat habis isi buku ini tanpa ada selipan rasa bosan ataupun kantuk. Hore.. Senangnya luar biasa kalau dapat buku berkualitas seperti ini.

By the way, yang akan saya bahas di sini bukan sisi alur ataupun tokoh, karena menurut saya semuanya sempurna, di luar berbagai aspek yang dikatakan bertentangan dengan agama, mengguncang iman atau sejenis itu (saya tidak terlalu peduli, sejujurnya, selama saya pribadi tidak terpengaruh).

Yang membuka mata saya dari buku ini adalah :

1. Tentang riset yang dilakukan seorang penulis. Maksud saya, saya banyak menemukan (misal) tentang buku yang berlatarbelakang Eropa atau sejenisnya, dan memang si penulis ternyata berlokasi di Eropa sehingga ia bisa menggambarkan semua unsur tempat dan lokasi dengan sangat tepat dan detail. Tapi sebaliknya, saya juga pernah menemukan buku berlatarbelakang sama (Eropa) yang dibuat oleh penulis yang berlokasi di Jakarta. Ternyata semua plot tempat di Eropa tersebut dilakukannya lewat yang namanya riset. Dan mengagumkan bukan, bagaimana ‘hanya’ sebuah riset dapat memberikan detail yang sempurna seolah seperti nyata?

Sama seperti The Da Vinci Code ini, saya selalu geleng-geleng kepala dengan penulis yang melakukan riset terhadap hal baru yang benar-benar tidak dipahami sebelumnya, hanya untuk membuat buku atau ceritanya menjadi real. Dapatkah kamu bayangkan, betapa keras usaha yang harus dilakukan untuk melakukan sebuah riset, mulai dari mencari narasumber yang tepat, melakukan proses interview, memahami dan mencoba mengerti semua penjelasan dari narasumber tadi, serta merumuskannya dalam cerita, dan lain sebagainya? Belum lagi bagaimana dia harus berhati-hati menaruh semua informasi itu dalam tulisannya, karena resiko kritik terhadap akurasi data tentu selalu ada. Intinya, sangat sulit mengubah perspektif seorang awam untuk melihat dari sisi seorang profesional. Butuh waktu tenaga, tekad, komitmen dan konsistensi.

Kembali ke Brown, di saat dia sebenarnya bisa membuat karya sederhana yang pasti bakalan sukses hanya dengan menjual namanya, Brown memilih cara lain yang menguras waktu dan tenaga, untuk sebuah kesempurnaan. I love it! Dan ingat, ini bukan hanya dalam kasus The Da Vinci Code, tapi buku-buku berikutnya yang semua punya tema berbeda sehingga tentu riset yang dilakukan juga harus dimulai dari nol lagi. Silakan lihat Deception Point, Lost Symbol, dan lain sebagainya.

Intinya, apa yang dilakukan Brown dan banyak penulis lain (biasanya penulis internasional, maafkan saya untuk membeberkan fakta ini) membuka mata saya tentang sudut pandang sebuah karya. Kalau kamu mau buat sesuatu yang baik dan tidak biasa, lakukan riset, tantang dirimu untuk mengeluarkan usaha lebih demi mendapat hasil maksimal. Berkenalanlah dengan banyak orang dan sumber, perkaya wawasanmu, tuangkan itu dalam tulisanmu, perbanyak variasi genre karya dan tulisanmu. Intinya, PUASKAN dirimu dan nikmati proses itu.

2. Keluar dari comfort zone. Masih sedikit menyinggung point no. 1, yang saya belajar dari seorang Dan Brown dan bukunya adalah untuk keluar dari zona nyaman alias berangkat ke area yang tidak familiar, untuk menantang diri kita bahwa kita mampu.

Sama seperti sekarang, biasanya blog saya lebih berisi renungan atau hasil observasi, ditambah beberapa review film dan buku serta catatan jalan-jalan. Kemudian saya mulai mengenal cerpen dengan spesialisasi flash fiction, dan sumpah saya buta banget dengan karya jenis ini. Saya kesulitan membuat dialog yang mengalir dengan lancar; saya kesulitan membagi cerita mulai dari pembukaan, klimaks sampai anti-klimaks. Tapi saya belajar untuk membuatnya, memaksa diri melakukannya. Saya belajar untuk melihat dan mempelajari karya orang lain untuk mendapat banyak masukan. I quit from my comfort zone and I learn a new genre to enrich my writing style, dan saya bisa katakan bahwa pada titik ini sepertinya pembelajaran saya berhasil. Sekarang saya bisa membuat sebuah flash fiction dengan twist ending dengan cukup mudah.

Sekarang, saya mau mulai belajar untuk menulis cerpen dengan genre fantasi, karena sebelumnya saya agak antipati dengan karya fantasi dan saya merasa tidak bisa membuat jenis yang satu ini. Tapi belajar adalah proses yang tidak berkesudahan kan? Kalau saya mau maju, maka saya harus mencoba. Kalau nanti di akhir saya menemukan bahwa fantasy is not my thing, ya sudah, tidak apa-apa, yang penting saya sudah mencoba. Siapa yang tahu kalau ternyata nanti saya bisa menemukan passion saya di cerita fantasi dan jangan-jangan talenta saya justru di situ? Pasti saya bakalan menyesal kalau tidak memulainya.

Ya, selesailah dua hal tentang mengapa sebuah The Da Vinci Code menginspirasi dan membuka paradigma baru dalam diri saya. Saya senang disentil dan ditegur, sebab manis rasanya menikmati buah perubahan saat kita mau menerima kritik.

Mari mulai memperkaya tulisan kita 🙂

Total Kata : 806

Diikutsertakan dalam project di sini

Untitled Black Painting (Dad Started Smoking When He Was 13)

 

Hari ini jadwalku menjenguk ayah. Sudah sebulan ini dia tinggal di sana. Orang bilang baguslah itu, supaya sakitnya kabur dan enggan akut lagi.

Aku melangkah memasuki ruangan, sebelumnya melapor ke petugas, ijin menemuinya.

Dia duduk dengan wajah pias, rambut masai dan janggut lebat tanda tak tersentuh cukuran.

Tanpa banyak cakap kuserahkan sebungkus roti pesanannya.

Lekas dia mengulurkan tangannya lewat sela yang tercipta dari jejeran jeruji besi yang memisahkan kami, menyambar roti itu.

“Kikir ada di dalamnya,” bisikku, menoleh kiri-kanan.

Ayah terkekeh.

“Sekaburnya aku dari tempat ini, giliran rumah orang kaya di seberang pendopo itu yang akan kugasak..”

Aku geleng kepala.

Diikutsertakan dalam #FF100Kata dengan tema harian “ayah”.

Tags:

Fanny Wiriaatmadja

Follow Fanny Wiriaatmadja on WordPress.com

Enter your email address to follow this blog and receive notifications of new posts by email.

Join 1,713 other subscribers

Memories in Picture - IG @fannywa8

No Instagram images were found.

Blog Stats

  • 594,778 hits

FeedJit

Archives

Categories

Protected by Copyscape DMCA Takedown Notice Infringement Search Tool

November 2013
M T W T F S S
 123
45678910
11121314151617
18192021222324
252627282930  
Jia Effendie

Editor, Translator, Author

Dream Bender

mari kendalikan mimpi

catatan acturindra

sekelumit cerita penolak lupa

JvTino

semua yang ada di alam ini bersuara, hanya cara mendengarnya saja yang berbeda-beda

Rini bee

Ini adalah kisah perjalanan saya. Kisah yang mungkin juga tentang kamu, dia ataupun mereka. Kisah yang terekam di hati saya. Sebuah karya sederhana untuk cinta yang luar biasa. Sebuah perjalanan hati.. :)

hati dalam tinta

halo, dengarkah kamu saat hatimu bicara?

Agus Noor_files

Dunia Para Penyihir Bahasa

kata dan rasa

hanya kata-kata biasa dari segala rasa yang tak biasa

Iit Sibarani | Akar Pikiran

Akar Pikiran Besar Mengawali dan Mengawal Evolusi Besar

cerita daeng harry

cerita fiksi, film, destinasi dan lainnya

Dunia Serba Entah

Tempatku meracau tak jelas

Astrid Tumewu

i am simply Grateful

Mandewi

a home

FIKSI LOTUS

Kumpulan Sastra Klasik Dunia

Meliya Indri's Notes

ruang untuk hobi menulisnya

anhardanaputra

kepala adalah kelana dan hati titik henti

catatanherma

Apa yang kurasa, kupikirkan...tertuang di sini...

Rido Arbain's Personal Blog

Introducing the Monster Inside My Mind

Sindy is My Name

Introducing the Monster Inside My Mind

MIZARI'S MIND PALACE

..silent words of a silent learner..

Nins' Travelog

Notes & Photographs from my travels

Gadis Naga Kecil

Aku tidak pandai meramu kata. Tapi aku pemintal rindu yang handal.

lalatdunia's Blog

sailing..exploring..learning..

GADO GADO KATA

Catatan Harian Tak Penting

Maisya

My Thought in Words and Images

Luapan Imajinasi Seorang Mayya

Mari mulai bercerita...

hedia rizki

Pemintal rindu yang handal pemendam rasa yang payah

Catatannya Sulung

Tiap Kita Punya Rahasia

chocoStorm

The Dark Side of Me

copysual

iwan - Indah - Ikyu

nurun ala

menari dalam sunyi

Rindrianie's Blog

Just being me

Nona Senja

hanya sebuah catatan tentang aku, kamu, dan rasa yang tak tersampaikan

https://silly-us.tumblr.com/

Introducing the Monster Inside My Mind

Doodles & Scribles

Introducing the Monster Inside My Mind

All things Europe

Introducing the Monster Inside My Mind

The Laughing Phoenix

Life through broken 3D glasses. Mostly harmless.

miund.com

Introducing the Monster Inside My Mind

Dee Idea

Introducing the Monster Inside My Mind

DATABASE FILM

Introducing the Monster Inside My Mind

www.vabyo.com

Introducing the Monster Inside My Mind

amrazing007 tumblr post

Introducing the Monster Inside My Mind

The Naked Traveler

Journey Redefined

~13~

Introducing the Monster Inside My Mind