Fanny Wiriaatmadja

Archive for the ‘Book’ Category

Ender’s Game
Orson Scott Card

Enders

Setiap menonton film yang bagus atau menarik yang diadaptasi dari buku, biasanya saya hampir selalu beli bukunya. Just curious, how is the first adaptation in story-telling before it was translated into real-cinema, and always interesting to compare both version. Ketajaman tulisan dibandingkan dengan kemegahan visualisasi – mana yang lebih menarik? I love to assess!

Hal sama terjadi untuk Ender’s Game. Filmnya cukup keren walaupun rumit, dan saya suka banget sama si tokohnya – dengan pandangan mata nyalang dan penuh tekad. Akting yang bagus!

Di novel ternyata ceritanya masih sama rumitnya, tentang dunia beberapa puluh tahun ke depan dimana bumi diserang musuh (alien) dan anak-anak kecil yang jenius direkrut dan dilatih untuk menjadi pahlawan. Dunia sudah bosan dengan para superhero, dan musuh sudah terlalu pandai untuk mengetahui strategi standard. Anak-anak kecil sebagai solusi akan menjadi suatu kejutan, baik bagi musuh maupun bagi negara, dengan berbagai otak jernih mereka yang belum terkontaminasi banyak hal. Ender adalah salah satu dari anak jenius yang direkrut.

Di tengah tekanan dari kakaknya yang merasa tersaingi karena Ender terpilih dalam program pelatihan, Ender harus menghadapi satu siklus kehidupan baru dimana dia diasingkan dari keluarganya, dan hari-harinya dipenuhi sesi pelajaran dan simulasi untuk mempersiapkan diri menghadapi kedatangan musuh setiap saat. Menarik melihat berbagai pelajaran dan bagaimana karakter unik Ender membuatnya berbeda dari teman-temannya; bagaimana jiwa leadershipnya dipantau dan dilatih oleh para mentornya; bagaimana Ender harus memimpin team-nya yang penuh dengan berbagai karakter berbeda.

Sama seperti filmnya, ceritanya menarik. Idenya segar dan tidak biasa.

Yang sangat-sangat membuat saya frustrasi dengan novel ini adalah kemampuan visual saya yang di bawah rata-rata. Bahkan setelah menonton filmnya pun, saya tetap tidak mengerti deksripsi visual yang dijabarkan di dalam novel tentang ruang anti gravitasi, tempat pelatihan di mana orang tidak punya bobot/berat. Saya tidak mengerti penjelasan detail tentang pergerakan Ender dan teman-temannya dalam perang antar team. Sungguh semuanya sangat rumit dan saya tidak bisa membayangkan apapun. Entah memang deskripsinya yang berat, atau memang saya yang tiidak pandai menerjemahkan kata ke dalam visual dalam benak. Apapun itu, saya merasa terberkati dengan versi filmnya.

Hal minor lain adalah bahan kertas dalam novel ini yang kurang saya suka. I know that it sounds ridiculous but I can’t help it. Tahu dan aware bahwa itu terkait dengan penerbitnya, harga produksi dan sebagainya, whatever, I still don’t like the paper.

Score : 7

The Rite
Matt Baglio

The-Rite-001

Novel ini merupakan kisah nyata tentang perjalanan Pater Gary, seorang pastur dari California, dalam mempelajari eksorsisme di Vatikan. Awalnya beliau sempat ragu, mengingat eksorsisme merupakan topik yang tidak umum di Amerika dan orang cenderung berpandangan negatif mengenai hal ini, tapi merasa bahwa ini suatu panggilan ilahi, Ybs. pun kemudian menjalaninya dengan serius. Selain mengikuti berbagai materi perkuliahan dengan menggunakan penerjemah bahasa, Pater Gary juga magang di seorang pastur eksorsisme yang cukup senior di Vatikan untuk mempelajari proses pengusiran setan. Setiap minggunya selama beberapa hari ia menyaksikan sendiri orang-orang yang kerasukan setan. Dari zero knowledge, sedikit demi sedikit ia mempelajari konsep eksorsisme, masih dengan kendala bahasa karena pastur seniornya itu tidak bisa berbahasa Inggris. Challenge lainnya adalah banyaknya orang yang berpendapat bahwa eksorsisme adalah solusi instan, padahal it’s a long, long, process dan butuh kerjasama dari orangnya juga untuk mengubah cara hidupnya. Para ‘pasien’ yang kecewa kebanyakan enggan kembali lagi karena menemukan bahwa mereka tidak ‘sembuh’ dalam 1-2x pertemuan.

Buku ini bukan cuma sekedar berkisah tentang perjalanan hidup Pater Gary, tapi juga merupakan literatur pembelajaran Katolik mengenai konsep eksorsisme plus pandangan medis. Jadi kita pembaca akan diajak selang-seling membaca novel sekaligus membaca buku pegangan/pelajaran. Jujur kadang sedikit membosankan saat membaca part di luar kisah sehari-hari Pater Gary and I often skipped few pages. Kisah eksorsismenya pun sebagian besar mirip-mirip, dengan deksripsi gejala yang juga diulang-ulang sehingga kisahnya serasa tidak spesial lagi. Hanya ada perbedaan motif dan background.

Yang juga amat sangat mengganggu adalah typo yang bertebaran di mana-mana, seakan memaksa untuk eksis di sepanjang kisah.

Buku ini sudah difilmkan, tapi setahu saya waktu itu ga sempet masuk ke Indonesia – pas masa-masa film bioskop di-freeze itu loh. Menyebalkan sangat, karena ini salah satu film yang saya nafsu banget pengen nonton.

Score : 7

Lockwood & Co. : The Screaming Staircase
Jonathan Stroud

LockwoodIno

Jonathan Stroud is one of my favourite author. Bartimaeus Trilogy adalah salah satu masterpiece-nya yang notabene juga one of my favourite series.

Kali ini dengan Lockwood & Co., Stroud kembali hadir dengan background berbagai makhluk gaib. Kalau di Bartimaeus kita disuguhi beragam jin makhluk mitos lainnya, di Lockwood & Co. kita akan dihadapkan pada para hantu.

Lockwood & Co. bercerita tentang perusahaan pengusir hantu yang didirikan oleh Anthony Lockwood. Dengan setting Inggris jaman silam yang memang sohor dengan mitos hantunya, kisah mengalir lancar sedari awal, tentang asal-muasal perkenalan Lucy Cartyle yang memang memiliki bakat/sensitivitas untuk mendengarkan suara-suara gaib dengan Anthony Lockwood dan partnernya, George. Berawal dari ketidakpercayaan satu sama lain, mereka harus berjuang bersama mengatasi kasus demi kasus yang berdatangan.

Dalam kasus perdana mereka, terjadi kegagalan karena adanya miskomunikasi, dan rumah klien mereka terbakar habis. Sang klien mengajukan tuntutan, dan Lockwood & Co. yang baru seumur jagung lantas terancam bangkrut. Beruntung mereka kemudian mendapatkan satu kasus untuk mengusir hantu di salah satu kastil tertua paling berhantu di seluruh Inggris, Combe Carey Hall, dari seorang bangsawan. Walaupun awalnya heran kenapa mereka yang terpilih plus ragu karena nyawa mereka taruhannya, akhirnya mereka memutuskan untuk mengambil kasus ini. Persiapan demi persiapan dilakukan dalam jangka waktu yang sangat singkat. Berhasilkah mereka mengusir seluruh hantu dari rumah tua itu demi mendapatkan uang untuk melunasi tuntutan yang diajukan pada mereka?

This is absolutely not a bad book, tapi compared to Bartimaeus, rasanya novel ini jadi terkesan abal-abal. Joke-joke yang tersaji di novel ini jadi terkesan basi dan konyol dibandingkan dengan joke cerdas dan tajam Bartimaeus yang ‘nendang’ banget. Karakteristik tokoh cukup kuat, terutama penokohan George yang sangat terorganisir dan penuh persiapan. Deskripsi suasana dan tempat juga seperti biasa menjadi salah satu kelebihan Stroud, walaupun saya sama sekali tidak merasa bergidik ataupun seram membaca kisah ini. Ending cerita cenderung agak biasa walaupun Stroud menyisipkan sedikit twist – yang tidak terlalu mengejutkan.

Overall cukup mengasyikkan mengikuti konsep pengusir hantu ala Stroud, cerita persaingan sesama company pengusir hantu, bakat-bakat yang berbeda dari para pengusir hantu tersebut, dan banyak lagi unsur-unsur lainnya.

Score : 7.5

Mary Mary
James Patterson

mary, mary

Another kisah pembunuhan dari James Patterson. Baca summarynya, ceritanya cukup menarik; tentang seorang pembunuh yang tidak diketahui jenis kelaminnya, yang membunuh para wanita dari kalangan sosialita berbackground keluarga bahagia. Uniknya, sang pembunuh bernama Mary Mary ini selalu meninggalkan sureal setelah pembunuhan, yang menceritakan kronologis pembunuhan yang dilakukannya. Di lokasi juga biasanya ia akan meninggalkan beberapa ‘tanda mata‘. Masyarakat pun dibuat gempar, apakah pembunuh bernama Mary Mary ini seorang perempuan??

Detektif beken Alex Cross pun dibuat pusing. Komitmen Cross untuk meluangkan waktu lebih bersama keluarga kini hancur berantakan gara-gara kasus yang menghebohkan ini. Dibantu asistennya, seorang anak baru yang masih hijau, Alex berusaha memecahkan kasus ini, di tengah para pejabat terkait yang tidak bersahabat, serbuan reporter terkenal yang selalu berusaha menyorot kehidupan pribadinya, serta masalah percintaannya.

Selalu menarik untuk mengikuti pola pikir seorang psikopat, proses pengumpulan data dan informasi serta analisa para polisi dan detektif, dan merasakan ‘terjun langsung’ dalam berbagai upaya penyelidikan. Jangan lupa bahwa perjalanan menuju terungkapnya motif pembunuhan adalah bagian paling menarik bagi saya dalam membaca novel-novel semacam ini.

Overall kisahnya mengalir lancar, bahasanya mudah, alurnya menyenangkan dengan konflik-konflik kecil di sela-sela cerita, tapi di akhir I felt nothing special dengan keseluruhan cerita dan rasanya kisah seperti selesai begitu saja. Penyelesaiannya terlalu cepat dan motif serta pembunuhnya tidak spesial. No surprise.

Score : 7.5

The Exorcist
William Peter Blatty

buku_The-Exorcist_

Sesuai namanya, novel ini berkisah tentang eksorsisme yang dilakukan pada Regan MacNeil, anak dari Chris MacNeil, seorang aktris terkenal. Awalnya Regan is a very sweet daughter, yang di tengah segala kesibukan ibunya pun selalu acted so sweet. Perlahan kelakuannya mulai berubah, dan seperti ibu normal pada umumnya, Chris membawa Regan ke dokter kemudian ke psikiater, dan tidak menemui solusi, sampai akhirnya bertemu dengan Pastur Jesuit, Damian Karras yang membantunya dalam proses eksorsisme.

Awalnya cerita berlangsung datar cenderung membosankan, dengan dialog-dialog yang menurut saya tanpa makna walaupun saya sadar semua itu berguna untuk membangun cerita.

Beberapa bab kemudian, alur mulai menanjak. Ketegangan mulai terasa, dan mulai sulit untuk melepas buku ini. Bahkan part kunjungan dan konsultasi dengan dokter pun menjadi bagian yang menarik. Analisa dokter mengenai penyakit Reagan berdasarkan gejala dan penampakan yang terlihat, membuat saya menyerap banyak hal baru dari sisi kesehatan, belum lagi berbagai kasus yang disajikan tentang pasien yang bergejala sama. Setelahnya muncul tokoh polisi/detektif yang berkarakter menyebalkan dengan terus berusaha mengorek berbagai kasus yang diduga pembunuhan, dan terakhir kita masuk ke bab pertemuan dengan Pastur Karras dimana upaya pengusiran setan dilakukan. Pembaca mulai dibawa masuk ke puncak cerita. Seru, tegang, cepat. Rasanya ikut merasakan kelelahan dan kefrustrasian yang dirasakan oleh Pastur dan Chris. Belum lagi adanya tokoh-tokoh lain seperti pasangan suami istri pelayan di rumah Chris yang bertindak-tanduk mencurigakan, yang turut memeriahkan cerita walaupuh hanya merupakan bumbu kecil. Gabungan unsur cerita antara medis, eksorsisme dan kriminalitas menjadi paduan unik yang menarik.

Overall, buku yang cukup layak dibaca.

Anyway saya jadi teringat bagian pembukaan di dalam novel di mana sang pastur bertemu setan di Afrika, dan mendadak bingung apa kaitannya dengan cerita ini. Apakah ini setan yang sama, dan apa kaitannya antara setan tersebut dengan Regan? Apakah sang setan hanya memanfaatkan Regan terkait dengan dendamnya pada sang pastur? Agak ga jelas. Mungkin saya missed beberapa bagian di novel ini sehingga tidak melihat benang merahnya.

Score : 8

Flavous

Saya beli buku ini di Bazaar Gramedia with only iDR 30K. Covernya cukup mentereng dan eye-catching, dan baca sekilas summary-nya, sepertinya ceritanya cukup unik walaupun saya jelas bukan penggemar kopi. Saya mulai baca buku ini di hari Kamis lalu kalau ga salah dan ga bisa berhenti melahapnya sampai habis. In total I spent 2 days to finish this book, and can’t say other than ‘I love this book’!

Ceritanya tentang Robert Wallis, seorang pemuda Inggris yang necis dan gemar bergaya hidup mewah dengan profesi penulis serta keuangan terbatas yang drop out dari universitas. Di sebuah kedai favoritnya, ia berjumpa dengan Samuel Pinker, seorang pedagang kopi; terjadi suatu percakapan aneh yang kemudian tak disangka-sangka mengubah seluruh hidup Wallis. Singkat kata, ia diminta bekerja untuk Pinker dengan tugas menyelesaikan satu kamus tentang bau-bauan kopi, supaya biji kopi yang dipesan bisa dibedakan dengan jelas berdasarkan pedoman itu. Misal Kopi Arabica, Wallis akan menuliskan deskripsi kata yang mencerminkan bau khas kopi tersebut. ‘Plum’, ‘Kayu Jati’, dll. Ketajaman penciuman dikombinasikan dengan kekayaan perbendaharaan katanya membuatnya menjadi asset berharga untuk perusahaan kopi Pinker. So setiap hari Wallis hanya memeriksa satu per satu biji kopi yang baru datang, menciuminya, merebus dan menyeduhnya, dan menyimpulkan keseluruhan aroma yang terasa baik di hidung maupun di lidah.

Di sini ia juga berkenalan dengan Emily, putra Pinker yang sangat keras, idealis, sekaligus pembela gerakan hak asasi wanita, dan sesuai dugaan keduanya jatuh cinta. Kasta sosial yang cukup berbeda membuat Pinker menolak rencana pernikahan mereka, dan Wallis dikirim ke Afrika untuk mengurus perkebunan kopi Pinker dengan iming-iming pernikahan dengan putrinya apabila Walis berhasil mengurus perkebunan tersebut dalam 4 tahun.

Dimulailah perjalanan Wallis ke Afrika; penuh pahit-manis dan suka-duka, dan sungguh seru pengalaman dan pertualangannya di sini! Pula ia berkenalan dengan seorang budak wanita yang sangat cantik yang kemudian dibelinya dengan harga sangat mahal, namun kemudian mengkhianati cintanya tanpa diduga.

Wallis kembali ke London dengan patah hati, bertemu kembali dengan Emily yang sudah menikah dengan seorang anggota parlemen dan sekarang didiagnosa menderita Histeria. Cerita berlanjut, masih tentang perusahaan kopi Pinker, hubungan Wallis dan Emily, perjuangan Emily membela kaum wanita, dan masih banyak lagi.

Selesai membaca buku ini, seperti Wallis yang bertugas menjabarkan aroma kopi dalam kata, saya tak bisa menemukan satu kata yang lebih tepat bagi cerita ini selain ‘kaya’. Novel ini sangat kaya dengan beragam cerita yang tidak biasa. Saya jadi mengenal sebuah sudut pandang baru mengenai kecintaan terhadap kopi yang dikaitkan dengan bebauan; kondisi Inggris dan negara-negara lain termasuk Afrika di jaman itu (akhir tahun 1800-an), sistem perbudakan serta kehidupan persukuan di Afrika, kisah tentang perjuangan kaum wanita Inggris di masa itu untuk mendapatkan kesamaan hak dengan pria, perputaran ekonomi terkait dengan bursa, saham, branding, dan lain-lain, dan masih banyak lagi. Banyak hal baru yang sangat tidak biasa ditemui di novel pada umumnya, dan membaca buku ini membuat kita dijungkir-balikkan dari berbagai macam keadaan dan latar belakang.

Selain cerita, banyak lagi kelebihan yang disajikan buku ini :

  • Karakteristik tokoh yang kuat; mulai dari Robert Wallis yang mudah jatuh cinta dan terkesan dangkal dengan gaya hidupnya, tapi somehow sangat mengundang simpati dengan kecerdasan dan ketajaman bau serta kemahirannya berbahasa, Emily yang keras dan senang berdebat serta sangat teguh menjaga prinsip-prinsipnya, Pinker yang lihai dan bersemangat, dan masih banyak lagi.
  • Gaya bahasa yang memikat; cerita berlatar belakang tahun 1800-an yang dibawakan dengan gaya modern tapi tidak menghapus sedikit pun sentuhan sastra jaman itu. Plotnya mengalir dengan sangat enak, belum lagi beberapa soft-joke yang manis, terutama dari karakter jenaka Robert Wallis.
  • Beberapa twist sederhana yang membuat kita cukup terkejut, walau di beberapa bagian terkesan dipaksakan. Dari awal, perjalanan Wallis mengundang banyak pertanyaan dan rasa ingin tahu, membuat kita ingin cepat membalik halaman untuk mengetahui kelanjutan cerita, dan twist-twist ini sukses menyajikan penyelesaian yang unik dan tidak biasa.
  • Sudut pandang penceritaan yang unik. Di awal, penulis menggunakan Robert sebagai pencerita, serta kata ‘kita’ sebagai kata ganti untuk mengajak kita pembaca terlibat langsung dalam cerita. Misal, “Nah, mari sekarang berbelok ke kiri dan kita akan melihat satu sudut kota London yang jarang tersentuh..” Jadi komunikasi di awal bersifat dua arah. Kemudian selain sudut pandang seperti itu, beberapa kali penulis mengganti perspektif ke beberapa tokoh lain, misal si dukun wanita di Afrika, atau ke Emily sebagai pencerita. Cukup unik dan cukup berhasil untuk tidak menimbulkan kebingungan, walau terkesan inkonsisten.

Intinya, buku ini recommended untuk dibaca. Beberapa pembaca akan mengatakan banyak pelajaran hidup didapat dari buku ini; tentang keteguhan hati, perjuangan hidup, cinta sejati, dll. Tapi saya pribadi belum merasa sampai sejauh dan sedalam itu. Tidak ada lesson of morale atau apapun sejenis itu yang mencolek hati ini pasca membacanya, please blame me for this, tapi jelas saya merasa novel ini manis dan dijamin membekas hangat di hati, apalagi bagi para pecinta kopi.

Score : 8.5 out of 10

31048-titik_nol_makna_sebu

Buku ini sudah lama saya incar gara-gara promosi sepupu saya. Katanya blognya si penulis keren dan bikin heboh dunia backpackers.

Pas dibaca, ternyata memang bener. Si penulis, Agustinus Wibowo, memang bener bukan traveller biasa. Saya sampe’ bingung darimana nyali segede itu untuk ngejabanin petualangan di negeri-negeri eksotis campur bahaya di seluruh dunia, mulai dari Pakistan, Afghanistan, India, Uzbekistan, Tajikistan, semua negeri-negeri ‘tan’ itu, dan masih banyak lagi. Setau saya, dari ceritanya, orangnya kecil mungil, tapi sepertinya urat nyalinya tidak sebanding.

Membaca buku ini, jelas ini bukan sekedar backpackers biasa. Penulis bener-bener terjun langsung dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, menjadi penduduk setempat dan berbaur dengan komunitas lokal. Semua intrik politik negeri yang dikunjungi dan sejarahnya, penulis tahu begitu dalam. Saya bak mendengarkan kisah dari penduduk asli negeri itu. Benar-benar mengagumkan.

Di buku Titik Nol ini, sekuel pertama dari petualangannya, Agustinus mengisahkan petualangannya paralel dengan kisah ibunya yang sedang menyongsong ajal karena kanker. Cerita berjalan maju-mundur, dan buat saya kadang sedikit membingungkan karena dimensi waktu dalam cerita ini jadi begitu mengambang. Saya jadi bingung sendiri, ini kisahnya kapan dll. Penulis juga tidak menceritakan background jelas ala traveller yang menjabarkan tentang kenapa dia mau ke negeri ini, alur/flow perjalanannya gimana, dll. Pokoknya tahu-tahu Ybs. sudah menceritakan kisahnya di negeri xxx, that’s it. Jadi kita tinggal telan saja dan mengikuti ceritanya.

Satu hal lain yang sedikit mengganjal adalah keparalelan yang dipaksakan, menurut saya. Misal saat bercerita tentang cinta, penulis akan mengisahkan pengalamannya saat berbackpackers, dan di sisi lain kisah cinta yang terkait dengan ibunya itu (ingat, novel ini berkisah tentang dua gambaran besar itu, seperti yang sudah disebut di atas, yakni kisah perjalanannya dan kisah tentang ibunya). Idenya bagus sih, pembaca jadi seolah melihat satu topik dalam dua cerita, semua dibuat paralel dan kadang seolah saling bersambung antara kedua kisah, tapi kadang jadi terkesan dipaksakan. Agak susah jelasinnya, tapi itu kesan yang saya dapat.

Dari sisi cerita, saya juga suka dengan gamblangnya cerita yang dia paparkan. Dia tidak pernah berusaha tampil sebagai nice guy, tapi borok-borok dan busuknya dirinya selama perjalanan ini pun dia tampilkan apa adanya. Dia juga menyentil sedikit topik sensitif seperti suku dan agama di novel ini. I love it!

Mengenai perbahasaan, dapat pula saya katakan bahwa Agustinus, again, bukan traveller biasa. Dia beneran seorang penulis. Membaca kisahnya entah mengapa saya jadi teringat sedikit gaya tulisan Andrea Hirata. Tidak, Agustinus belum sesastrawan Andrea Hirata, tapi caranya berkisah cerita lucu yang seolah tidak meminta tawa pembaca, begitu mirip dengan cara tutur Andrea Hirata. Bagaimana dia menyajikan cerita konyol dan jenaka sangatlah ringan dan sumpah ga dibuat-buat atau dipaksakan lucu. Cerita mengalir apa adanya. Itu yang saya suka.

Agustinus juga saya lihat sangat suka menggunakan sinonim. Beberapa kata yang bermakna sama bisa dijabarkan dalam satu kalimat sekaligus untuk menekankan inti cerita dan kesan yang dalam. Ini terjadi hampir di sepanjang cerita. Tidak mengganggu, tapi terkadang juga tidak memberikan nilai lebih juga. Majas personifikasi juga sangat kental dalam buku ini.

At the end membaca buku ini setengah jalan, saya sudah pastikan bahwa saya akan membeli buku-buku selanjutnya. Jarang-jarang dapat buku travelling yang berbobot dengan gaya penulisan berat tapi bergaya ringan.

The-Geography-of-Bliss

Buku-buku semacam ini lumayan mujarab menarik perhatian pembaca karena mengkombinasikan a very-soft factor (dalam hal ini happiness) dan travelling, belum lagi dibumbui dengan humor. Well, Eric Weiner has done that!

Sesuai judulnya, bukunya mengisahkan petualangan Eric ke berbagai negara untuk mencaritahu tentang arti kebahagiaan di sana dan mengidentifikasi penyebab kebahagiaan/ketidakbahagiaan di suatu negara. Negara-negara yang dikunjungi misalnya Inggris, Swiss, Amerika, Bhutan, Thailand, Dubai, dan beberapa negara lain. Some of them are listed as the happiest country in the world, and some of them are at the least.

Bukunya pribadi menurut saya lumayan berat. Butuh bener-bener mikir dan mengernyit sesaat maupun lebih dari sesaat untuk mendalami makna kalimat-kalimatnya, apalagi sangat sering ia mengutip quotes maupun pendapat ilmiah dari banyak tokoh terkait, dan yang namanya hasil penelitian, tentu saja materinya berat! Belum lagi keterbatasan translation bahasa Inggris ke Indo somehow bikin kalimat-kalimatnya kadang kurang tepat dan ga mengena. I just hate it. Bumbu lainnya yakni humor ala Eric, kadang memang lucu, dan kadang cukup garing dan dipaksakan.

What I love mostly about this book (selain travelling sidenya, yang sudahlah tak usah dibicarakan), adalah kejujuran Eric dalam mengemukakan perasaannya, misalnya saat dia merasa tidak cocok dengan pemandu wisatanya di Bhutan/Tibet (lupa) dan dia mengungkapkannya dengan terbuka pada pembaca. Dia ga berusaha tampil sebagai seorang yang bijak hanya karena dia membicarakan topik kebahagiaan, sebaliknya dia cukup tampil apa adanya, bahkan menjual karakternya sebagai seseorang yang penggerutu dan tukang complain, dan itulah yang saya suka, termasuk keterbukaannya saat bercerita tentang pengalamannya di Dubai bertemu beberapa pemuka dan membicarakan keterkaitan agama dan kebahagiaan.

Di luar hal-hal di atas, saya kurang setuju dengan generalisasi secara umum untuk kebahagiaan, termasuk melihatnya dari sisi negara. Memang ada beberapa faktor yang kita bisa count in yang memang mempengaruhi kebahagiaan suatu negara, tapi ga semua hal bisa diterapkan seperti itu. Agak susah jelasinnya, you have to read by yourself baru bisa ngerti maksud saya. So intinya saya merasa Eric terlalu menggeneralisir dan melebih-lebihkan banyak hal untuk membuat ‘penelitian’ dan novelnya ini berhasil. Dia berusaha membuat suatu kesimpulan berdasarkan penemuannya untuk bisa menyajikan sesuatu ke pembaca. Itulah yang membuat saya masih merasa terganjal dengan buku ini.

Saya tetap percaya bahwa kebahagiaan itu relatif dan sulit didefinisikan dengan batasan-batasan geografi dan budaya. Bisa, pengaruhnya ada, tapi ga melulu menjadi sebuah jawaban dan jaminan.

Score : 6.5

IMG_1031

IQ84. Buku berjudul unik karangan Haruki Murakami ini sepertinya kemarin-kemarin lumayan booming, dan banyaknya review positif terhadap buku ini membuat saya terdorong membelinya, jangan lupakan perjuangan berkelana ke 5 cabang Gramedia demi mendapatkannya (mendapatkan buku pertamanya SAJA).

Sayangnya sepertinya saya ga cocok dengan gaya penceritaan buku ini.

Awalnya masih ngikutin pelan-pelan, masih penasaran dengan ceritanya karena sinopsis di cover belakang buku bener-bener ‘pinter’ untuk membangkitkan rasa penasaran dari liang kubur dalam hati. Sambil bertanya saya terus bertanya-tanya, apakah cerita ini terkait dengan reinkarnasi, atau perjalanan waktu, atau dimensi waktu yang berbeda, atau sejenisnya. Walaupun di awal saya entah kenapa sudah merasa ga sreg dengan karakter Aomame, saya masih terus mencoba bertahan.

Kemudian mulailah pengenalan ke tokoh kedua, si pria bernamaTengo yang sedang bimbang menghadapi tuntutan bosnya, seorang penulis (/penerbit, lupa) yang menyuruhnya diam-diam menulis ulang sebuah karya dalam sayembara menulis hasil tulisan seorang gadis polos yang berwatak aneh, untuk memenangkan sayembara itu. Cara yang digunakan masih halus, dimana Tengo akan berdiskusi dulu dengan si gadis untuk meminta persetujuan. So intinya mereka berdua akan berkolaborasi untuk memenangkan sayembara itu.

Sejak awal sepanjang diskusi antara Tengo dan bossnya, lagi-lagi saya merasa ga nyaman. Percakapan berlangsung bertele-tele, dengan point yang sebenarnya itu-itu saja. Berlembar-lembar halaman hanya untuk membahas satu dialog yang buntutnya pun tak bersolusi. Dan kemudian dialog yang mirip bisa terulang lagi besokannya, begitu terus. Saya paham, maksudnya mungkin untuk memberikan gambaran yang detail dan jelas; membangun suasana dan menghidupkan dialog supaya cerita terkesan real dan hidup, tapi entah kenapa, yang saya rasakan hanya satu : Bosan. Dialog pun terasa begitu kaku dan patah.

Sepertinya memang saya kurang cocok dengan gaya penulisan timur. Gaya penulisan barat yang to the point dan efektif sepertinya lebih sesuai untuk saya. Saya belum bisa merasakan keindahan lambatnya alur dan dialog dalam sastra timur.

At the end, di tengah cerita saya berhenti membacanya, beralih ke buku lain. Suatu saat saya akan mulai membacanya lagi – hanya untuk menuntaskan rasa penasaran, sebenarnya cerita apakah ini.

1549366_10152254002354923_493660878_n

Untuk pertama kalinya, saya baru tahu sejarah Mary Shelley, sang pengarang, dari buku ini. Ternyata kisah hidupnya cukup tragis, mulai dari kematian mendadak suaminya sampe’ penderitaannya yang harus membanting tulang demi kelangsungan hidupnya dan anak-anaknya, dan karyanya yang paling terkenal hanya Frankenstein ini saja alias karya lainnya ga terlalu sukses. Coba bandingkan dengan Dan Brown yang (kali) kalo’ bikin cerpen 15 kata tanpa makna aja tetep bisa jadi box office dunia pustaka kali.

Buku ini menyajikan ceritanya dalam bentuk surat-menyurat. Dikisahkan seorang pria yang terobsesi berpetualang ke kutub, rutin menyurati adik perempuan yang disayanginya (manisnya) dan mengisahkan tentang perjalanannya, termasuk pertemuannya dengan Victor Frankenstein, seorang yang sudah sangat depresi karena ternyata menyimpan suatu rahasia besar dalam hidupnya. Pasti udah pada tahu bahwa Victor Frankenstein ini sejak kecil terkenal sebagai anak yang pintar (jadi teringat diri sendiri) dan entah kenapa punya ‘kegilaan’ dan rasa penasaran terhadap asal-muasal kehidupan. Ketertarikan yang cenderung menyeramkan ini akhirnya membuatnya berani menciptakan satu makhluk yang menyerupai manusia, dari kombinasi mayat dan berbagai ‘bahan’ lainnya, yang kemudian dinamai dengan namanya, Frankenstein. Sayangnya karyanya yang seolah melawan kodrat dari penciptaan berbalik menjadi bencana untuknya. Makhluk yang berperawakan mengerikan ini membuat orang-orang ketakutan dan histeris dengan keberadaannya. Penolakan demi penolakan yang diterimanya akhirnya membuat hatinya yang sebenarnya lemah lembut penuh dengan rasa kecewa, pahit dan dendam dan akhirnya menyebabkan dia mengejar penciptanya untuk membunuhnya dan keluarganya demi membalas dendam.

Sebelumnya Frankenstein mencoba bernegosiasi dengan Victor penciptanya, untuk membuatkannya sebuah manusia buatan perempuan untuk menemaninya, dan setelah itu dia berjanji akan meninggalkan Victor dan menyepi, tidak lagi mengganggu manusia. Sayangnya at the end Victor tidak berani melakukan kesalahan yang sama lagi sehingga dia menolak dan menyebabkan Franskenstein murka. Dimulailah aksi kejar-mengejar untuk menuntaskan dendam kesumat.

Karena memang novel klasik, bahasanya tentu saja bahasa klasik yang cenderung mendayu dan puitis. Awalnya saya masi ngikutin dengan runut, kata per kata, tapi lama kelamaan karena mungkin sudah tahu juga gambaran ceritanya secara garis besar, akhirnya mulailah ‘nakal’ membolak-balik halaman dengan cepat dan sesekali skip bagian yang membosankan. Terakhir akhirnya bolong-bolong itu semakin banyak, dan selesailah novel itu dengan tidak sempurna.

My opinion is, mungkin karena keterbatasan narasumber dan penelitian jaman itu, proses penciptaan Frankenstein jadi terkesan begitu mudah, tanpa adanya penjabaran ilmiah yang mendetail, yang akan bikin para pembacanya terkagum-kagum. Bayangkan kalau novel sejenis ini dibuat jaman sekarang, pasti dengan segala macam riset dan penelitian, detail penciptaan Frankenstein akan dibuat sedemikian rupa sehingga semuanya sangat jelas dan rinci. Membaca Frankenstein ala Mary Shelley, kita jadi bertanya-tanya sebenernya gimana cara membuat makhluk ini karena memang penjelasannya nihil alias ga ada. Mary hanya menjabarkannya secara garis besar. Tau-tau ya jadi aja. Jadi bener-bener ga bisa memuaskan dahaga akan sisi ilmiahnya dan malah meninggalkan rasa greget dan tanda tanya besar. Agak mengecewakan, tapi masih bisa dimaklumi.

Kemudian saat Franskenstein yang notabene buta sama sekali mengenai dunia, manusia, alam, dan semuanya, penceritaan proses pengenalannya akan semua itu menurut saya jauh dari sempurna. Kadang aneh aja gimana Frankenstein bisa begitu pandai mengenali api dan ‘khasiatnya’ tapi di satu sisi bisa begitu bodoh mengenai hal-hal lainnya. Inkonsistensi, itu masalahnya. Bener-bener perlu seorang editor berpikiran jeli kalau mau membuat kisah seperti ini, untuk mengakomodir semua kemungkinan yang bisa terjadi/muncul terhadap karakter Frankenstein yang seperti bayi ini dan menghindari blunder-blunder dalam cerita seperti yang banyak saya temukan dalam buku ini. Sayang saya alpa mencatatnya. Proses pembelajaran Frankenstein dan penyerapannya terhadap kata, kalimat dan maknanya pun membuat kita mengernyitkan dahi karena semuanya seperti begitu lancar. Ah pokoknya banyak bolong di sana-sini. Tau-tau kita hanya dihadapkan dengan Frankenstein yang berjiwa manusia, that’s it.

Apapun itu anyway tetep saja karya abadi ini is a great (fiction) history, and I love this!

Score : 7

200px-CuckoosCallingCover

Robert Galbraith, alias J.K. Rowling, kembali berkarya pasca karya sukses & tidak-terlalu-suksesnya Harry Potter dan The Casual Vacancy (pernah saya review di sini). Awalnya dikatakan bahwa Rowling menyembunyikan identitasnya lewat nama samaran bermakna dalam yang menyiratkan popularitasnya (merujuk ke arti kata Galbraith dalam suatu bahasa asing – Yunani/Romawi kuno? Lupa..), tapi kemudian hal itu entah kenapa bocor ke publik, sehingga buku yang tadinya terbilang ‘hanya’ cukup sukses penjualannya kontan langsung melejit, berkat nama besar Rowling.

Benci dengan fakta ini, tapi itulah digdaya sebuah realita; nasib seorang penulis baru dibanding dengan para seniornya; subjektivitas baik berdasar maupun tidak yang membedakan penjualan penulis terkenal dan belum terkenal berdasarkan angka dan nilai, dan walau benci tentu saja saya pun terpengaruh, baru membeli buku ini setelah tahu fakta siapa pengarang aslinya. Jika tidak tahu, mana mungkin saya (dan mungkin jutaan orang lain) mau membeli buku karangan penulis antah-berantah tak dikenal bernama Robert Galbraith?

Sudahlah, mari masuk dalam ceritanya sendiri. Memang buku ini bergenre berbeda dari kedua buku sebelumnya, namun nuansa Casual Vacancy menurut saya masih sedikit menyelimuti buku ini. Entah kelamnya, entah ceritanya yang bertemakan tentang kepalsuan berkedok keindahan dalam dunia manusia.

Kali ini dalam The Cuckoo’s Calling, Rowling mencoba ‘peruntungannya’ dalam kisah detektif, dengan menyajikan Cormoran Strike sebagai tokoh utama –detektif eks veteran perang dengan kaki palsu yang berkarakter dingin, diceritakan sedikit melarat, bertubuh besar menyeramkan, cenderung kasar, dengan wajah tidak tampan. Sebagai sekretarisnya hadirlah Robin, wanita cantik yang pandai dan aktif yang ternyata sedari kecil punya mimpi menjadi seorang detektif. Ia mengorbankan beberapa pekerjaan menjanjikan demi mewujudkan mimpinya itu dengan mendampingi Strike memecahkan sebuah kasus bunuh diri seorang supermodel terkenal, Lula Lander.

Maka sedari awal kita akan diajak menyusuri sepotong demi sepotong puzzle dalam rangkaian penyidikan Strike. Di dalamnya kita akan dibawa pula ke masa lalu Strike yang ternyata anak seorang penyanyi terkenal serta kehidupan cintanya yang mengerikan dengan Charlotte; belum lagi dunia artis yang penuh kepalsuan -tempat teman-teman Lula berkecimpung- yang terpaksa dimasukinya, serta (kontradiktifnya) orang-orang dari kalangan bawah yang digambarkan hidup bak benalu dan hanya memeras orang-orang kaya, mulai dari sosok ibu kandung Lula sampai seorang Rochelle, sahabat Lula yang juga pecandu obat bius. Semua ini bersettingkan kota London yang digambarkan tak pernah mati; suatu denyut hidup kota metropolitan yang tak terkekang oleh apapun.

Menurut saya ceritanya sendiri cukup menarik, dan lumayan sulit untuk ‘dilepaskan’, tentu saja karena kisah detektif semacam ini selalu menghadirkan rasa penasaran akan tokoh si pembunuh, motif, caranya, dan lain sebagainya. Sayangnya, di akhir seperti banyak cerita detektif kebanyakan, saya mendapati bahwa lagi-lagi Strike menjadi tokoh super yang sangat hebat, yang bisa memecahkan semua kasus, tanpa kita pembaca diberi petunjuk/’pemantik’ untuk mengerti jalan pikiran dan aliran benaknya sampai bisa mengambil kesimpulan sepandai itu. Entah ya, mungkin saya terbiasa dengan Conan dan Kindaichi, yang selalu menghadirkan suatu ‘pemantik’ ataupun pencetus dalam rangka pencarian petunjuk, sebagai pendorong atau pembuka dalam proses analisa sehingga bisa berakhir pada suatu kesimpulan akan siapakah si pembunuh. Faktor itulah yang menurut saya ‘miss’ di novel ini, sehingga di akhir kita hanya dibuat mengikuti kesimpulan akhir (benak Cormoran), tanpa diajak ataupun dilibatkan melalui proses penemuan jati diri kesimpulan itu. Ehm, semoga dimengerti ya maksud saya.

Beberapa yang sedikit (sekali) mengganggu adalah kalimat narasi yang terkadang sering diulang dalam paragraf di satu halaman. Misal deskripsi tentang keadaan bisingnya kota London, bisa diulang dalam kalimat bernada sama di beberapa paragraf, sehingga buat saya kurang efektif. Akan lebih baik bila kalimatnya diganti dengan kata-kata lain; walaupun maknanya sama, at least dari faktor estetika dan fungsional, pembaca  jadi tidak menyadari perulangan makna kalimat yang sebenarnya sama tersebut.

Kemudian hal lain menurut penilaian saya adalah begitu banyaknya tokoh yang dikeluarkan dalam cerita ini, mulai dari awal sampai pertengahan. Berlimpah-ruah saksi yang dihadirkan terkait kasus pembunuhan Lula, tapi at the end tahu-tahu semua saksi mengerucut, dan absen tampil di akhir; hanya tersisa beberapa tokoh saja, seakan semua tokoh yang begitu banyak tadi hilang dalam sekejap, dan kehadiran mereka jadi terasa sia-sia sepanjang novel ini; tanpa sadar seolah mengecilkan dan meniadakan peran mereka yang tadinya digeber habis. Contohnya si penyanyi rap yang mengidolai Lula (lupa namanya. Macbee?), supir (xx-Lewis?) dan lain-lain.

Ganti dari semua tokoh yang menghilang di akhir tadi, muncullah seorang tokoh yang bisa dibilang baru sama sekali. Saya kurang suka dengan metode ini.

Sebaliknya yang saya kagumi tentu saja visualisasi dan deskripsi Rowling yang sangat detail seperti biasa, walaupun saya yang memang visualisasinya lemah kadang seringkali melewatkan bagian-bagian deskripsi tersebut, terutama deskrpsi gambaran tempat.

Yang saya suka di sini salah satunya adalah tambahan informasi : perbedaan antara efek heroin, kokain dan alkohol. Heroin akan membuat pemakainya pasif dan terlena; kokain akan membuat pemakainya paranoid dan cenderung waspada, sementara alkohol membuat peneguknya mudah emosi dan sangat reaktif. Fakta yang menarik, bukan?

Secara keseluruhan, gaya penulisan Rowling ‘cukup’ bisa dikenali; masih cukup konsisten terutama seperti The Casual Vacancy, novel sebelumnya, meskipun tentu saja The Cuckoo’s Calling ini jauh lebih menarik.

Score : 7,5

re_buku_picture_update_87409

Cuma orang gila kayak Stephen King yang bisa bikin cerita misteri super absurd. Ga pernah bisa nyerap ceritanya hanya dengan sekali baca, hampir selalu kudu balik lagi dan baca ulang. Meras otak banget deh.

Kali ini Stephen King hadir dengan kumpulan cerpennya, Just After Sunset. Sebenernya aku ga gitu ngerti sih kenapa judulnya seperti itu, karena dilihat dari kumpulan cerpennya, ga ada tuh yang bertajuk sama. Baca sekilas pengantarnya, ternyata katanya ‘senja’ itu adalah moment yang khusus dimana banyak ‘insiden’ dan.. ah entahlah aku lupa, saking terburu-buru menyantap buku ini dan jump langsung ke ceritanya.

So, ada 13 cerita pendek di sini, kumpulan cerpen Stephen King, yang hampir semuanya (atau semuanya?) sudah pernah di-publish.

Saya rekap sebentar ya inti cerpennya dan penilaian saya :

Willa – Aku setuju dengan Stephen King bahwa cerpen ini (sama sekali) bukan karya terbaiknya, dan aku agak kecewa kenapa cerita ini ditempatkan di awal sebagai penggebrak. Tapi Stephen King juga menyatakan bahwa ia sangat menyukai cerita ini. Ceritanya tentang seorang pemuda bersama segerombolan orang lain yang terdampar pasca kecelakaan yang menimpa kereta mereka, dan di suatu malam pemuda itu mencari pacarnya yang entah kenapa menghilang dari stasiun tempat mereka semua menunggu, kemudian berhasil menemukannya di sebuah bar tempat berdansa. Di situ lewat petunjuk pacarnya, dia baru menyadari bahwa dia, pacarnya dan mereka semua yang terdampar itu sebenarnya sudah mati karena kecelakaan itu, dan si pemuda berusaha membujuk kawan-kawannya itu untuk ‘bergerak’, tapi ditolak oleh mereka semua karena mereka menganggapnya gila. Membacanya butuh usaha lebih untuk tetap bertahan, mungkin karena dari awal aku sudah tidak menyukainya.

The Gingerbread Girl – Tadinya aku ga ngerti kenapa judul ceritanya itu. Baru ‘dong’ belakangan pas baca di bagian belakang tentang penjelasan Stephen King. Mirip seperti Willa, lagi-lagi aku kurang suka cerita ini. Ceritanya tentang seorang wanita yang kehilangan bayinya, terguncang dan melampiaskannya lewat ‘berlari’ (harafiah). Jadi sepanjang hari dia hanya berlari, berlari, dan berlari, dan kegilaan itu akhirnya berefek pada hancurnya pernikahannya. Setelahnya ia mengungsi di rumah peristirahatan ayahnya, dan secara tak sengaja bertemu dengan penjahat yang memperangkapnya. Dimulailah usahanya untuk meloloskan diri dari sekapan di rumah si penjahat, dan tentunya dengan berlari –satu-satunya keahliannya- pada akhirnya. Lagi, aku juga kurang suka cerita ini. Intinya pendek, tapi ceritanya dipanjang-panjangkan dan begitu banyak detail printilan yang menurutku bikin capek bacanya. Terlalu deskriptif, tapi itu memang keahliannya Stephen King kan?

Harvey’s Dream – Ini cerita tentang pria yang menceritakan mimpinya pada istrinya, dan ternyata semua mimpinya itu kejadian. Aku lumayan suka cerita ini.

Rest Stop – Ceritanya tentang seseorang yang numpang pipis di Rest Area, terus ketemu sepasang pria dan wanita yang bertengkar dan si pria is about to mukulin ceweknya itu. Sederhana aja sih, dan again bukan my favorite story. Cerita ini dibuat berdasarkan pengalaman real Stephen King sendiri.

Stationery Bike – Ini adalah salah satu cerita terpanjang di novel ini. Ide ceritanya aku suka banget, ditambah introduction yang memikat. Ceritanya tentang seorang pria yang sedang berkonsultasi tentang kesehatannya pada seorang dokter dan bagaimana si dokter menjelaskan dan memberikan warning tentang kadar kolesterolnya yang tinggi dengan memberikan sebuah perumpamaan, bahwa ada pria-pria di dalam tubuhnya yang bekerja keras untuk memperbaiki kesehatannya dan suatu saat mereka semua akan kelelahan ‘merawat’ tubuhnya, dan tibalah ajal akan menjemput. Nah si pria itu entah kenapa terbayang-bayang terus akan perumpamaan itu dan dia mulai ‘menghidupkan’ tokoh-tokoh itu melalui lukisannya, kemudian mulai berolahraga terkait kesehatannya, supaya pria-pria itu tidak usah bekerja keras. Cara berolahraganya adalah dengan mengayuh sepeda statis. Karena cukup membosankan, dia mulai membuat rute virtual yang panjang sambil bersepeda, dan entah kenapa dia mulai terbawa pada ‘mimpi-mimpi’ dimana para pria yang ada dalam imajinasinya itu hidup dan marah padanya, menuduh si pria sengaja mau melenyapkan/membunuh mereka dengan berolahraga (mengambil-alih mata pencarian dan pekerjaan mereka sebagai pembakar lemak, kalori, dll. di dalam tubuh). Keren mati kan idenya? Tapi jujur dalam eksekusinya aku sedikit bosan karena ceritanya kepanjangannya. Bukan ceritanya yang problem sebenarnya, tapi aku yang memang ga tahan baca cerpen panjang.

The Things They Left Behind – Again, aku juga suka ide ceritanya. Ceritanya tentang seorang pria yang lolos dari peristiwa 9/11, dimana semua teman sekantornya tewas. Saat peristiwa itu terjadi, dia kebetulan memilih pura-pura sakit karena malas masuk kantor. Entah kenapa –mungkin karena rasa bersalah khas orang yang selamat dari suatu kecelakaan- mendadak benda-benda kenangan peninggalan teman-temannya yang sudah wafat mulai bermunculan di apartemennya, sampai pria ini akhirnya menceritakannya kepada teman se-apartemennya akan kejadian misterius itu. Temannya pun menawarkan untuk mengambil sebuah benda, untuk membuktikan bahwa tidak ada apapun yang salah dengan semua benda itu; bahwa semua itu hanya kebetulan; ada orang yang hendak iseng dsb., sampai beberapa hari kemudian si teman mengembalikan benda itu dengan wajah pucat pasi karena lewat benda itu entah bagaimana dia bisa melihat detik terakhir kejadian 9/11 itu; bagaimana si pemilik barang (alias si korban) merangkak di bawah meja dengan rambut terbakar, dll. Menyeramkan. Mungkin aku suka ceritanya karena sederhana yang cukup mudah dicerna, tidak seperti cerita-cerita sebelumnya.

Graduation Afternoon – Aku ga begitu mengerti kisah ini. Sepertinya ini cerita tentang bom nuklir atau sejenisnya, tapi yang pasti karakterisasi yang dijabarkan King di sini sangat kuat. Aku sangat suka karakter si gadis yang tegas dan mantap, tahu apa yang diinginkannya.

N – Ini cerita yang sangat standard dan sudah tertebak, dan menurutku mirip dengan kisah Lisey’s Story, novel Stephen King sebelumnya, tentang sebuah dunia gaib dimana ada monster yang akan merusak dan menghancurkan hidupmu. Seperti yang sudah kukatakan, karena endingnya sudah tertebak, cerita ini tidak lagi spesial, tapi dari awal mataku tidak bisa berhenti membaca semua cerita konsultasi si pasien dengan psikolog terkait dunia gaib yang mencengkeramnya itu, karena caranya menceritakan tentang perilaku obsesif-kompulsif sangat menarik dan mencengangkan. Aku kecanduan.

The Cat From Hell – Sama seperti N, ending cerita ini tertebak dengan mudah, tapi tetap cerita sederhana ini sangat memikat dan menyeramkan. Suka! Sesuai judulnya, ceritanya tentang kucing yang membunuh satu anggota keluarga lengkap sebagai pembalasan dendam karena kaum mereka terus dijadikan bahan uji coba sebuah lab farmasi. Si pemilik kucing sampai menyewa seorang pembunuh bayaran untuk melenyapkan kucing itu, dan tahu sendiri kan apa yang terjadi at the end pada si pembunuh bayaran?

The New York Times at Special Bargain Rates – Ini cerita yang agak menyedihkan dan menyentuh, lagi-lagi tentang sebuah dunia pasca kematian. Ceritanya tentang seorang suami yang meninggal pasca kecelakaan pesawat dan menelepon istrinya dari akhirat. Ceritanya manis dan sangat romantis menurutku. Jadi terbayang bila aku berada di posisi wanita yang kehilangan itu.

Mute – Ini juga sangat menyenangkan untuk diikuti, kisah seorang pria yang dikhianati istrinya, yang menceritakan kisah pahitnya pada seorang bisu-tuli yang menumpang mobilnya yang kemudian mendadak lenyap seolah ditelan bumi. Belakangan dia mendapat kabar bahwa istri yang telah mengkhianatinya itu dibunuh oleh seseorang. Terkesiaplah si pria, menyadari bahwa si pria bisu-tuli itu sebenarnya bisa mendengar, dan ia membalas tumpangan yang diberikan padanya itu dengan membunuh si istri yang berkhianat. Menyeramkan, tapi bikin nagih bacanya, apalagi dibuat dalam setting pengakuan dosa pada seorang pastor.

Ayana – Lagi-lagi tentang cerita kematian; tentang bagaimana seorang pria bisa terus terhindar dari kematian berkat orang-orang yang ditemuinya, yang akan dikecupnya di bagian bibir entah bagaimana. Bagian yang kusuka adalah saat penceritaan tentang ayah mereka yang hendak dijemput ajal, tapi mengalami suatu mukjizat. Setelahnya menurutku ceritanya agak membosankan.

A Very Tight Place – Ini juga adalah salah satu cerita favoritku, menceritakan tentang sepasang rival bisnis yang saling mendendam, dan bagaimana salah seorang di antaranya yang sudah menderita kanker ganas memutuskan untuk membunuh rivalnya itu dengan cara menjebaknya dan mengurungnya dalam sebuah toilet portabel di sebuah proyek pembangunan. Maka cerita pun mulai mengisahkan perjuangan si korban untuk meloloskan diri dari neraka itu. Stephen King menjabarkannya dengan sangat detail seperti biasa, membuat kita sungguh-sungguh merinding membayangkan tumpukan tinja berseliweran intim di wajah kita, demi mempertahankan nyawa kita. Mengerikan dan menjijikkan!

Demikian sekilas tentang belasan cerita yang terdapat di dalamnya. Sebenernya iseng aku pingin bikin urutan cerita mulai dari most sampai least favorite, tapi sepertinya cukup sulit karena masing-masing cerita punya kekuatan dan kelemahannya masing-masing menurut opiniku. Ada yang sederhana, tapi memikat; ada yang idenya gemilang tapi eksekusinya agak membosankan; ada yang ceritanya tertebak, tapi enak diikuti, dll.

Nah makin ke belakang, aku makin cepet bacanya karena ceritanya jadi lebih menarik dan menegangkan. Jadi alurnya memang agak slow di awal, tapi menanjak di pertengahan sampai akhir, gitu deh pola pembacaan buku ini.

Terus again khas Stephen King, cerita-ceritanya memang absurd, mirip kisah Lisey’s Story, novel karangannya terakhir-terakhir. Novel sebelum-sebelumnya, misalnya Rose Mudder (kalau ga salah ketik) malah lebih sederhana dan ga seabsurd Lisey’s Story. Tapi memang mengagumkan bagaimana seorang Stephen King menumpahkan buah pikirannya. Seperti yang sudah kukatakan sebelumnya, deskripsinya selalu kuat, belum lagi gaya penceritaan yang ringan dan ‘ngalor ngidul’, plus style-nya yang memang demen masukkin secara gamblang merk-merk/brand tertentu. Lucu aja sih (lucu yang menyenangkan).

Score : 7,5

Hi..

Mau berbagi beberapa hal yang lagi saya suka akhir-akhir ini – random things aja sih.. Siapatau ada yang tertarik nyobain juga :

Leivy Replenishing Smooth Shower Cream – harga Rp 78,500 kalo’ ga salah. Biasanya saya termasuk pengguna sabun standard – misal Biore, Lifebuoy, dll. Sesekali nyobain Body Shop dll., tapi ga pernah nemu sabun yang bener-bener T-O-P dan bikin nagih gimanaaa, gitu. Someday mama saya beli sabun Leivy ini di Sogo (bisa dijumpai juga di Metro/Guardian juga, sepertinya), dan sejak itu saya jadi lumayan demen mandi loh (bukannya biasanya ga mandi ya, heh!!), soalnya asli abis sabunan pake’ ni merk, kulit beneran jadi alus loh. Sampe’ saya jadi suka gesek-gesek tangan ke kulit mulu, kayak orang dodol. Gatau sih apakah semua merk Leivy ini akan menghasilkan ‘efek’ yang sama atau hanya jenis yang ‘Replenishing’ ini aja (nanti saya cobain deh yang lain), tapi yang pasti ni sabun beneran enak dan bikin berasa cantik banget (ga usah sirik ya). Anyway jenis yang ‘Replenishing’ ini terbuatnya dari beras gitu (rice brain). Sebagaimana kita tau, si beras-beras itu kan memang konon katanya bikin kulit cakep ya (kayak SKII juga kan). Wanginya sih biasa aja, yang pasti ga bau kecoak deh, dijamin. Seperti yang sempet saya mention tadi, jenisnya ada juga yang lain seperti Nourishing (terbuat dari Royal Jelly), dll. Monggo silakan dipilih.

Leivy%20Revitalising%20Shower%20Cream%20Rice%20Bran-600x600

De Crunch Factory – ini adalah restoran agak berbau jepang dan western. Tadinya saya memandang sebelah mata restoran ini karena saya pikir palingan ini resto buat snack-snack ga jelas doang, eh ternyata saya kemakan ucapan sendiri loh. Pas acara birthday lunch di kantor, kita pesen makan dari sini, dan ternyata enaknya bukan kepalang, aselik! Waktu itu saya cobain Grilled Teriyaki Chicken-nya pake nasi (bisa pake’ kentang goreng), dan ya ampun udah porsinya banyak, ayamnya wangi dan enak banget, saladnya juga cakep lagi rasanya. Ini nulisnya aja sampe lidah kelelep sama air liur loh. Terus waktu itu saya cobain lagi Aglio Olio Spaghettinya. Rasanya lumayan, tapi teksturnya agak sedikit oily. Tapi tetep enak lohh.. Terakhir sempet juga cobain Hell’s Chicken-nya, yang ternyata juga enak! Sesuai namanya, si Hell’s Chicken ini bisa dipakein cabe bubuk yang katanya sih superpedasamatsangat. Gatau juga deh, karena waktu itu saya cuma taburin dikit aja. Terus atasan saya sempet juga pesen saladnya, yang ternyata super gede porsinya dan tampangnya ciamik banget, bikin sayang ngabisinnya. Ih demen banget deh.. Harganya sendiri juga ga mahal loh, cuma 30-40 ribuan aja. Sungguh, kalo’ demen makanan beginian, cobain deh, dijamin kaga nyesel. Kalo’ nyesel ya sudah sebodo teuing.. Oh ya lokasinya ada di Plaza Indonesia, di sampingnya Mie Tarik Leikker. Selain itu, saya gatau lagi lokasinya. Google aja dih..

Gambar dari plazaindonesia.com
Gambar dari plazaindonesia.com
Gambar dari foodspotting.com
Gambar dari foodspotting.com

Woku – Masih restoran nih.. resto makanan Sulawesi ini juga aselik sedep dan enak banget. Sebagian besar dia nyediain makanan Manado dan Makassar juga. Jadi ada Panada (kalo’ ga salah inget), es pisang hijau, dll. Saya waktu itu pesen Ayam Woku, Cumi Woku, sama Kangkungnya, dan semuanya enak, pedes lagi, bikin lidah melet-melet ketagihan. Kekurangannya adalah porsinya kecil (paling pas buat makan 2 orang) dan harganya lumayan mahal, satu sayur kecil sekitar 40-60 ribuan. Tapi rasanya pokoknya enak banget deh bikin nagih. Selain di Plaza Indonesia, ni resto juga ada di Plaza Semanggi.

Gambar dari Openrice.com
Gambar dari Openrice.com

SkinzIndo or RuggedSkin something – ini adalah stand kecil tempat kita bisa nempelin gambar ini-itu di HP, Tablet, Notebook or even camera kita. HP-nya pun segala macam bisa loh, mulai dari yang model basic, flip, slide, dll. Demen banget deh jadinya karena gadget kita jadi terlihat cantik dan unik. Gambarnya bisa dipilih sendiri (dari koleksi pribadi) atau bisa juga lihat di album koleksi dia atau di computernya. Sering kan, lihat casing HP di toko-toko tapi mupeng ga bisa beli karena HP-nya ga sesuai atau karena kita ga punya Samsung, Iphone dan sejenisnya? Nah, masalah ini bisa terselesaikan dengan sticker ini. Again, tinggal pilih aja gambar yang kita suka, dan simsalabim, HP kita depan belakang bakal berubah. Lokasi stand-nya yang waktu itu saya datengin adalah di Central Park, di lantai Gramedia, deket toko ChibiLand. Biaya untuk stickerin (full) handphone/gadget lain kalo’ bagian belakang doang adalah 100,000 dan kalo’ depan-belakang 150,000 atau 175,000 gitu, saya lupa. Engko-nya lumayan rapi bikinnya, dan udah memperhitungkan banyak faktor seperti casing (supaya tetep bisa dibuka dengan mudah walaupun tuh gadget udah ditempelin sticker seluruh bodynya), faktor lubang-lubang seperti lubang earphone, lubang charger, lubang idung (eh), ukuran & jenis gadget kita, dll. Terus kalo’ kita mau taruh banyak gambar dan disatuin, dia juga bisa bantu design-in. Jadi overall sih saya cukup puas sama hasilnya. Websitenya ada di http://www.skinzindo.com/

HP Acer saya setelah ditempelin sticker
HP Acer saya setelah ditempelin sticker

Pustaka Kalyana – ini adalah tempat jualan buku/novel/komik-komik tua/lama/oldies. Ih pasti banyak deh yang kangen sama serial-serial Enid Blyton, Goosebumps, komik-komik Marichan, dll. Memang sih banyak juga novel yang sudah dicetak ulang kayak Tintin atau serial Mallory Towers di toko buku, tapi ngedapetin edisi bersampul lama pasti jadi kepuasan sendiri, apalagi buat kolektor. Nah si Pustaka Kalyana ini ada di Plaza Semanggi. Silahkan mampir ke tempat ini, pasti bakal kalap kayak saya. Oh ya website lain untuk dapetin buku lama adalah http://www.almarideki.wordpress.com, bisa dicoba juga, mbak mimin-nya mau loh cariin buku lama yang kita request. Tapi waktu itu saya cari buku The Babysitters Club karangan Ann M. Martin sih gagal di website ini, dan baru berhasil pas main ke Pustaka Kalyana di Plaza Semanggi. Seneng banget bisa ketemu buku lama favorit.

IMG01909-20131225-1636

Sekian sharingnya, semoga bisa ngebantu buat yang tertarik nyobain.

Cover-99for-web

Oke, aku mengaku bahwa memang latar belakang Eropa-lah yang membuatku membeli buku ini (dan akhirnya menonton filmnya), tapi sedikit nuansa kontroversialnya yang entah mengapa mengingatkanku pada Da Vinci Code, juga merupakan salah satu faktor yang berperan penting dalam aksi pembelian buku ini. Oh ya, plus rekomendasi dari social media, plus-plus bahwa penulisnya adalah anak dari Amin Rais, yang akhirnya membuatku makin penasaran. Lengkaplah sudah alasan pemilihan buku ini, sehingga saat tim Berani Cerita mengganjarku dengan hadiah sebuah buku sebagai penghargaan menang dalam acara menulis mereka, mantap kutetapkan pilihan pada buku 99 Cahaya di Negeri Eropa.

Ceritanya mengisahkan tentang pengalaman penulis dan suaminya yang harus tinggal di Eropa, dan bagaimana mereka menemukan dan menjelajah jejak Islam di bumi Eropa. Ada banyak hal menarik di sini, baik dari sisi pengalaman sulit menghadapi perlakuan orang-orang di sekitar terkait status mereka sebagai kaum minoritas, sisi pengalaman historis dan pembelajaran dari objek-objek wisata di Eropa, termasuk sisi agamawi dan misi sebagai kaum Muslim.

Selesai membaca, aku hanya bisa bilang bahwa aku suka buku ini. Tak banyak cakap, biar kujabarkan dalam point-point saja :

  1. Jelas pengetahuanku bertambah selesai membaca buku ini, baik pengetahuan sejarah, Eropa, maupun pengetahuan mengenai agama Islam. Banyak fakta menarik yang membuka mataku, seperti asal-muasal capuccino, croisant, dan lain-lain, termasuk istilah-istilah seperti Mualaf, dll. Sejarah tentang kekuasaan Ottoman, perang salib dll. juga membuatku mengingat lagi pelajaran sejarah jaman SMP dulu, dan sebagai penggemar sejarah jelas aku seperti dibuai dengan isi buku ini. Penulisan yang netral dan tidak berpihak ke agama manapun, walaupun bertemakan Islam, juga cukup mengundang apresiasi.
  2. Bahasa yang digunakan cukup keren, koleksi vocab yang indah dan cukup jarang digunakan dalam khasanah pernovelan bertebaran dalam buku ini, membuatnya sedikit beraroma sastra. Sayangnya kadang karena terlalu ‘berbunga-bunga’, point sederhana yang bisa disampaikan dengan mudah jadi harus ‘berputar-putar’ dan diulang lagi dan lagi walau secara implisit. Intinya, satu pesan/message saja disampaikan dalam beberapa paragraf berisi tebaran kata-kata indah dan panjang yang sebenarnya tidak efektif. Just my humble opinion sih.
  3. Gaya penceritaannya kisah hidup mereka cukup menarik. Simple, sederhana, tapi (seperti yang dibahas di point no. 2) kata-katanya indah. Alurnya nge-flow tanpa terasa berat, memampukan kita membaca dan menyelesaikannya dalam sekali santap.
  4. Background Eropanya tentu saja merupakan setting yang memikat sebagai latar belakang novel ini, mulai dari Wina, Cordoba, Turki, dll.
  5. Aku juga suka dengan cerita penulis di akhir buku (tambahan) tentang background dan pengalaman saat buku ini difilmkan. Seru membaca kisah suka duka dan manis pahit pembuatan filmnya.

So, sebagai bacaan jelas buku ini cukup recommended.

Score : 8.

review-99-cahaya-di-langit-eropa-6927de

Lanjut ke filmnya, menurutku tetap bukunya lebih bagus, walaupun di film visualisasi real tentang Eropa tentu saja memanjakan mata kita. Anyway buku ini akan difilmkan dalam bentuk 2 sekuel, dan inilah sekuel pertamanya. Mari kembali ke gaya point-point :

  1. Aku jelas tahu film ini punya sponsor resmi, salah satunya bank terbesar di Indonesia. Tapi tak perlulah memaksakan satu scene tak berguna hanya untuk meng-expose si bank tersebut. Kalaupun scene tersebut perlu diadakan, tempelkanlah secara soft dengan scene lain yang relevan, jangan toh hanya scene pengambilan duit di ATM bank tersebut saja, tanpa ada message ataupun keterkaitan apapun dengan alur cerita. Konyol sekali jadinya.
  2. Pemain-pemain film ini sangat cantik, mulai dari Acha, Dewi Sandra, dll. Sisi fashion juga cukup dikedepankan. Aku suka dengan coat dan boot mereka semua, aargh.. Cara berpakaian tiap tokoh juga cukup disesuaikan dengan masing-masing pemeran. Misal Fatma yang sederhana dan dikisahkan terbatas secara finansial, cara berpakaiannya lebih membumi dan sedikit lebih ‘lusuh’..
  3. Suka juga dengan sedikit twist tentang jilbabnya Aisye, walaupun tidak tercantum di dalam novel. Banyak juga scene di film yang tidak sesuai dengan buku, tapi ternyata scene tersebut real dan benar-benar dialami penulis, hanya memang tidak dimasukkan ke dalam buku karena berbagai alasan teknis.
  4. Secara akting jujur biasa aja sih. Aku cenderung tidak suka akting Stefan yang menurutku berlebihan dan konyol, memaksakan diri untuk jadi lucu. Gaya dialog dengan campuran bahasa Indonesia, Jerman dan Inggris di keseluruhan film ini juga sebenarnya cukup mengganggu walau masih bisa dimaklumi karena mungkin memang ada keterbatasan pemeran asing. Akting Acha sebagai Hanum cukup mencerminkan karakternya yang agak jutek dan ceplas-ceplos.
  5. Lucu juga melihat dialog-dialog dengan bahasa yang ‘sehari-hari’ banget di beberapa scene di film ini. Serasa benar-benar melihat keseharian kita dalam hidup masing-masing.
  6. Penyajian scene secara paralel, berganti dari sudut pandang si tokoh utama (Hanum) maupun suaminya (Rangga) juga cukup nice.

Demikian deh sekilas tentang filmnya. Again, tetap aku lebih prefer bukunya.

Score : 7,5


Fanny Wiriaatmadja

Follow Fanny Wiriaatmadja on WordPress.com

Enter your email address to follow this blog and receive notifications of new posts by email.

Join 1,713 other subscribers

Memories in Picture - IG @fannywa8

No Instagram images were found.

Blog Stats

  • 594,772 hits

FeedJit

Archives

Categories

Protected by Copyscape DMCA Takedown Notice Infringement Search Tool

May 2024
M T W T F S S
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031  
Jia Effendie

Editor, Translator, Author

Dream Bender

mari kendalikan mimpi

catatan acturindra

sekelumit cerita penolak lupa

JvTino

semua yang ada di alam ini bersuara, hanya cara mendengarnya saja yang berbeda-beda

Rini bee

Ini adalah kisah perjalanan saya. Kisah yang mungkin juga tentang kamu, dia ataupun mereka. Kisah yang terekam di hati saya. Sebuah karya sederhana untuk cinta yang luar biasa. Sebuah perjalanan hati.. :)

hati dalam tinta

halo, dengarkah kamu saat hatimu bicara?

Agus Noor_files

Dunia Para Penyihir Bahasa

kata dan rasa

hanya kata-kata biasa dari segala rasa yang tak biasa

Iit Sibarani | Akar Pikiran

Akar Pikiran Besar Mengawali dan Mengawal Evolusi Besar

cerita daeng harry

cerita fiksi, film, destinasi dan lainnya

Dunia Serba Entah

Tempatku meracau tak jelas

Astrid Tumewu

i am simply Grateful

Mandewi

a home

FIKSI LOTUS

Kumpulan Sastra Klasik Dunia

Meliya Indri's Notes

ruang untuk hobi menulisnya

anhardanaputra

kepala adalah kelana dan hati titik henti

catatanherma

Apa yang kurasa, kupikirkan...tertuang di sini...

Rido Arbain's Personal Blog

Introducing the Monster Inside My Mind

Sindy is My Name

Introducing the Monster Inside My Mind

MIZARI'S MIND PALACE

..silent words of a silent learner..

Nins' Travelog

Notes & Photographs from my travels

Gadis Naga Kecil

Aku tidak pandai meramu kata. Tapi aku pemintal rindu yang handal.

lalatdunia's Blog

sailing..exploring..learning..

GADO GADO KATA

Catatan Harian Tak Penting

Maisya

My Thought in Words and Images

Luapan Imajinasi Seorang Mayya

Mari mulai bercerita...

hedia rizki

Pemintal rindu yang handal pemendam rasa yang payah

Catatannya Sulung

Tiap Kita Punya Rahasia

chocoStorm

The Dark Side of Me

copysual

iwan - Indah - Ikyu

nurun ala

menari dalam sunyi

Rindrianie's Blog

Just being me

Nona Senja

hanya sebuah catatan tentang aku, kamu, dan rasa yang tak tersampaikan

https://silly-us.tumblr.com/

Introducing the Monster Inside My Mind

Doodles & Scribles

Introducing the Monster Inside My Mind

All things Europe

Introducing the Monster Inside My Mind

The Laughing Phoenix

Life through broken 3D glasses. Mostly harmless.

miund.com

Introducing the Monster Inside My Mind

Dee Idea

Introducing the Monster Inside My Mind

DATABASE FILM

Introducing the Monster Inside My Mind

www.vabyo.com

Introducing the Monster Inside My Mind

amrazing007 tumblr post

Introducing the Monster Inside My Mind

The Naked Traveler

Journey Redefined

~13~

Introducing the Monster Inside My Mind