Fanny Wiriaatmadja

Archive for January 2014

Postingan ini adalah cerita terakhir dari rangkaian perjalanan ke Bali, dengan postingan pertama di sini dan postingan kedua di sini.

Hari ketiga ini temanya adalah Bali-agak-ke-utara.

Paginya, kami breakfast di Nasi Pecel Bu Tinuk, juga di Kuta. Maklum kami ga dapet breakfast di hotel. Nasi pecelnya lumayan enak, dan lagi-lagi harganya murah, sekitar Rp 15,000. Saya sendiri minum jus di sini, secara udah beberapa hari ga menyentuh buah di Bali. Untuk pemilihan menunya, metodenya seperti biasa, tinggal tunjuk sana-sini ke deretan sayur yang dipajang di etalase kaca gitu.

DSCN5371 DSCN5372 DSCN5373 DSCN5375

Selesai makan, kami mampir ke Krisna sebentar untuk belanja. Saya cuma bela-beli celana dan sandal Bali plus pai susu aneka merk.

DSCN5376

kami jalan ke Pura Taman Ayun di Mengwi. Jalannya lumayan jauh, 1 jaman. Sampe’ sana, kami beli tiket seharga Rp 10,000/orang, lalu masuk ke dalam kompleksnya yang ternyata ga ada apa-apa selain bangunan-bangunan dan danau gede yang  biasa-biasa aja. Karena ga berhasil nemu sisi menariknya, akhirnya kami balik lagi ke mobil. Sebenernya sih pasti secara histori bangunan ini pastinya punya suatu nilai, kalo’ nggak sepertinya ga mungkin tempat ini selalu masuk jadi salah satu objek wisata di setiap tour itinery yang saya pernah browse.

DSCN5383 DSCN5389  DSCN5385 DSCN5387  DSCN5390 DSCN5391 DSCN5393 DSCN5394 DSCN5402 DSCN5404 DSCN5406  DSCN5412 DSCN5413 DSCN5415 DSCN5416 DSCN5418  DSCN5423 DSCN5424

DSCN5420 DSCN5408

Again, hari itu Bali panasnya luar biasa, sementara denger kabar Jakarta hujan gila-gilaan sepanjang hari.

Dari Pura Taman Ayun, kami lanjut ke daerah Jatiluwih, karena saya mau lihat hamparan sawah bertingkat khas Bali yang tersohor cantiknya itu. Pak Komang tampaknya agak enggan ke sana, karena katanya jalan masuknya dalam, agak kecil, dan jalannya rusak. Sebagai ganti dia nawarin mampir di restoran deket gerbang masuk Jatiluwih aja, dimana kita bisa tetap lihat pemandangan sawah bertingkat itu. Ya sudah kami ngalah lagi. Kayaknya banyak yang kami agak ngalah ke supir satu ini.

Sampe’ ke restoran yang dimaksud, yang namanya Gunung Sari, ternyata sistemnya buffet, dan ya ampun makanannya secara tampang sangat jauh dari menafsukan dan menjanjikan. Mie goreng, nasi goreng, tahu kuah kecap, ayam asam manis, tuna cah, dll. Dan kita juga harus nambah beli minuman lagi. Pas dimakan, tampang ga bohong, makanannya kurang enak walaupun ga bisa bilang ga enak juga sih. Pokoknya kami cuma makan sekali doang, ga pake acara nambah-nambah lagi, dan harga all you can eat itu Rp 80,000/orang. Yah hanya sepiring nasi dan sedikit sayur seharga 80,000, rasanya lumayan nyesek sih, belum lagi minuman Rp 25,000-an. Jadi total per orang kira-kira 100,000. Huff..

IMG_20140118_115339 IMG_20140118_115518

Secara view sendiri, memang benar sih kita bisa lihat sawah bertingkat dari sini, tapi letaknya agak jauh, jadi viewnya ya kecil aja deh. Restorannya sendiri ga terlalu rame’, tapi ada beberapa turis di sini.

Setelah makan siang yang mengundang murka itu, kami jalan ke Bedugul. Itu loh, danau gede dengan pura di tengahnya, yang jadi pemandangan di lembaran duit 50,000-an kita. Perjalanan ke sini juga lumayan jauh, sekitar 1 jaman.

Sampai sana, masuk beli tiket Rp 10,000/orang, terus jalan deh ke kompleksnya. Ih dari jauh danau Bedugul dan puranya itu udah kelihatan. Cakep banget. Ga nyesel deh jauh-jauh kemari. Cuaca waktu itu udah mulai mendung, jadi langitnya pun agak berkabut dan gunung di belakangnya jadi ga keliatan, kalo’ nggak pasti view-nya tambah cantik. Tapi plus-nya, mendung-mendungnya itu jadi bikin view Bedugulnya jadi agak mistis. Orang-orang ramai berkumpul di sekitar spot pura untuk berfoto, dan sejumlah pemeluk Hindu bersiap naik perahu ke danau –mungkin part dari sembahyang mereka. Pemandangan yang menarik banget.

DSCN5467 DSCN5482 DSCN5492 DSCN5498

DSCN5454  DSCN5464

DSCN5430 DSCN5431 DSCN5435 DSCN5436 DSCN5438 DSCN5439 DSCN5441 DSCN5446

Setelahnya kami jalan agak memutar supaya bisa lihat puranya dari angle yang berbeda, dan ternyata dari belakang viewnya lebih cantik lagi karena ada tetanaman dan bunga-bungaan yang memperkaya view-nya saat difoto.

Habis itu, keliling-keliling sebentar dimana ada patung-patung kartun binatang, ada tempat burung hantu, kandang rusa, pura-pura dan gapura-gapura khas Bali yang cantik itu.

Setelahnya hujan mulai turun walaupun kecil. Untung juga kami sudah sempat berkeliling. Sampai mobil, kami melanjutkan perjalanan. Entah kenapa secara ajaib Pak Komang mengajak kami masuk lebih dalam ke Jatiluwih, tempat sawah bertingkat tadi. Dia bilang sekalian menghabiskan waktu, toh kita juga ga bisa turun ke bawah dengan cuaca seperti ini. Saya kurang ngerti sih maksudnya apa, tapi ya sudah saya sih seneng-seneng aja karena jadi bisa lihat Jatiluwih dari dekat.

Anyway kalo’ ternyata sekarang kami mau ke Jatiluwih beneran untuk liat sawah bertingkat, ngapain juga kami tadi harus makan di Gunung Sari demi liat pemandangan sawah bertingkat dari jauh dan ngabisin Rp 100,000? Grrrr.. Tapi ya sudahlah, kan ke Jatiluwih sekarang ini juga ga disengaja dan karena kebetulan hujan aja.

Perjalanan ke Jatiluwih lumayan menyeramkan. Pertama, karena kabut sisa hujan lumayan tebal, bener-bener membuat jarak pandang ke depan itu minim banget. Kedua, jalannya sempit, naik-turun dan berkelok-kelok dengan kiri-kanan banyak jurang. Ketiga, jalanannya rusak, sehingga banyak guncangan. Memang ga heran kalo’ tadi di awal Pak Komang agak enggan ke masuk lebih dalam ke Jatiluwih.

Yah anyway setelah perjalanan panjang, nyampe’ juga kami ke desa ini, dan ada beberapa spot kosong tempat banyak mobil parkir dan orang-orangnya turun untuk lihat pemandangan sawah bertingkat yang terlihat jelas dari situ. Saya dan yang lain pun melakukan hal yang sama, dan memang benar pemandangannya cantik sekali. Sebenernya kita bisa lihat lebih jelas lagi dengan terus masuk ke dalam Jatiluwihnya, tapi sepertinya Pak Komang sudah menyerah dan karena keterbatasan waktu juga, ya sudah kami setuju untuk tidak melanjutkan perjalanan ke dalam.

DSCN5530 DSCN5538

Setelahnya kami harus melalui perjalanan panjang lagi ke daerah Seminyak, tepatnya Potato Head. Tadinya mau mampir Tanah Lot dulu, tapi waktu ga memungkinkan juga dan yang lain lebih tertarik ke Potato Head, resto&bar terkenal ini. Ya sudah kami jalan ke sana. Padahal saya pingin juga ke Tanah Lot karena again dulu I was there with my father.

Sampe’ Potato Head untunglah antrian belum terbentuk sehingga kami bisa langsung masuk dengan lancar. Dari depan, desain eksterior tempat ini sudah lumayan menarik perhatian. Setelah masuk ke dalam, jujur saya agak kaget melihat hampir 75 % tempat ini semua dipenuhi oleh bule yang asyik bermalasan di kursi panjang maupun ranjang-ranjang yang  disediakan, belum lagi mereka yang berjemur di rerumputan beralas tikar. Benar-benar serasa bukan di Indonesia. Musik yang berkumandang juga membuat nuansa turisnya makin kental. Bener-bener tempat yang hippies banget.

DSCN5566 DSCN5572 DSCN5576 DSCN5582

DSCN5548 DSCN5551 DSCN5553 DSCN5556 DSCN5558 DSCN5559

Sampai sana kami ditawari mau makan atau minum doang. Karena kami cuma mau minum-minum aja, tempat yang disediakan pun berbeda. Seorang waiter bilang bahwa tempat untuk minum-minum sudah full, tapi mendadak seorang waitress yang tampaknya lebih senior langsung memboyong kami ke sebuah sofa santai yang nyaman dengan view langsung ke kolam renang dan pantai, mirip di Klapa Jimbaran, hanya saja crowd nya sangat berbeda di sini. Ah, perfect. Hanya silaunya matahari saja yang sedikit mengganggu.

Again kami pesan minuman dan enjoying sekitar 45 minutes dengan pemandangan bule berbikini lalu-lalang serta berbagai turis negara lainnya. Orang lokal sungguh jadi minoritas di sini. Setelah beberapa saat minum-minum dan sudah diusir secara halus oleh waitress yang menanyakan apakah masih akan pesan minuman lagi atau tidak, kami balik ke mobil dan lanjut ke Babi Guling Candra di Denpasar. Tadinya Pak Komang menawarkan Ayam Gilimanuk dengan alasan sore hari biasanya jalan di Denpasar agak macet, tapi sepertinya Pak Komang sudah agak keterlaluan hari itu dengan terus mencoba mengkompromikan semua tujuan yang mau kami datangi, jadi dengan tegas kami katakan bahwa kami tetap ingin makan di Candra. Ya sudah dia pun mingkem seribu bahasa.

Sampai Denpasar ternyata jalanan lancar-lancar aja kok. Makanlah kami di Candra, dimana menunya sama seperti di Warung Liku, langsung berupa nasi dengan sepiring babi guling dalam berbagai versi dan kombinasi. Setelah makan ya ampun berasa surga banget saking enaknya. Seingat saya, dulu saya pernah makan di sini tapi ga ada kesan apapun yang tertinggal, tapi kenapa kali itu makanannya enak banget ya, sampe’ mata merem-melek. Secara harga pun, ga mahal loh, tapi sayang saya lupa berapa duit.

Alamatnya : Jl. Teuku Umar 140, Denpasar.

DSCN5583 DSCN5585 DSCN5590

Dari Denpasar kami balik ke Legian untuk pulang hotel, dan kali ini hotelnya adalah 101 Legian. Letaknya dekat dengan dunia malam Legian, jadi enak buat jalan-jalan. Sayangnya pas udah nyampe’ hotel dan masuk kamar, kami malah berasa capek banget dan akhirnya tidur, ga jalan-jalan lagi. Sayang juga sih.

Anyway ini hari terakhir kami memakai jasa rental mobil, dan tiba saatnya berpisah dengan Pak Komang. Overall kami cukup puas dengan jasanya walaupun sesekali memang dia memperlihatkan dengan jelas keengganannya untuk pergi ke tempat yang agak jauh atau merepotkan. Tapi dilihat dari teknik menyetir mobil, saya pribadi puas banget. Nyetirnya kalem, jarang ngebut dan lumayan bikin safe. Selama hari-hari kami bersama, tiap diajak makan juga dia selalu menolak dengan sopan. Again, overall cukup OK.

Kemudian bahas hotelnya, lagi-lagi hotelnya juga OK, walaupun secara space, Grand Whiz kemarin lebih luas. Harganya juga mirip-mirip Grand Whiz, yakni Rp 400 ribuan. Pokoknya overall 3 hotel selama di Bali mulai dari Pop, Grand Whiz dan 101 Legian is recommended kok, ga nyesel banget stay di sini.

 DSCN5599 DSCN5601

DSCN5595

Hari Keempat

Ga dirasa, sudah saatnya untuk balik Jakarta. Pagi-pagi saya sendiri sengaja bangun lebih dini untuk jalan-jalan dulu di sekitar dan ngunjungin Ground Zero, monumen untuk mengenang peristiwa Bom Bali. Ada semacam tugu datar tinggi di sana, dan daftar nama-nama para korban. Saya hanya sempat foto-foto saja di sana, setelahnya lanjut jalan-jalan dan akhirnya makan di sebuah restoran bergaya tradisional dan memesan nasi goreng.

DSCN5607

Setelahnya saya balik hotel, check-out dan naik taksi ke bandara. Hanya Rp 30,000 saja dari Legian ke airport. Sengaja tidak memakai rental mobil karena harganya jauh lebih mahal.

Sampai airport yang ternyata sekarang sudah semakin bagus dibanding dulu dan setelah proses check-in yang ajigile ramenya, saya nunggu di gate yang sudah ditentukan dan makan Nasi Jinggo lagi. Terakhir nih, puas-puasin bersantap makanan Bali.

Sudah deh selesai trip 4 hari ke Bali. Berasa ga nyaman banget pas pulang karena terus-menerus kebayang menyenangkannya di Bali, terutama makanannya yang bener-bener bikin addicted. Rasanya saya taun ini pasti bakal balik ke sana lagi deh hanya demi makanannya. Enaknya ga ketulungan semuanya.

Bersyukur karena cuaca walaupun terik, masih cukup mendukung, ketimbang hujan terus-menerus dan ga bisa menikmati perjalanan.

Goodbye Bali, see you again 😀

Wolf of Wall Street

TheWolfofWallStreet_iTunesPre-sale_1400x2100

Iiiy, seperti biasa Leonardo Di Caprio dapat peran sebagai sosok flamboyan yang gemar berfoya-foya, mirip dengan cast-nya di Gatsby something itu. Tapi memang dia cukup cocok sih berperan semacam itu.

Seperti judulnya, dengan mudah tertebak bahwa kisah ini adalah tentang seorang pialang saham dan kehidupannya, mulai dari awal ketika dia baru jadi seorang ‘cecunguk’ saja, sampai di masa akhir suksesnya dengan perusahaannya, dan segala jatuh bangun perjalanannya akibat transaksi illegal yang dilakukannya, yang membuatnya dikejar-kejar FBI. Tentu saja kehidupan pernikahannya pun diceritakan pula. Sangat menarik.

Film ini menganut metode penceritaan oleh diri sendiri, yang menurut saya lumayan mengasyikkan. Menontonnya serasa membaca buku autobiografi seseorang, belum lagi dengan adegan-adegan gokil khas film remaja yang disajikan terkait karakter Jordan Bredford something yang memang agak nyentrik ini. Berbagai pesta, obat-obatan, wanita dll. semua adalah bagian sehari-hari dari hidupnya dan kantornya. Dengan teman-teman andalannya, mereka membangun sebuah kantor dengan atmosfer play hard work hard, dengan suasana kebersamaan dan keluargaan yang kental.

FIlm ini berdurasi cukup lama, nyaris 3 jam seingat saya, dan saya sangat menikmati setiap menitnya. Kadang ada bagian yang berjalan cukup alot seperti misalnya pidato-pidato Jordan ke anak buahnya, tapi karena pidatonya pun menurut saya bagus dan memotivasi banget, saya pun bisa tetap enjoy menontonnya.

Scene-scene lain yang terkait teknikal saham sih jujur saya ga terlalu ngerti, tapi at least point besarnya bisa ditangkap deh.

Akting si istri sebagai model cantik yang manja dan sedikit egois lumayan bagus. Senang mengetahui ada orang cantik yang bisa akting.

Ah, pokoknya saya suka film ini. Menontonnya sedikit terasa seperti menyaksikan Richard Gere di Arbitrage.

Score : 8.5

Jack Ryan : Shadow Recruit

movies-jack-ryan-shadow-recruit

I don’t like this movie, seriously. Pertama, I’m not Chris Pine fans. Cenderung kurang suka, malahan. Kedua, ya ampun, kalo’ ada orang sejenius dan sepintar Jack Ryan, sepertinya segala masalah dunia bakal selesai dengan cepat deh. Ketiga, I hate Keira Knightley di film ini. Bitchy banget. Dan yang terparah dari semua point itu adalah point kedua.

Saya ga usah berpanjang lebar ya, pokoknya selama menonton film ini kamu akan menjumpai bahwa segalanya berjalan dengan sangat lancar dan mulus; Jack Ryan juga seorang yang sangat hebat, dengan berbagai analisa dan pemikirannya. Bayangkan, dalam hitungan menit hanya dengan modal bolak-balik mondar-mandir gelisah sambil berpikir, ia bisa menemukan lokasi bom yang dipasang oleh si penjahat. Jangan lupa ia juga bisa mengetahui dengan sangat mudah bahwa ada lokasi palsu sebelumnya, plus juga bisa tahu bahwa ada truk samaran yang sebenarnya bukan polisi, hanya dengan menatap truk itu dalam-dalam.

Ya ampun, beneran, film macam apa ini. Memang sih khas Hollywood banget dengan segala kejagoan pemeran utamanya, tapi sungguh isi film ini sangat tidak masuk akal. Belum lagi aksi pencurian data di kantor Cherevin si penjahat yang meliputi aksi pencurian kartu akses, pengelabuan penjaga, penerobosan, pemecahan kode dan password (sampai menelepon lintas negara), pentransferan data, dll. dan semuanya dikatakan hanya dilakukan dalam kurun waktu 10 menitan saja. Sangat ‘masuk akal’ super duper bukan??

Jika seorang Jack Ryan disandingkan dengan Sherlock, kemungkinan Sherlock akan bertekuk lutut karena malu. Sherlock perlu mengamati benda dan objek terlebih dahulu, perlu membuat induksi dll. terlebih dahulu, dan yang pasti perlu WAKTU untuk menyelidiki, sementara Jack Ryan seperti hanya berpikir dan ‘trans’ sesaat, kemudian bisa memecahkan semua masalah dengan mudah dalam hitungan menit. Jangan lupa juga bahwa dia yang tadinya hanya seorang analis alias bekerja di back-office, bisa pontang-panting lari sana-sini dan tembak-menembak dengan mahirnya demi menyelematkan kekasih, dengan mudah dan gampangnya.

Benar-benar, inilah film superhero sejati, Saudara-saudara.

Score : 6.5

Scary Movie 5

untitled

Tadinya saya pikir saya mau nonton yang ringan-ringan lucu seperti film ini, tapi yang ada malah lemas campur speechless karena sumpah film ini sampahnya ga ketulungan. Akut dan kronik.

Diawali dengan aksi ranjang Lindsay Lohan dan Charlie Sheen (diperankan oleh orangnya sungguhan) yang meaningless banget, film Scary Move ini dibuka, lengkap dengan sindiran-sindiran terhadap diri sendiri mengenai gelang pengatur kadar alkohol Lindsay, dll.

Seperti Scary Movie versi biasanya yang ceritanya adalah plesetan terhadap film lain, kali ini sekuel kelimanya mengkombinasikan film Mama, Cabin in the Woods, Planet of the Apes dan Black Swan, belum lagi sedikit Paranormal Activity dan Inception. Kebayang kan kacau-balaunya? Ga bisa diterima akal sehat deh.

Jadi sesuai film Mama, ada anak-anak (anaknya Charlie Sheen yang di awal dikisahkan bersama Lindsay Lohan) yang ditemukan di sebuah pondok di hutan, dan kemudian dirawat oleh adik dari Charlie Sheen, bersama pacar wanitanya.

Dimulailah hal-hal aneh yang terjadi, dimana di rumah itu sekarang ada bunyi-bunyian, listrik padam-hidup, dapur berantakan secara misterius, dll., dan anak-anak mengklaim bahwa semua itu adalah ulah dari Mama, sosok misterius yang tidak pernah tampak.

Maka khas Paranormal Activity, kemudian mereka memasang kamera di mana-mana, belum lagi mengundang ahli mimpi seperti Inception, yang berwajah mirip dengan Leonardo Di Caprio. Aiih konyolnya maksimum! *geleng-geleng

Selain keanehan-keanehan tadi, juga dikisahkan bahwa si pria berprofesi sebagai peneliti di sebuah lab yang mengembangkan kejeniusan seekor monyet, dan si wanita pacarnya sedang mengikuti kursus balet dan mengincar posisi Swan Queen di pertunjukan baletnya. Hadeuh aneh banget deh.. Ini nyeritainnya antara mau ketawa campur desperate.

Agak males mengisahkannya dengan detail, pokoknya at the end mereka berusaha mengusir sosok si Mama, dan happy ending deh jadinya.

Kalau kalian lagi pingin gila-gilaan dan buang duit serta ketawa-ketawa miris, boleh banget loh nonton film ini. Direkomendasikan banget.

Score : 4

The Secret Life of Walter Mitty

hero

Mendengar komen excellent terhadap film ini di berbagai jejaring social media ditambah iming-iming view yang menawan sepanjang film, saya sebagai pecinta travelling tentu saja merasa harus-kudu-mesti menonton film ini.

Anehnya di paruh pertama film saya malah merasa sangat bosan karena alur memang berjalan agak lambat. Dan maaf saya bosan dengan peran Stiller yang selalu menjadi tokoh yang diunderestimate, tokoh yang panik dan hidupnya so miserable (silahkan lihat film-film terdahulunya). Memang sih tampang dan perawakannya memang membuatnya cocok memainkan peran-peran tragical itu.

Anyway ceritanya sendiri berkisah tentang Walter Mitty, seorang manager di department Klise Film di sebuah majalah. Suatu saat untuk edisi terakhir dari majalah itu (saya lupa, kayaknya majalah itu akan dihentikan penerbitannya pasca merger/something/apa deh), Walter harus mengunduh sebuah klise film untuk cover majalah itu, dan masalahnya film yang dikirimkan oleh seorang fotografer  terkenal langganan mereka (Sean), justru hilang!

Maka dimulailah perjalanan Walter yang seorang pengkhayal itu ke berbagai negara untuk mencari keberadaan Sean demi mendapatkan foto yang dimaksud, mulai dari Islandia, Greenland dan daerah Himalaya. Nah pemandangan negeri-negeri inilah yang dijual di film ini, yang memang cantik dan indah sih, tapi buat saya ga sampe’ bikin megap-megap J

Terakhir, dengan ending yang cukup tertebak, kita akan menjumpai bahwa klise film yang dimaksud, yang super sakral untuk edisi terakhir yang bombastis itu, adalah…. (tebak sendiri yah :D)

At the end, saya coba menganalisa, bahwa mungkin yang membuat orang-orang memuji film ini setinggi langit selain view-view cantiknya adalah message/moral of story-nya, belum lagi pelajaran tentang hidup yang jadi semboyan majalah ini juga. Ceritanya sih beneran indah, cuma gatau kenapa, saya kok kurang tersentuh ya. Is it something problem with my heart, gatau juga J

Score : 7

Out of The Furnace

MV5BMTc2MTQ4MDU4NV5BMl5BanBnXkFtZTgwOTU1ODgzMDE@__V1_SY1200_CR83,0,630,1200_

Christian Bale si jagoan acting, kembali hadir lewat film ini. I remember peran-peran terakhirnya yang seperti biasa selalu impresif, baik sebagai Batman maupun sebagai seorang kakak di ‘The Fight’ atau apa gitu, film tentang petinju bersama Mark Wahlberg itu, dan hal itulah yang membuat saya memutuskan untuk nonton film ini walaupun sebenarnya saya ga gitu suka tema film-film kelam dan action semacam ini.

Anyway di awal aja acting Chris yang alami sudah menohok hati. Enak banget ngikutin setiap gerakan, mimik dan gayanya yang sangat natural.

Sayangnya menurut saya cerita film ini terlalu klise; tentang seorang kakak yang punya adik ex veteran perang yang terlilit banyak hutang. Si adik yang sekarang berprofesi sebagai petarung jalanan untuk menghidupi diri dan melunasi hutangnya, suatu saat memutuskan untuk ‘bertobat’ (setelah dinasihati Chris) dan menjalani pertarungan finalnya. Sayangnya di pertarungan terakhirnya itu, ia malah dikhianati dan kemudian dibunuh.

Nah selanjutnya tahu dong apa yang dilakukan Chris? Yap, dia memutuskan untuk membalas dendam. Jadi setelah setengah film, kisah akan bergulir di seputar usaha pembalasan dendam itu, sementara paruh pertama film akan sedikit mengisahkan tentang Chris dan keluarganya serta kekasihnya yang kemudian berpindah hati gegara Chris dipenjara pasca menabrak seseorang secara tidak sengaja.

Dalam usaha pembalasan dendamnya itu, Chris juga akan berurusan dengan kepala polisi setempat yang notabene ternyata adalah pacar dari mantan kekasihnya saat ini. Dilema banget kan?

Overall menurut saya film ini biasa saja sih dan cenderung agak membosankan. Hanya acting Chris yang membuat saya bertahan menjalani film ini sampai akhir.

Score : 7

The Police Story 2013

2014_01_02_21_19_21

Jujur pertama kali lihat trailernya, ga nafsu banget nonton film ini. Beda saat lihat trailer film Jackie Chen yang berjudul Zodiac something itu – itu bikin kita penasaran dan eager untuk nyaksiin filmnya (walaupun ternyata filmnya jelek).

Nah, intinya The Police Story ini kebalikan fenomenanya dengan si  Zodiac-Zodiac itu.

Jadi, kisahnya masih seputar Jackie Chen yang berprofesi sebagai seorang polisi. Janjian bertemu dengan anak gadisnya yang pemberontak (disebabkan karena alasan klise : kehilangan ibunya di usia muda, dan kemudian harus menghadapi kenyataan bahwa ayahnya yang polisi tidak pernah punya waktu untuknya dan keluarga, bahkan di detik-detik terakhir kematian ibunya) di sebuah pub, Jackie terperangkap dalam suatu upaya pembalasan dendam seorang pria yang ingin mencaritahu siapa pembunuh adiknya.

Setting film ini sebagian besar terjadi di dalam pub tersebut. Sekian banyak sandera termasuk Jackie dan putrinya harus menghadapi seorang bos mafia berdarah dingin yang sudah merencanakan penyekapan ini sekian lama. Maka Jackie pun harus mengusung tugas sebagai negosiator untuk mengetahui apa pastinya yang diinginkan si pria, sementara para polisi dan sniper di luar sana ready berjaga untuk persiapan penerobosan dan penangkapan.

Seru, tegang, dan penasaran, itu sensasi yang dimunculkan oleh film ini. Dengan metode flash-back, kita diajak menyusuri sekian kasus penyelidikan Jackie (yang jujur saya at the end kurang ngerti, apa kaitannya dengan si penjahat) dan kisah hidup si penjahat. Menonton film ini serasa membaca live kisah Detective Conan atau Kindaichi, dimana para saksi saling bicara, merunut satu demi satu peristiwa yang terjadi sampai menjadi satu puzzle utuh yang mengungkapkan apa yang terjadi pada malam kematian adik perempuan si penjahat.

Selain cerita yang keren menurut saya, aksi berantem Jackie masih bisa diacungi jempol. Miris banget saat melihat dia harus bertarung mati-matian dengan pembunuh bayaran si penjahat untuk mengeluarkan beberapa sandera dari pub itu. Bikin napas tertahan menyaksikan semua adegan pukul-memukul dan darah-berdarah yang terjadi.

Untuk minus point-nya, tentu saja ada, misal ketidakmasukakalan bahwa si biang kerok dari semua peristiwa ini at the end ternyata ada di pub yang sama. Tapi semuanya cukup bisa diterima, dan tetap saat keluar ruang teater saya masih takjub sendiri dengan film ini.

Score : 8.5

Dark Skies

Film horror adalah spesialisasi saya 😀 Apalagi kalo’ ga salah yang ini diiming-imingi label producer yang sama dengan Insidious dan Sinister, tentu saja ini jadi film wajib.

Sedikit berbeda dengan film horror pada umumnya, ternyata film ini mengusung tema Alien. Sedikit ga tertebak sih, termasuk dari judulnya yang sangat general. Tapi di film ini ternyata alien pun menimbulkan fenomena yang sama dengan hantu-hantu macam di Paranormal Activity, yakni ruang makan dan dapur yang dbuat berantakan di tengah malam, suara-suara menyeramkan, luka memar yang tidak ketahuan darimana asalnya, dan banyak lagi, dan tentu saja yang ‘ditargetkan’ korban utamanya adalah para anak-anak.

Dari hasil google-google dan berdasarkan petunjuk dari gambar si anak, didapatkanlah kesimpulan sementara bahwa semua yang terjadi itu terkait dengan makhluk luar angkasa. Jadilah si orang tua berkonsultasi pada seorang ahli yang ternyata memang sudah sering didatangi alien juga, yang sebenarnya tidak menghasilkan solusi apapun selain hanya menjelaskan apa yang terjadi dan seperti apa mereka, para alien itu.

Lalu di akhir, tibalah puncak di mana Alien akan membawa salah seorang anggota keluarga, seperti pada kebanyakan kasus hilangnya orang secara misterius di dunia. Menurut saya film ini tadinya mau memberikan sedikit twist dengan menyajikan secara jelas korban yang akan dibawa si Alien dan kemudian berusaha mengejutkan kita dengan siapa yang akhirnya dibawa. Tapi menurut saya dari banyak hal yang dijabarkan di film, sudah ketebak kok sebenarnya siapa yang akan dibawa. Jadi twistnya kurang nendang.

Secara tegang dan kaget-kaget, lumayan juga sih film ini cukup berhasil menghadirkan nuansa horror. Tapi karena kita at the end tahu bahwa ini ‘hanya’ alien, akhirnya tingkat keseraman kita berkurang. Beda kan tingkat horror tokoh alien dengan hantu-hantu yang serem itu. Tapi again dari sisi ketegangan, filmnya lumayan kok.

Saya juga anyway suka quote di awal film : Either we’re alone or not in this universe, both are horrible (mmm kira-kira gitu deh bunyinya, haha). It implicitly tells us about alien.

Score : 7.8

Paranormal Activity : The Marked Ones

Paranormal_Activity_-_The_Marked_Ones_2014_poster

Ini versi apalagi dari Paranormal Activity ya? Kok ga bernomor urut seperti sebelumnya? Yah apapun itu, yang pasti versi ini adalah yang the worst dari semua Paranormal Activity.

Seperti biasa, film serian ini selalu menyertakan kamera di setiap sudut ruangan kamar, dan kali ini ceritanya adalah seorang remaja dan sahabatnya yang berusaha memasang kamera tersembunyi untuk mengintip kamar tetangganya yang misterius. Belakangan tahu-tahu tetangganya meninggal secara tiba-tiba, dan mereka pun berusaha menyelidiki sebabnya dengan menyusup masuk ke kamar tetangganya itu. Tentu saja sesuai dugaan terjadi hal-hal yang menyeramkan.

Kemudian mereka juga ‘punya’ sebuah alat yang sepertinya berisi roh, sehingga bisa berkomunikasi dengan mereka melalui lampu-lampu yang menyala. Bila jawaban dari pertanyaan yang diajukan adalah ‘Ya’, lampu warna tertentu akan menyala dan demikian pula dengan ‘Tidak’. Sebenarnya tampilan alat komunikasi semacam ini ga membuat filmnya jadi lebih bermakna sih.

Yah pokoknya intinya film ini mengecewakan dan ‘ga asyik banget’. Klise, sedikit membosankan dan kurang masuk akal.

Score : 6

Lanjutan dari postingan Bali Trip 2014 sebelumnya di sini

Hari kedua Masih di Pop Hotel, pagi-pagi kami bangun, terus jalan kaki ke depan, ceritanya kan mau ke pantai. Sampe’ pantai  ya ampun itu sampah semua berserakan sepanjang pasir. Kotor banget, bikin semangat main air langsung menguap seketika. Duh, kok bisa ya sekotor ini Pantai Kuta yang tersohor ini. Dari jauh kelihatan seorang anak sibuk memunguti sampah satu demi satu. Berdasarkan formula matematika, saya ga kebayang berapa waktu yang akan dia butuhkan untuk membersihkan pantai ini sepanjang hari. Mengerikan.

DSCN5052

DSCN5060

Setelah tanya-tanya, katanya sih ni pantai kotor begini karena musim hujan, jadi anginlah biang kerok terbawanya sampah-sampah ini sampai ke tepi pantai. Saya tapinya kok agak ga percaya ya?

Ya sudah pokoknya karena udah ga napsu sama pantai, kami jalan balik ke hotel untuk sarapan. Sebenarnya di voucher hotel sih tertulis ga dapet breakfast, cuma kemarin kami disuruh breakfast, ya kami yang rendah hati ini sih mau aja disuruh makan gratis, apalagi ternyata itu Nasi Jinggo, nasi khas Bali yang lumayan saya suka. Biasanya dia terdiri dari nasi, tempe, mie, ayam suwir, dan apalagi deh gitu. Porsinya kecil dan rasanya agak pedas. Biasanya juga kita bisa jumpai nasi-nasi ini di pinggir jalan, tapi hanya di daerah tertentu aja, dengan harga super murah, misal Rp 5,000. Susah-susah gampang deh dapet Nasi Jinggo menurut saya.

DSCN5069

DSCN5067

Setelah sarapan di tepi kolam renang, kami beres-beres dan mandi, terus lanjut jalan untuk breakfast lagi (perut kami memang sedikit di atas rata-rata kapasitasnya) di Nasi Pedas Andika di Kuta, tepatnya di seberang Supernova/Joger. Modelnya sih kayak kantin gitu, dengan deretan makanan dipajang di meja bin etalase gitu dan kita bisa pilih sayur yang kita mau. Seperti biasa harganya murah meriah, kalo’ ga salah Rp 15,000-an aja. Rasanya sih menurut saya biasa aja.

DSCN5071

DSCN5070

Setelah makan, perjalanan lanjut ke Garuda Wisnu Kencana (GWK). Kalau di hari pertama kami menjelajah Bali Utara, sekarang giliran Bali Selatan yang bakal dijamah. Duh, sebenernya sih di GWK ini asli ga ada apa-apa ya, cuma ya sudah deh jalan-jalan aja plus biar si temen yang belum pernah ke Bali tau kayak apa sih GWK itu. Ongkos masuknya Rp 40,000. Pada prinsipnya sebenernya GWK cuma menjual view tebing-tebing berderet aja yang kadang kalo’dilatarbelakangi langit biru bersih, jadinya memang cantik juga sehingga sering dijadiin tempat buat foto pre-wedding. Selain view tebing-tebing itu, tentu saja sesuai namanya, ada patung gede Wisnu naik Garuda, yang sayangnya setelah 10 tahun lebih ga selesai-selesai sehingga baru berbentuk patahan badan Wisnu dan kepala Garudanya. Entah kenapa penyelesaian pembuatan patung ini mandek begitu, either masalah dana atau apalah.

DSCN5075

DSCN5091

Selain keliling-keliling liat patung dan tebing, sebenernya ada juga tempat untuk melihat view Bali dari kejauhan. Ada teropong pula yang ditaruh di tempat ini, dengan mengisi koin kita bisa lihat view pantai dan Bali itu. Katanya kalo’ langit pas lagi cerah, kita juga bisa lihat Pulau Jawa dari kejauhan.

DSCN5120

Menjelang pintu keluar, ada show tari-tarian gitu di situ (free), di tempat berbentuk arena melingkar dengan tempat duduk tersusun bertingkat dari atas ke bawah. Dan di luar tentu saja ada sederet kios-kios yang menjual souvenir Bali seperti biasa.

DSCN5141

Selama jalan-jalan ini, matahari itu teriknya menakjubkan. Peluh keringat membanjiri dahi dan badan, komplit. Dari GWK, kami ke Uluwatu yang tersohor itu, tempat kita bisa melihat pemandangan samudra yang cantik banget dari tebing. Sepandang mata memandang, yang ada adalah sapuan dan deburan ombak. Ya ampun berasa ‘kecil’ banget pas melihat semua itu. Dibanding samudra yang megah dan begitu akbar, berasa meaningless banget sebagai seorang manusia. Bermenit-menit ga bosan rasanya melahap abis pemandangan laut warna turquoise yang cantik itu. Kadang pas suara angin dan ombak berbaur, sedikit membisingkan telinga, pingin rasanya berteriak kencang-kencang, “Papaaaaaaa!!” karena saat itu teringat  bahwa dulu saya juga pernah di sini, di tempat yang sama ini, bersama beliau. Ada sedih, pahit, sendu dan haru saat itu. Uluwatu ini bukan sekedar Uluwatu buat saya.

DSCN5148

DSCN5158

DSCN5161

DSCN5165

DSCN5169

DSCN5178

Oh ya jangan lupa juga bahwa daerah ber-view indah ini juga dihuni oleh monyet-monyet nakal bertampang busuk tukang mencuri yang reseh itu, jadi hati-hatilah dengan semua barangmu. Singkirkan kacamata, kalung, dan pernak-pernik yang mencuri perhatian lainnya. Sandal Crocs keponakan saya aja pernah jadi sasaran seekor monyet nakal, sampai ponakan saya itu nangis histeris karena ketakutan saat si monyet dengan bengisnya berusaha menarik sandal itu dari kakinya. Jangan lupakan ribuan turis lain yang kameranya, kalungnya, kacamatanya jadi korban kenakalan si monyet. Setelah dari Uluwatu, kami lunch di Warung Iiga. Tadinya saya blank mau lunch di mana, soalnya semua itinery kan sudah dirombak sehingga tempat lunch akhirnya juga berubah dan kami jadi blank mau makan di mana yang deket/searah dengan rute Bali Selatan ini, dan Pak Komang akhirnya merekomendasikan Warung Iiga ini.

DSCN5180

Sesuai namanya, restoran satu ini menawarkan iga seperti Warung Nuris. Begitu kami sampai, ada sebentuk antrian di pintu, dan setelah melongok sedikit ke dalam, kelihatan bahwa memang restorannya lumayan full dan para waiter-waitressnya terlihat agak kewalahan dan super sibuk. Setelah menunggu kira-kira 15 menit akhirnya kami berhasil dapat tempat. Hampir separuh restoran itu diisi oleh turis, mulai dari Korea, Cina, dll. Jadi penasaran, apakah restoran ini cukup ternama? Setelah memesan iga dan dikira turis Malaysia, cepat kami bersantap, dan ternyata walaupun rasanya not bad, jelas Nuris lebih unggul. Untuk harga sendiri, harganya mirip-mirip dengan Nuris.

DSCN5185

Ngomong-ngomong soal turis, di awal-awal we had fun playing a game ‘act like tourist’ dengan pura-pura tidak fasih berbahasa Indonesia, dan cukup menyenangkan karena semua orang seems believe that we are tourist –mungkin karena kulit putih dan mata sipit kami semua, tapi lama-kelamaan I felt so pathetic about this. Rasanya berbuat seperti itu serasa mengerdilkan identitas pribadi sebagai orang Indonesia, and then I stopped playing it. Walaupun (seperti yang kita tahu) kadang para waiter-waitress di Bali itu suka sekali mengunderestimate orang Indonesia dibanding para turis, rasanya tetap lebih ‘damai’ menjadi diri sendiri ketimbang berusaha berlaku sok turis sekalipun itu atas nama ‘iseng belaka’. Berlagak menjadi turis dan menikmati treatment super dihormati oleh para waiter-waitress itu seperti menerima senyum dan kebaikan palsu, tidak nyaman rasanya. Small thing tapi ‘matters’ juga. Setelah lunch, kami ke daerah Jimbaran, tepatnya ke Klapa, semacam resort di Jimbaran. Untuk masuk, kita harus bayar Rp 100,000/orang sebagai admission ticket yang kemudian di dalam bisa digunakan untuk membeli makanan dan minuman (tapi tidak berlaku refund). Nyesel juga sih kenapa tadi makan di Warung Iiga. Mendingan makan sekalian di Klapa dari biaya 100,000 itu. Tapi ya sudah, sudah terlanjur juga.

Klapa ini di dalamnya ada restoran, kemudian di depannya langsung kolam renang kecil (bisa berenang gratis sepanjang sudah membayar si 100,000 tadi, jadi kalau sudah plan ke sini, jangan lupa bawa baju berenang dan perlengkapannya).

DSCN5191

DSCN5200

DSCN5201

DSCN5207

DSCN5212

Kemudian di bawah kita bisa ke pantai Jimbaran. Beda dengan Kuta, pantainya lebih bersih dan halus. Lumayan menyenangkan. Ada pula penjual-penjual di pantai ini, menawarkan payung, tempat duduk, pijat, dll. Satu bangku panjang berpayung dihargai Rp 50,000.

DSCN5213

DSCN5219

DSCN5225

Pertama masuk, kami stay di restoran dulu untuk minum-minum, karena di luar masih panas terik luar biasa. Tempatnya quite nice, dengan ceiling tinggi sehingga terkesan lega dan lapang. Dari restoran kita juga bisa menikmati view ke kolam renang dan pantai. Anyway di sini restorannya ada beberapa, tapi setahu saya menunya sama. Jadi hanya lokasi tempat yang beda, dimana tiap restoran punya view masing-masing.

DSCN5203

DSCN5230

Setelah minum-minum, kami jalan-jalan ke kolam renang, kemudian turun ke pantai lihat-lihat. Masih terlalu panas untuk bisa enjoy main air. Setelahnya, karena masih ada sisa dari voucher 100,000 itu, kami minum lagi di restoran lain, dengan view yang sedikit berbeda. Anginnya kenceng banget, selain kembung minum sumpah kami juga kembung angin. Alamatnya Klapa :

Jalan Raya Uluwatu Gang Kahuripan 69 Ungasan, Kuta Selatan, Badung Bali. Tel: +62 361 708199 Fax: +62 361 708168

Selesai minum-minum hanya karena ga rela voucher 100,000 terbuang sia-sia, kami lanjut jalan ke Rock Bar di Ayana (ex Ritz Carlton Hotel). Pasca bom di Jakarta, nama hotel itu langsung diubah ke Ayana. Ceritanya sih ke Rock Bar buat enjoying the sunset.  Sesuai namanya, ni tempat bentuknya kayak karang raksasa yang sedikit menjorok ke laut. Di situ kita bisa makan-minum sambil menikmati view ke laut. Pastinya cantik dan romantis. Sampe’ hotelnya, kami masuk ke dalam, kemudian keluar lagi ke taman tengahnya untuk menuju Rock Bar. Pemandangannya cantik-cantik juga. Sampai sana sudah terlihat antrian, dan kami ditanya, “penghuni hotel bukan?” karena yang stay di Ayana ini akan dapat privilege khusus untuk masuk tanpa antrian. Karena memang ga stay di hotel itu, kami pun mulai ngantri, tapi sepertinya agak desperate dan males sih ya nunggu antrian. Siapa juga yang udah di dalam, yang mau ninggalin tempat saat sebenernya lagi pingin lihat sunset? Jadi kami ngerasa kayake bakal lama deh nih antrian, wong semua juga mau lihat sunset di sini.

DSCN5242

DSCN5232

DSCN5239

Ya sudah akhirnya kami cancel ngantri, dan kami malah diarahin ke bar outdoornya di luar, dan dari situ kita bisa lihat sunset juga karena viewnya langsung super open ke laut. Ya sudah, daripada sia-sia. Anyway karena waktu itu baru jam 4-an, mataharinya masih konsisten terik, sampe’ kami harus minjem payung gede dari restoran untuk berteduh di bar outdoor itu. Kemudian mulai pesen minum deh. Saya agak lupa harganya berapaan per minum, kalo’ ga salah yang termurah Rp 60-80 ribuan deh. Maklum beli suasana dan view.

DSCN5283

DSCN5273

DSCN5296

DSCN5281

Satu demi satu tempat di bar outdoor-nya mulai terisi oleh orang-orang yang rupanya desperate dan males ngantri ke Rock Bar kayak kami, sehingga akhirnya pilih minum-minum di tempat terbuka itu aja. Dan percayalah matahari itu lama banget turunnya. Kami sampe’ bulukan nungguin sunset. Bayangin jam 6.15 aja matahari masih baru turun setengah aja, belum nyenggol batas cakrawala gitu. Akhirnya karena udah ga sabaran dan udah mulai boring juga plus sunsetnya kayaknya bakalan ga bagus-bagus amat, kami keluar deh dan lanjut makan ke Jimbaran. Alamatnya si Rock Bar/Ayana ini :

Jalan Karang Mas Sejahtera, Bali 80364, Indonesia +62 361 702222

Tadinya kami mau makan di Menega, salah satu yang tersohor di Jimbaran. Sampe’ di dalam restorannya kami minta buku menu tapi dioper sana-sini. Suruh ke luar untuk ambil buku menu, pas sampe’ luar kami disuruh ke dalam. Sampe’ dalem, kami disuruh ke luar lagi. Hanya untuk sebuah buku menu loh.. Ajaib banget kan. Karena kami isinya orang-orang arogan yang ga sabaran, akhirnya kami keluar dari Menega dan jalan ke restoran sebelah-sebelahnya. Saya lupa akhirnya kami masuk ke restoran mana, kalo’ ga salah namanya ada ‘xxx Sari’ nya gitu, tapi yang pasti pelayanannya jauh lebih ramah. Kami makan di outdoornya, di tepi pantai, khas semua restoran di sepanjang Jimbaran. Duh viewnya cantik luar biasa, sampe’ ga pingin pergi deh dari sana. Pesawat-pesawat yang take-off juga terlihat jelas dari sana. Isengnya kami sampe’ ngitungin, dan ternyata sepanjang 1 jam-an lebih makan di situ, ada sekitar 11-12 pesawat yang take-off. Ihh lumayan sering ya.

DSCN5313

Nah, karena kami duduknya kan di bangku beralas pasir, kebetulan bangku saya kayaknya masalah sehingga miring sebelah. Si mbak baik banget, dia bantuin beresin posisi bangku saya, kemudian gantiin saya bangku lain yang kakinya lebih stabil sampe’ 2 x, dan setelahnya bantuin benerin posisi bangku saya lagi di pasir yang lebih rata. Setelahnya, dia masih dengan sabar make sure bahwa duduk saya udah nyaman. Ih nice banget deh.. Kemudian makanan pun mulai keluar satu per satu : cumi, kangkung, udang, kerang, dll. Ih semuanya super enak! Sayang aja udah agak kembung karena dari siang terus dihantam minuman sana-sini. Yah pokoknya at the end puas banget sama restoran satu ini, baik dari sisi makanan maupun servicenya. Kelar dari Jimbaran, kami lanjut ke hotel. Kali ini hotelnya adalah Grand Whiz, masih di Kuta juga. Hotel ini letaknya deket sama Kartika Plaza Discovery Hotel/Mall, jadi memang strategis banget. Harga per kamarnya Rp 400,000-an saja, dan hotel serta kamarnya nice banget. Cukup lega dan bersih serta modern. Pokoknya memuaskan deh, dan tentu saja ada kolam renangnya.

DSCN5323

DSCN5315

DSCN5317

Setelah beres-beres hotel, karena periode rental mobil sudah 10 jam, kami jalan kaki lagi sendiri. Ceritanya sih mau nyatronin Bubba Gump, resto yang terinspirasi dari kisah Forrest Gump yang tersohor itu. Karena memang pecinta novelnya, saya tentu saja semangat banget ke sini. Dari hotel, jalannya lumayan juga ternyata. Mungkin around 15-menitan. Sampe’ sana, tempatnya cukup unik, dan ternyata tema restorannya adalah Shrimp alias udang. Saya baru ngeh dan keinget bahwa Bubba, si temennya Forrest itu memang usaha ternak udang kan kalo’ ga salah. Pantes tema makanannya udang, maskotnya pun berbau-bau udang gitu.

DSCN5324

DSCN5338

Dari luar, akan ada bangku taman dan beberapa properti Forrest Gump dalam bentuk kotak-kotak dan peti di atas bangku, kemudian di bawahnya ada sepatu gede yang sepertinya milik Forrest Gump gitu. Bangku ini tentu saja jadi spot populer untuk berfoto.

DSCN5331

DSCN5326

DSCN5352

DSCN5351

DSCN5346

 DSCN5336

DSCN5335

Di dalam, setelah duduk, kita akan dijelasin sistem order di restoran ini oleh waiter/waitressnya. Jadi di setiap meja ada papan bolak-balik bertuliskan Run Forrest Run dan Stop Forrest Stop warna merah dan biru. Kalo’ kita perlu memanggil si waiter/waitress, kita tinggal taruh tuh papan di status Run Forrest Run, dan akan ada pelayan yang lari-lari samperin kita. Nah kalo’ keperluan kita udah selesai, kita harus balikkin lagi si papan ke status Stop Forrest Stop, it means bahwa kita tenang damai dan ga membutuhkan bantuan apapun saat itu. juga kan? Ide ini kayaknya terinspirasi dari Forrest yang sempet jadi primadona football (kalo’ ga salah), dimana larinya kenceng banget, dan yang hanya bisa dia lakukan adalah lari secepat-cepatnya supaya musuhnya ga bisa ngejar dia. DSCN5348

DSCN5347

Yang bikin agak takjub adalah seberapa sigap seorang pelayan bisa aware bahwa ada salah satu meja yang pasang status Run Forrest Run. Maksud saya, masak sih setiap pelayan harus ngawasin tiap meja setiap detiknya supaya aware dengan perubahan status itu? Ajaib juga kan.. Anehnya, pas saya iseng ganti status ke Run Forrest Run, beneran loh langsung ada satu pelayan yang langsung heboh lari-lari dan menghampiri meja kami. Hoaaaa, hebatttt.. Di sini, karena udah kenyang makan di Jimbaran, kami cuma minum aja. OMG bener-bener deh tema hari ini itu minum, minum, dan minum.. Kami cobain minum signature dishnya yang namanya Mango something, tapi kurang enak ternyata. Ada yang cobain Caramel Slice Cakenya, dan ternyata enaknya bukan kepalang; 1 slice kue Caramel dengan es krim di atasnya. Ih, asli sedep banget. Berikut alamatnya Bubba Gump :

Jl. Kartika Plaza No. 8X, Kuta, Bali 80361, Telp. +62-361-754028

Setelah dari Bubba Gump, kami jalan lagi ke arah balik hotel. Ada banyak salon buat spa dan pijat di sepanjang jalan, dan tercetuslah ide untuk pijat kaki. Tadinya saya ga mau ikut karena biasanya saya lumayan gelian dan ga tahan kalo’ dipijit, tapi akhirnya karena penasaran akhirnya saya cobain juga. Pijat kaki 1 jam tarifnya Rp 65,000 aja. Kami dibawa ke lantai atas karena bangku-bangku di lantai bawah sudah full dengan para bule yang asyik dipijat kakinya. Di atas, semuanya bentuknya ranjang, ga ada bangku, jadi pijatnya sambil tiduran deh dan ternyata ya ampun pijat itu enak ya ternyata (baru terbuka matanya setelah sekian puluh tahun). Selesai kaki kiri dan masuk kaki kanan, saya sempet pules beberapa belas menit dan ngerasa nyesel banget karena jadi ga ngerasain enaknya pijatannya. Ya sudah selesai pijat, kami langsung balik hotel.

Bali adalah tempat (buat saya) dimana seberapa seringnya pun kita pergi, kita masih selalu bisa enjoy-in perjalanannya. Perpaduan pantai, wisata alam dan kulinernya selalu bikin nagih dan mengundang balik lagi dan lagi.

Jadi here we go, trip Bali ke-5 dalam hidup saya.

Tapak tilas sekilas, pertama ke Bali adalah waktu suami cici saya yang notabene seorang dokter menghadiri konferensi di sana. Saya,  cici, anaknya, serta Mama dan Papa waktu itu pun ikut pergi ke sana. Kalo’ ga salah itu pertama kalinya juga saya naik pesawat, sekitar tahun 2005-an sepertinya. Tempat wisata yang dikunjungi tentu saja objek-objek populer di Bali seperti Tanah Lot, Uluwatu, Garuda Wisnu Kencana (GWK) dll.

Kedua ke Bali adalah waktu sepupu saya Diana married di Bali, tepatnya di Blue Point Bay, sekalian ngunjungin sepupu saya yang lain yang memang tinggal di Bali waktu itu.

Ketiga, saya ke Bali pas company outing tahun 2011. Selain acara teamwork, kami dikasih kesempatan juga untuk jalan-jalan sendiri dan waktu itu saya dan temen-temen sewa mobil dan wisata kuliner di Bali. Fun!

Keempat, pas saya sekeluarga ke Bali di tahun yang sama, 2011. Karena perginya sama anak-anak kecil, rutenya tentu disesuaikan. Objek-objek wisata yang didatangi adalah yang memang spesialisasi buat anak-anak seperti Bird Park, ngeliat penyu, dll. Selalu menyenangkan pergi ramai-ramai bersama keluarga.

Nah trip kelima ini sepertinya akan balik ke pertama kali saat pergi ke Bali karena ada teman yang belum pernah ke Bali. Jadi rutenya kembali disesuaikan dengan rute populer pada umumnya. Saya pribadi sih ga keberatan, anggap aja refreshing.

Fase persiapan seperti biasa adalah tahapan favorit saya. Berpicu dengan waktu yang hanya sekian hari (maklum rencananya dadakan, belum lagi ngumpulin peserta yang kadang ga jelas jadi/ga jadi pergi), saya sebagai biang kepo harus nyari hotel dan nyusun itinery. Mengasyikkan dan menantang banget deh pokoknya. Google sana-sini, browsing, nanya-nanya temen dan sodara-sodara, menghimpun semua informasi dan men-translatenya menjadi itinery, milih-milih hotel dari Agoda yang notabene menampilkan ribuan hotel di Bali sampe’ bikin saya pening seketika, dan lain-lain. Seru!

OK, hari pertama pagi hari akhirnya kami sampe’ di Bandara Ngurah Rai setelah perjalanan yang cukup menyeramkan karena turbulence-nya cukup ajigile, dengan turunan-turunan mendadak yang bikin perut jumpalitan kegelian. Anyway waktu sampe’ di sana, hujan turun, tapi ga terlalu deras. Sedikit was-was sih memikirkan nasib perjalanan kami 3 hari ke depan di musim hujan ini.

Keluar airport, supir rental yang kami sewa, Pak Komang, sudah ready menyambut. Untuk rental mobil, kami pakai Avanza seharga Rp 350,000/hari, sudah masuk supir dan BBM.

Perjalanan pun dimulai dengan makan pagi menjelang siang di Warung Liku di Jalan Gandapura, Denpasar. Waktu itu saya pernah cobain tempat makan ini pas outing kantor, dan asli saya langsung pusing tujuh keliling saking enaknya nih makanan. Ga heran sekarang saya bela-belain lagi datang ke sini.

Jadi Warung Liku ini spesialisasinya di menu Ayam Betutu. Itu tuh, ayam khas Bali yang dibumbui khusus, bikin ayamnya terasa sedap banget. Menu utamanya ya nasi, Ayam Betutu, Babi Kecap (bisa ga pake babi) sama sayur-sayur khas Bali itu loh (apa sih ya namanya). Nuansa pedasnya kerasa banget, jadi buat non-pencinta pedas, waspadalah.

DSCN4824

DSCN4821

DSCN4822

DSCN4823

 DSCN4825

Pokoknya Warung Liku ini pembuka santap pagi menjelang siang yang mantap banget deh. Padahal tadi di airport Jakarta kami sudah sempat makan Bakmi GM, tapi semua tetap makan dengan napsu di Warung Liku ini. Harga per porsi nasinya kalo’ ga salah cuma Rp 10,000 aja. Oh ya katanya Warung Liku ini pernah masuk teve juga loh..

Anyway, Warung Liku letaknya agak masuk gang-gang. Dari pertama book rental, saya sudah kasih itinery lengkap dengan alamatnya dan make sure bahwa supir pasti tahu semua tempat tujuan, jadi nanti pas trip berlangsung ga ada acara cari-carian tempat dan nyasar-nyasaran, dan untungnya Pak Komang tahu hampir semua tempat tujuan yang kami incar, termasuk Warung Liku ini. Mungkin karena tujuan wisata kami pun kebanyakan objek-objek yang populer.

Warung Ayam Betutu Liku
Jl. Gandapura III F No 10
Denpasar – Bali
0361-463119

Dari Warung Liku di Denpasar, kami lanjut ke daerah Ubud. Waktu itu hujan sudah mulai berhenti. Dalam perjalanan kami discuss sama Pak Komang mengenai itinery. Rupanya itinery yang saya buat agak ga efisien secara rute, alias bolak-balik. Padahal saya nyontek-nyontek juga itinery-nya dari hasil browsing. Ya sudah setelah kompromi sana-sini akhirnya itinery dirombak cukup habis-habisan.

Denpasar ke Ubud (di peta, kita akan naik ke atas) lumayan jauh perjalanannya. Objek pertama di Ubud adalah Museum Antonio Blanco. Saya pernah ke sini dalam trip Bali sebelum-sebelumnya, dan tour museumnya buat saya cukup menyenangkan, sehingga saya merekomendasikan museum ini dalam trip kali ini.

Jadi Antonio Blanco itu adalah seorang pelukis Spanyol kelahiran tahun 1911 yang kemudian berkunjung ke Bali (tepatnya Ubud), bertemu dengan seorang penari Bali bernama Rontje dan menikah serta menetap di sana. Rontje ini anyway adalah penari favorit Presiden Soekarno pada waktu itu. Karena hasil karyanya dan sumbangsihnya terhadap masyarakat Ubud, Antonio Blanco ini diberi penghargaan khusus both dari pemerintah Spanyol (diberi titel kebangsawanan) dan dari Raja Ubud waktu itu (dianggap sebagai keluarga kerajaan).  Bahkan sampai Antonio meninggal tahun 1990-an something, Raja Ubud sendiri yang meng-arrange pemakamannya dan pemakamannya dilakukan secara formal ala anggota kerajaan.

Nah hasil-hasil karyanya itulah yang dipajang di museum Antonio Blanco ini. Dari depan bangunannya, sudah terlihat semacam gapura berbentuk unik simetris yang ternyata merupakan bentuk tanda-tangan Antonio sendiri. Museumnya sendiri hanya ada satu di dunia yakni di Ubud, dan tidak membuka cabang mana pun atas titah Antonio Blanco sendiri yang sudah berikrar untuk mengabadikan hidup dan karyanya untuk Ubud yang sangat dicintainya. Banyak turis menyayangkan hal ini, tapi biar bagaimana pun tentu kita harus menghargai keputusannya bukan? Orisinalitas museum ini pun lebih terjaga karenanya.

DSCN4837

DSCN4840

Yang menarik di sini adalah karya-karyanya semua kebanyakan berupa gambar wanita bugil, karena 1. Antonio sangat menggemari ‘wanita’ – menggemari di sini adalah dalam arti positif ya. Bagi dia wanita itu sangat indah dan mengagumkan, dan semua kecintaan itu dituangkan dalam karyanya 2. Waktu itu di Ubud semua wanita memang bertelanjang dada, sehingga dilukisnya ya sebagaimana keadaan sebenarnya. Jadi ketelanjangan di sini harap dilihat dari sisi artistiknya ya.

Yang juga menarik, Antonio merancang sendiri semua pigura lukisannya, sehingga terlihat jelas bagaimana semua pigura punya tema yang sesuai dengan lukisannya, sehingga terkesan menyatu. Katanya, untuk membuat lukisan Antonio bisa menyelesaikannya dalam 1 hari, tapi untuk mendesain sebuah pigura, kadang dia bisa merancangnya sampai 1 tahun, saking perfeksionisnya. Plus untuk pigura itu Antonio hanya mau memakai bahan/materi yang berkualitas bagus, sehingga ya kadang perlu waktu lebih lama untuk mendapatkannya.

Again, yang menarik lagi, Antonio yang punya sense of humor yang tinggi ini juga kadang menyelipkan teka-teki dalam lukisannya; semacam joke yang tersembunyi di beberapa karyanya. Misal kita ditantang untuk mencari 12 botol dalam sebuah lukisan, atau akan ada lukisan yang berbentuk pintu yang bisa dibuka, yang mengundang rasa penasaran untuk mengetahui isinya, dll. Pernah juga Antonio Blanco bertemu Michael Jackson di Singapore dan kemudian melukisnya, serta melontarkan joke untuk para penikmat karyanya di museum, “Apa warna penis Michael Jackson? Black or White?” Silakan tunggu jawaban benarnya dari si guide ya 😀

Oh ya, di museum ini, memang akan ada seorang guide yang menemani kita berkeliling sambil memberikan penjelasan, dan si guide adalah orang yang mendengarkan langsung cerita-cerita tentang Antonio dari Bu Rontje, istrinya. Jadi semua ceritanya menarik dan detail banget; tentang keseharian hidup Antonio dan keluarganya, tabiatnya yang unik dan nyentrik, rumah-tangganya, dan banyak lagi, misal bagaimana (menurut si guide), Bu Rontje menceritakan tentang pahit-manis kehidupannya bersama suaminya yang ‘ajaib’ itu, dimana setiap hari jam 7 pagi Bu Rontje harus sudah stand by memakai gaun dan high-heel untuk mendampingi suaminya melukis di sanggar, karena katanya Antonio baru bisa mendapatkan inspirasi saat istrinya ada di sampingnya. Dan selama proses melukis itu, Bu Rontje tidak boleh bergerak dan berkomentar. Pernah sekali waktu ia memuji lukisan suaminya, Antonio marah besar dan langsung merobek lukisan yang sedang dikerjakannya. Ah, memang unik pelukis satu ini. Heran ya bagaimana seorang Bu Rontje bisa tahan mendampingi orang keras macam suaminya itu. Mungkin itu yang dinamakan pengabdian, yang jaman modern ini sudah sangat minim keberadaannya dalam dunia rumah-tangga. Anyway pasangan ini berselisih usia sangat banyak, kalo’ ga salah 20-an tahun. Bu Rontje sendiri sudah meninggal tahun 2000 something kemarin (lupa).

Di samping museum juga ada rumah keluarga mereka yang masih ditinggali sampai saat itu oleh anak-anak Antonio. Karena anak-anak dan cucunya juga mewarisi darah seni ayahnya, ada banyak pula lukisan-lukisan hasil karya Mario, anak bungsu (dan laki-laki satu-satunya) dari Antonio Blanco. Ada karya-karya yang juga dijual di sini, tapi hanya replikanya karena yang asli akan tetap dipajang di sini. Di dalam museum tidak diijinkan memoto, jadi kami waktu itu hanya lihat-lihat saja.

Ada pula satu spot di luar bangunan dimana terdapat burung-burung berbulu warna-warni yang ternyata merupakan koleksi Mario, yang katanya aktif melakukan penangkaran Burung Jalak Bali.

DSCN4830

Kami menghabiskan waktu hampir 2 jam di sini, termasuk menikmati Welcome Drink di restoran Rontje. Minumannya hanya berupa es teh manis, tapi rasanya enak banget dan wanginya khas.

DSCN4829

DSCN4851

DSCN4855

Antonio Blanco Museum Bali – Ubud
Jalan Campuhan, Ubud, Bali, Indonesia +62 361 975502
The Blanco Renaissance Museum Campuan, Ubud Bali – Indonesia P.O. Box 80571
Phone. 0361-975502 Fax. 0062 0361-975551 e-mail a-blanco@indo.net.id

Dari Museum Antonio Blanco, perjalanan lanjut ke Bebek Tepi Sawah untuk lunch. Agak gila sih sebenarnya mengingat dalam 5 jam kami sudah akan makan 3 x, tapi ya sudah supaya rutenya enak, kami ke sini dulu.

Buat saya pribadi, Bebek Bengil sebenernya biasa aja rasanya, ga terlalu istimewa, baik itu di Restoran Bebek Tepi Sawah, Leka-Leke dll. Cuma ya memang kita beli suasana sih di sini; suasana sawah dan pedesaan yang asri dan hijau, yang jadi ‘teman’ makan yang cocok banget dengan menu tradisional Bali ini. Beberapa waktu sekali juga akan ada performance tari-tarian tradisional.

DSCN4857

DSCN4861

DSCN4862

DSCN4867

DSCN4870

DSCN4874

DSCN4877

Dari Bebek Tepi Sawah, kami lanjut ke arah Danau Kintamani (di peta, arahnya akan semakin naik ke atas). Perjalanannya jauh, lagi-lagi. Sampai kompleksnya, untuk masuk kami harus membayar (lupa berapa harganya), kemudian mobil parkir dan kami turun, melihat-lihat dari atas pemandangan Danau Kintamani yang memang cantik sih, dengan background Gunung Batur. Menenangkan dan bikin hati damai banget, walaupun di sekeliling banyak penjual yang gigih menawarkan dagangannya.

Tadinya saya pikir pingin juga coba ‘turun’ beneran ke danaunya supaya bisa lihat langsung seperti apa danaunya, tapi tampaknya Pak Komang agak enggan, ditambah lagi kami juga ngejar waktu untuk ke objek wisata berikutnya, sehingga akhirnya kami ga turun sampai ke dasar dan hanya menikmati pemandangan dari atas saja plus foto-foto tentunya.

DSCN4910

DSCN4891

DSCN4918

DSCN4919

DSCN4895

Kalau mau lunch di Kintamani, biasanya model restorannya adalah all you can eat alias buffet, tapi setahu saya di danaunya sendiri ada semacam restoran apung dimana kita bisa makan dengan view langsung ke danau, dan menunya tentu saja berbau seafood. Monggo kalo’ mau diexplore lebih lanjut, urusan makan-memakan ini.

Okeh setelah ke Kintamani, perjalanan mulai ‘turun’ ke Pemandian Tirta Empul/Tampak Siring. Saya pribadi gatau sih perbedaan kedua nama ini apa. Sepertinya yang satu nama daerahnya sedangkan yang lain nama pemandiannya, entahlah.

DSCN4921

DSCN4920

Sampai sana, kami harus bayar tiket masuk Rp 15,000 dan harus pakai sarung. Di dalamnya, sesuai namanya, isinya ya pemandian gitu plus pura dll. Pemandiannya katanya bisa menyembuhkan penyakit ya kalo’ ga salah, dan ya ampun pemandiannya rame’ banget, penuh dengan orang-orang yang berendam.

DSCN4941

DSCN4938

Selain pemandian juga ada kolam ikan yang lumayan gede, serta beberapa bangunan lainnya termasuk pura-pura dimana beberapa orang tampak sedang bersembahyang. Ada beberapa kompleks yang memang ga boleh dimasuki, atau kalaupun boleh dimasuki, rambut tidak boleh terurai dan harus diikat, walaupun saya lihat beberapa pengunjung cuek-bebek saja mengurai rambutnya.

DSCN4975

DSCN4953

DSCN4923

 DSCN4924

DSCN4997

DSCN4993

DSCN4990

DSCN4988

DSCN4987

DSCN4979

DSCN4970

DSCN4967

DSCN4965

DSCN4957

DSCN4928

DSCN4929

DSCN4933

DSCN4934

Kurang dari setengah jam, kami selesai berkeliling dan kembali ke mobil. Yang buat saya menyenangkan untuk semua objek wisata di Bali adalah eksterior bangunan dan bagian-bagiannya yang indah banget, dengan ukiran, relief dan motif yang beranekaragam. Eksotis, itu menurut saya. Detail bangunan selalu mempesona dan bikin mikir, kok bisa ya manusia bikin bangunan-bangunan seindah ini.

Okeh, dari situ kami mulai balik turun ke bawah lagi, tepatnya ke Pasar Sukowati, pasar tradisional terkenal di Bali. Sebenarnya udah tahu sih bahwa jualannya pasti itu-itu aja dan biasanya kurang menarik, tapi ya ga apa-apalah disatronin lagi.

Di situ saya cuma beli beberapa celana pendek khas Bali dan daster buat Mama. 15 menit saja di dalam, setelahnya kami balik ke mobil.

DSCN5000

Next destination, karena sudah sore menjelang malam, adalah daerah Kerobokan (Seminyak ya kalo’ ga salah) karena kami akan dinner di Warung Nuris. Ni warung juga punya cabang di Ubud, tapi biasanya saya lebih sering makan di sini. Biarpun sekarang di Jakarta cabangnya udah ada beberapa, tetep berasa banget bahwa Nuris di Ubud memang lebih enak. Ribsnya legit dan sedap banget (harga kalo’ ga salah 90 rbuan), belum lagi atmosfer turisnya yang kental (gatau kenapa, saya selalu suka daerah ramai turis), jingle buatan mereka saat toast untuk minum margarita, interior restoran yang cozy banget, dan lain-lain. Benar-benar selalu dinner yang berkesan setiap kali makan di sini.

Alamat Warung Nuris : Jalan Batu Belig, Kerobokan telp +62 361 6722847.

IMG_20140116_172610

DSCN5011

Selesai dinner, kami jalan ke hotel. Maklum rental mobil ini disewa hanya 10 jam, dan saat kami berniat memperpanjang dengan additional hour fee, Pak Komang nampaknya keberatan dengan alasan maksimal penyewaan hanya 10 jam terkait stamina supir. OMG, alasan macam apa itu? Kalo’ memang maksimal 10 jam, buat apa ada tarif tambahan per jam yang dicantumkan di website mereka? Tapi ya sudahlah kami mengalah saja, toh nanti juga bisa jalan-jalan sendiri.

Terkait hotel, atas kesepakatan bersama kami akan menginap di 3 hotel yang berbeda selama 3 malam ini. Maklum hotel di Bali super banyak, bergelimpangan seperti tahi ayam di peternakan, sehingga memilih 1 hotel saja bakalan sulit. Lagipula, 3 hotel yang berbeda pasti bakal mengasyikkan; kita bisa menikmati plus-minus dari masing-masing hotel dan lokasi hotel pun bisa berganti-ganti, mau dekat pantai, dekat mall, dan lain sebagainya.

Jadi, hotel pertama kami malam ini adalah Pop Hotel, semacam budget hotel model Fave atau Amaris Hotel. Harganya per malam Rp 300,000-an saja. Letaknya di deretan Jalan Pantai Kuta, sederet sama Hard Rock Hotel/Café dan Beach Walk Mall.

Kalo dari peta sih kesannya dari jalan gede (Pantai Kuta), kita tinggal belok kanan terus sampe ke hotel ini. Dalam kenyataan, ya ampun ternyata dari Hotel Bali Palaya di depan, kita harus masuk jalan yang kecil banget (gang, tepatnya, dan hanya cukup buat 1 mobil aja) dan berkelok-kelok. Terpencil banget dan jalannya agak gelap. Jadi kalo’ malam-malam better jalan minimal 2 orang deh untuk ke jalan gede di depan, supaya lebih aman.

Anyway biarpun terkesan jauh masuk ke dalam gang ini, ternyata nantinya pas jalan kaki ke depan jaraknya ga gitu jauh kok. Palingan 5 menitan aja, dan kita sudah bisa sampe’ jalan gede , tinggal nyebrang dan sudah tampaklah Pantai Kuta.

Sebenarnya hotel ini punya 2 gang untuk akses masuk, tapi selalu pilihlah gang yang dekat Hotel Bali Palaya yang saya sebut di atas tadi, karena akses lewat gang ini lebih dekat dibanding gang sebelumnya yang letaknya lebih dahulu.

Jadi menurut saya tetep bolehlah nginap di hotel ini dilihat dari sisi lokasi vs budget, sepanjang nginapnya memang beramai-ramai, supaya ga serem pas jalan menyusuri gang gelap lokasi hotel ini.

DSCN5017

DSCN5016

DSCN5015

Dari sisi interior, kamarnya kecil, tapi bersih dan modern. Nuansa hotel ini menurut saya mirip Harris Hotel, dengan warna oranye dan hijau (muda). Kamar mandinya juga model yang one-stop-bath gitu, alias (kayaknya) beli/pesen terus ditancapin di kamar gitu, tapi saya suka designnya yang terkesan futuristik. Jadi overall buat saya kamarnya OK banget kok dengan harga Rp 300,000. Itu juga asyiknya, dengan banyaknya hotel di Bali, harga jadi super bersaing, dan kita bisa dapatin kamar OK dengan harga yang affordable banget. Biasalah, prinsip demand and supply.

DSCN5020

DSCN5023

DSCN5019

Yang juga selalu saya suka dari hotel di Bali adalah mau sekecil apapun, mereka pasti punya kolam renang. Sebenarnya ga efek sih ke saya, toh saya ga bisa berenang, tapi buat penghuni lain kan keberadaan sebuah kolam renang kayak hidup-mati.

Setelah beres-beres di kamar, kami jalan-jalan keluar lagi menyusuri jalan Pantai Kuta. Lumayan juga sih jalannya, tapi masih dalam batasan akal sehat kok. Setelah jalan kira-kira 10-15 menitan (kalo’ ga salah ya karena saya agak dodol soal visualisasi range waktu), kita bakal sampai di Beach Walk Mall. Kalo’ mau ke Hard Rock sih bisa aja, tapi asli lebih jauh lagi.

Ngomong-ngomong Beach Walk Mall, ya ampun saya suka banget sama konsep mall ini. Mall-nya mirip Marina di Singapore. Ada area outdoor dan indoornya, dan sebagian besar restoran mangkal di area outdoornya dengan design yang juga keren-keren. Pokoknya nice banget deh, toko-toko di dalamnya pun lumayan branded – middle class deh kira-kira, model kayak Zara, Dorothy Perkins, Topman dll. I just simply love this mall.

Believe it or not, di mall ini kami mampir lagi ke Food Courtnya dan pesen makan lagi. Mengerikan, jadi total hari ini kami bersantap 5 x mulai dari Bakmi GM di Jakarta, Warung Liku, Bebek Tepi Sawah, Warung Nuris dan sekarang Bakmi Kepiting Pontianak di Food Court ini.. Agak amazing ga sih? Rasanya saya bisa denger perut saya asma berat di dalam sana, engap kekenyangan.

DSCN5030

DSCN5029

DSCN5031

Ya sudah selesai makan, kami jalan-jalan sebentar dan kemudian balik hotel naik taksi karena udah males jalan kaki lagi. Taksi di sini juga berseliweran banyak banget, gampang ditemuin kayak para banci di daerah Taman Lawang. Blue Bird jelas ada, tapi ada juga taksi berlogo burung dengan warna badan biru muda kayak Blue Bird, jadi jangan ketipu. Tapi agak beda dengan Jakarta, sepertinya taksi di luar merk Blue Bird pun di sana cukup aman deh. Anyway taksi Blue Bird dan taksi-taksi lain di sana biasanya mengusung nama Bali Taxi di badan mobilnya.

Demikian deh hari pertama kami di Bali. Bersyukur banget bahwa hari ini ga hujan sehingga semua perjalanan lancar jaya. Ah, Bali, dari hari pertama pun perut saya sudah digoda seperti ini. Ga terbayang hari-hari selanjutnya.

Cerita hari-hari berikutnya is to be posted later.

Start-Finish-15he2z6

Sejak kecil, saya cenderung demen curi start. Maksudnya sebelum orang lain duluan ngapa-ngapain, saya pasti berusaha sebisa mungkin untuk mendahului, walaupun kadang tujuannya ga berhubungan dengan persaingan/kompetisi, tapi lebih terkait dengan kebutuhan dan kepentingan diri sendiri.

Sudahlah, kira-kira contohnya begini :

1. Dari dulu sejak SMP, setiap menjelang mulai pelajaran, saya pasti udah ready dengan segala macam buku-buku yang diperlukan di meja, supaya pas gurunya dateng saya ga usah grabak-grubuk lagi ngerogoh-rogoh tas atau laci untuk nyari buku itu, terus akibatnya sedikit kehilangan konsentrasi pas guru mulai ngajar atau jelasin sesuatu. Bukan sekedar prepare bukunya, biasanya saya juga bakal baca-baca sekilas materi terakhir apaan, supaya nanti pas si guru mulai cuap-cuap, saya udah ngerti dan nyambung dengan pengajarannya, ga perlu pusing-pusing dulu “ini gurunya ngomong apaan sih?” alias bisa langsung tancap gas menyerap semua materi yang diberikan. Keren yah, yah??

2. Dalam sesi-sesi training atau acara formal lain, saya selalu datang lebih pagi, at least setengah jam sebelumnya. Saya ga suka datang mepet-mepet, apalagi pas acara udah mulai. Saya lebih suka come earlier supaya lebih bisa mengenali ‘medan’ seperti letak toilet, susunan meja, dll. Plus jelas ada keuntungannya datang lebih pagi, yakni bisa pilih tempat strategis dan bisa baca-baca dulu materi trainingnya supaya nanti lebih nyambung, atau udah bisa ready dengan pertanyaan-pertanyaan yang mendadak muncul pas lagi baca-baca materi itu. Selain acara formal seperti training atau sesi interview, hal lain yang saya selalu harus super on time adalah ke gereja (is-a-must) dan bioskop. Saya harus punya saat teduh dulu sebelum mulai kebaktian untuk bener-bener prepare my heart. Ga kebayang kalo’ dateng telat, praise & worship udah dimulai, harus gladak-gluduk cari tempat duduk, dilihatin banyak orang, ganggu mereka juga, dan lain sebagainya. Mood kebaktian saya langsung bakal pupus dalam sekejap. Demikian juga dengan nonton bioskop, biarpun extra/trailer yang ditayangin yang itu-itu lagi (sampe’ hafal), tetep aja saya demen masuk ruang bioskop sejak ruang pertama kali mulai dibuka, dan menikmati semuanya sajian di layar dari awal. Saya benci banget kalo’ masuk telat ke bioskop, apalagi kalo’ sampe’ kelewatan menit-menit awal di film, karena kadang menit-menit awal itu justru punya peran crucial di keseluruhan cerita. Dan lagi saya juga ga kelihatan jalan dengan keadaan bioskop yang gelap-gulita. Anyway hal on-time ini ga berlaku pas ngumpul atau janjian sama temen ya, karena saya ga terlalu ngelihat sense of urgency-nya untuk datang earlier. Yang ada kadang malah males karena yang lain ngaret juga kebanyakan. Si on-time ini juga ga berlaku pas saya kerja. Saya selalu jadi si biang-telat!

3. Masih terkait ‘edukasi’, dulu kan saya sekolah di BPK Penabur, tepatnya di SMUK I. Kalo’ yang tahu sekolahan itu, pasti ngeh banget bahwa sekolah kami itu memang agak gokil urusan belajar-mengajar. Pokoknya sekolah killer deh, dan saya adalah salah satu korbannya. Ulangan selalu setumpuk, belum lagi pe-er yang menggerogoti otak dan fisik. Saya inget banget, tiap hari pulang sekolah jam 4 sampe rumah, saya pasti langsung start belajar sampe’ malem, non-stop, dan hanya kepotong mandi sama makan. Ga pernah tuh ada acara nonton teve, teleponan sama temen dan sejenisnya. Bener-bener perenggut masa remaja yang indah deh. Masalahnya saya itu tidur harus lebih dari 8 jam, jadi kalo’ mau tidur on-time tentu saja belajarnya harus mulai sedini mungkin –jam 4 sore itu, dalam case saya. Untung juga saya ga ikutan ngeles ini-itu, sehingga seluruh waktu bener-bener bisa konsen dihabisin di rumah untuk belajar. Temen-temen lain pola belajarnya beda lagi. Mereka les ini-itu dll., kemudian baru start belajar malem, sampe’ subuh. OMG saya sih ga bisa deh belajar dengan metode itu, apalagi SKS (Sistem Kebut Semalem). Dan waktu belajar saya yang super banyak itu pun ternyata ga cukup loh! Jadi saya harus memperlengkapi diri juga dengan yang namanya “NYICIL” Jadi kebayang ga, setiap istirahat itu, saya (dan banyak temen-temen lain) bakalan makan siang sambil belajar bahan buat ulangan minggu depan, atau bahkan dua minggu ke depan. Soalnya kalo’ nggak gitu, materinya ga bakal kekejar, sumpah mampus deh. Jadi setiap ada waktu luang, kerjaannya ya nyicil dan belajar. Kami semua sekelas adu curi start, yang nyicil duluan itu ya yang paling keren dan rajin. Kalo’ liat ada temen yang udah mulai belajar materi Biologi yang notabene ulangannya masih 2 minggu lagi, saya pasti udah stress deh, dan langsung ga mau kalah langsung ikutan nyicil. Kadang lebih gilanya, kalo’ udah nyicil, kami suka ‘diem-dem’ alias ga ngomong ke yang lain. Jadi kesannya sok nyantai gitu dan sok ‘kelabakan’, padahal udah mulai nyicil berpuluh-puluh halaman. Ini strategi untuk perebutan juara atau at least 10 besar di kelas. Gila kan. Jadi beneran persaingan di sekolah itu kadang amit-amit pressurenya, dan kadang sistem nyicil menurut saya adalah salah satu solusi untuk bikin ga gila sebelum tua. Coba, para orang tua atau yang punya keponakan, kalo’ aware, pasti tahu bahwa anak jaman sekarang, kalo’ cuma dapat nilai 8, orang tua bisa mencak-mencak. Minimal harus 9 atau bahkan 10. Ajaib, sekolah di Indonesia itu..

4. Kalo’ urusan travelling, tentu saja urusan curi start ini juga berlaku. Walaupun bakal ikutan rombongan tour yang notabene bakal ada tour leader dan local guidenya, saya selalu bakalan browse dulu sana-sini terkait semua objek wisata yang bakal dilalui, mulai dari sejarahnya (sekilas aja sih), isinya apaan, letaknya, dll. Kan enak, bisa ada bahan buat nanya ke local guidenya terkait sih objek, dll. Ga pernah ada ruginya, kerahin sedikit effort untuk jadi super-siap ngadepin perjalanan kita 🙂

5. Untuk urusan lomba-lomba nulis, saya juga selalu usahain submit tulisan saya sedini mungkin. Ga ada deh yang namanya mepet-mepet deadline, walaupun sesekali juga happened sih. Tetep aja saya bakal lebih tenang kalo’ udah submit dari jauh-jauh hari, kalo’ bisa hari pertama diumumin lomba, hari itu juga saya submit. Cuma kendalanya kan kadang di ide ya. Kalo’ belum ada ide, gimana mau submit tulisan? Tapi sometimes saya lebih suka mikirin ide ceritanya sampe’ botak (dan berhasil dapet), terus submit sedini mungkin ketimbang membiarkan ide itu yang datang dan hanya menunggu. Minggu-minggu lalu saya ikutan acara nulis cerita rakyat dengan 8 tema berbeda setiap 4 hari. Dari awal, temanya sudah dikasihtahu semua. Nah, di minggu pertama saya udah heboh dan kelabakan sendiri untuk mikirin ide 3 cerita pertama. Duh rempong banget, padahal kan setiap cerita sebenernya dikasih waktu 4 hari, tapi tetep aja saya udah parno duluan dan pengennya curi start duluan supaya lebih tenang.

Nah kira-kira gitu deh aksi ‘curi start’ saya. Mungkin sifat paranoid gini tercipta juga karena saya lebh suka segala sesuatu well-prepared (plus mungkin sedikit sifat kompetitif saya). Jadi kan lebih mantep dan lebih safe. Intinya, susah-susah dulu, senang-senang kemudian.

Semoga semua yang di atas itu belum sampe tahap ‘kegilaan’ ya..

Lagi-lagi, Taiwan seharusnya masuk urutan-urutan bontot dalam list negara yang mau saya kunjungi di Asia. Tapi karena kebetulan tanggal tournya cukup OK terkait jatah cuti yang terbatas (kalo’ ga salah cutinya 2-3 harian aja) dan tour-nya sudah pasti jalan alias sudah terkumpul minimal 15 peserta (sangat susah nyari tour yang pasti jalan di low season period), akhirnya saya pun ikutan daftar tour ini di Avia Tour. Tentunya nambah satu cap lagi lumayan dong, buat bikin passport tambah meriah. Plus mama, sebagai emak-emak cina sejati sepertinya cocok kalau dibawa ke sini.

Harga tour-nya sendiri (7 hari) adalah USD 899++. Nett-nya jadi sekitar USD 1000-an deh, not bad. Waktu itu kalo’ ga salah kami berangkat di bulan April/Mei 2012.

Waktu pergi, karena saya juga kerja di perusahaan Taiwan, orang-orang sampe’ pikir saya biztrip atau tugas kantor, which is tentu saja nggak. Tapi sempet kepengen sih moto headquarter di Taipei, in case nanti nemu/lewatin, buat dipamerin ke temen sekantor (padahal ga ada bangga-bangganya juga), sayangnya (nanti) ga ketemu sama sekali selama di sana.

Langsung masuk ke keberangkatan aja ya, lupakan segala tetek-bengek keberangkatan. Kalau ga salah waktu itu kami berangkatnya siang dan sampe’ di Taipei malam hari, lalu langsung dianter ke hotel untuk istirahat.

Hari kedua, setelah kenalan dengan local guide kami di sana (seorang abege cowok Indonesia yang kebetulan sekolah di Taiwan, kalo’ ga salah namanya Joe. Khas abege yang cukup fashionable, dia selalu pake jaket kulit hitam dan skinny jeans, also black), kami diajak ke Chiang Kai Sek Memorial Hall. Ini semacam kompleks gede untuk mengenang Chiang Kai Sek, pendiri Republik Taiwan. Ada benda-benda peninggalan beliau seperti misalnya mobil kenegaraan yang sering digunakan, lukisan, patung super gede beliau, dan masih banyak lagi. Kami keliling sambil dengerin penjelasannya Joe tentang sejarah kehidupan Mr. Chiang dan sejarah bangunan ini. Sayang saya udah lupa semua, tapi seinget saya sejarah hidupnya lumayan menarik.

P1050578

IMG01057-20120515-0951

IMG01056-20120515-0950

IMG01052-20120515-0947

IMG01049-20120515-0944

P1050588

P1050608

P1050604

P1050600

P1050596

P1050606

P1050595

Di kompleks ini juga ada pergantian tentara. Tentaranya beneran kayak patung loh. Sumprit waktu itu saya dan mama sampe’ ngelilingin dalam jarak dekat, si tentara yang lagi berpose, dan kami kasak-kusuk karena bingung ini patung atau orang beneran. Mau pegang tapi kan ga boleh dan ga bisa karena ada tali pembatas. Orang-orang di sekeliling rupanya punya kebingungan yang sama. Bener-bener kaku dan geming banget posenya, dan di akhir baru ketahuan bahwa itu manusia. Kesannya kita semua bego banget ya ga bisa bedain patung atau manusia, tapi asli deh beneran kalo’ kalian ada di sana, kalian pasti bakal pusing tujuh keliling juga mikirin hal super ga penting ini.

IMG01048-20120515-0943

Setelah selesai keliling dan foto-foto, kami naik bus dari Taipei ke daerah Chiufen. Nah di situ kalo’ ga salah kami ditawarin untuk cobain satu restoran yang katanya punya view bagus, cuma kalo’ mau kami harus bayar lagi tambahan beberapa TWD (dolar Taiwan) gitu. Maksud saya, kenapa ga dijadiin paket tour aja dari awal? Masa’ makan di restoran dijadiin optional tour, itu akan agak jahat gituh..

Ya sudah akhirnya karena diiming-imingi view yang cakep, kami semua sepakat mau ke restoran itu (dan mengeluarkan dengan tidak rela sejumlah TWD dari kantung). Di situ kami diajak ke sebuah tempat kayak Pasar Baru yang semruwet banget, penuh pedagang kaki lima. Nah di dalamnya, setelah menjelajah kira-kira 10 menitan sampai ke dalam-dalam gang, tiba deh di satu restoran yang punya semacam balkon untuk lihat pemandangan keluar yang ternyata memang lumayan cantik. Makanannya sendiri sih biasa aja.

IMG01066-20120515-1127

IMG01061-20120515-1120

Sambil makan, kami mulai ngobrol-ngobrol malu-malu, maklum baru mulai pada kenalan. Kebanyakan peserta tour kali itu banyak yang ngomong bahasa Hokkian, bahkan ada yang ga bisa bahasa Indonesia. Jelas saya kaga ngarti, jadi cuma senyum-senyum manis aja tiap kali mereka ngajak ngomong, sambil berusaha berbahasa mata, bahasa isyarat, dan bahasa kasih.

Setelah makan dan foto-foto sejenak, kami lanjut jalan lagi ke Hualien. Perjalanannya lumayan lama nih karena jaraknya memang jauh.

Dalam perjalanan, kami ngelewatin Samudra Pasifik loh.. Beneran Samudra Pasifik yang ada di buku sejarah itu loh.. atau buku geografi.. yang saingannya Samudra Atlantik itu loh.. Real loh, di depan mata, sepanjang mata berjelalatan.

Jadi demikianlah sepanjang jalan itu kami liat pemandangan pantai dan laut yang sumpah cakepnya minta ampun, dengan laut warna turqoise yang seksi banget. Megah, gagah, anggun.. Sampe’ ngerasain banget kebesaran Tuhan dengan crayon ajaibNya.

IMG01112-20120517-0906

IMG_20130211_211208

Sampai Hualien, kami langsung diantar ke hotel.

Hari ketiga, pertama rutenya adalah Linzi & Tea Center. Seperti biasa, kalo’ pergi ke China dan sejenisnya, pasti ada sesi jualan gini, yang memang masuk dalam program pariwisata mereka. Di sini, sesuai nama tempatnya, kami disuguhi berbagai macam teh plus dikhotbahin tentang khasiat dan manfaatnya. Saya sih masuk kuping kiri keluar kuping kanan aja.

Yang lumayan menyenangkan, tempatnya quite nice dan banyak spot foto yang lucu-lucu. Tiap saya moto di satu tempat, pasti yang lain jadi ngikutin. Terus tiap abis saya fotoin, hasil foto saya sering dipuji-puji loh, HUAHAHAHA.. Sedikit bangga boleh kan ya? 😀 Efeknya, kadang jadi tukang foto mulu deh. Dikit-dikit saya yang dimintain foto. Untung saya baik hati dan (sangat) sombong dan memang suka foto-memoto.

Oh ya di belakang Linzi & Tea Center ini, langsung terpampang perkebunan tehnya loh. Jadi bener-bener masih fresh semua daun tehnya, dicabut langsung dari belakang situ. Sayang karena udah gerimis, kami ga sempet main-main di kebun tehnya.

Habis berteh-teh ria, kami lanjut jalan ke Taroko National Park. Eeerrr ini tempat apa ya, bingung jelasinnya. Pokoknya ni national park adalah tempat terbuka gitu, dengan kiri-kanan bukit-bukit marmer super tinggi dan pepohonan. Tempat ini adalah salah satu pusat marmer di Taiwan (Taiwan memang terkenal dengan marmernya). Jadi ni tempat semacam produsen marmer gitu. Di dalamnya juga ada Eternal Spring Shrine, semacam mata air yang lumayan cantik, tapi sayang kami ga ke deket situ, cuma liat dari jauh aja. Ada juga Swallow Cave, cuma saya juga lupa ini apaan, yang pasti sih goa gitu 😀

Jadi setelah masuk ke kompleks ini, kami turun dari bus, terus jalan kaki lewat semacam terowongan, terus keluar terowongan dan lanjut jalan di tempat terbuka gitu. Di sini kita harus pake’ helm untuk mencegah kecelakaan ketimpa batu-batu gitu. Maklum, namanya aja kiri-kanan bukit-bukit warna putih bertekstur gede dan tinggi, yang isinya marmer semua, sekali dia ‘brojol’, kepala kita ya dipertaruhkan deh. Nah, sepanjang jalan kita bisa sambil liat-liat pemandangan. Biasa aja sih menurut saya, cenderung pohon-pohon ijo aja walaupun ada banyak bukit-bukit seperti yang saya bilang tadi.

P1050631

IMG01095-20120516-1051

P1050634

P1050624

IMG_20130412_205244

Habis jalan di terowongan, si bus menjemput kami lagi, terus kami jalan keluar deh dari situ. Untuk keluar, busnya pun harus ngantri karena entah kenapa, lagi banyak bus-bus pariwisata di situ. Nunggunya lumayan lama, hampir setengah jam-an. Katanya bus-busnya memang harus gantian, untuk meminimalisir kecelakaan. Soalnya kan kita menyusuri bukit-bukit alias tebing-tebing gitu dengan jalur agak curam dan sempit. Agak ngeri dikit, semacam ada kuota beban gitu seolah-olah. Untung aku kurus.

Dari situ, kami ke pusat pengolahan marmernya. Ada banyak kerajinan dari marmer dipajang (dan dijual) di situ. Buntut-buntutnya sesi belanja sih. Tempatnya lumayan gede; sebuah gedung dengan pilar-pilar bergaya Romawi dan patung-patung yang tentu saja semuanya terbuat dari marmer. Di luar gedung tempat jualan tadi, marmer-marmer mentah berserakan di tanah, dan Joe sempet jelasin sedikit proses pengolahan marmer mentah tersebut, tapi so pasti saya udah lupa.

Sampe’ sini, hujan mulai turun, lumayan deras.

IMG_20130212_125439

IMG01101-20120516-1504

Okeh, setelahnya kami lanjut lagi ke Taitung. Sampe’ sana, kami ngunjungin Taitung Rift Valley Scenic Area (ini tertulis di itinerynya) tapi mohon maaf saya lupa banget ini apaan. Blank total biarpun saya udah coba Google sampe’ mejret.

Habis itu kami balik ke hotel dan (lagi-lagi saya lupa) saya sepertinya sempet berendem air panas, walaupun rasanya jauh lebih enak pas Onsen di Jepang. Yang ketinggalan di otak cuma bahwa air panasnya di Taitung ini kurang nendang. Tapi bener-bener ga kebayang tempat pemandiannya kayak apa. Duh, otak!

Hari keempat, dari Taitung kami lanjut lagi ke Mei Non Hakka Village, semacam kompleks dimana terdapat restoran dan toko-toko. Katanya di sini orang Hakka semua yang ‘kelola’. Semacam pemukiman khusus untuk suku mereka. Di sini setelah makan siang, kami cuma keliling-keliling dan foto-foto.

IMG01114-20120517-1235

Setelahnya kami ke Spring dan Autumn Pavillion, dua pavilion super cantik di tengah danau dengan banyak ornamen naga dan singa. Oriental dan colorful banget. Untuk naik ke pavilionnya kita harus mendaki tangga yang untungnya ga terlalu tinggi, tapi agak licin karena basah oleh cipratan hujan. Percayalah, ada banyak korban berjatuhan (harafiah, sunggu berjatuhan) di tangga-tangga ini.

Anyway karena tempatnya memang bagus, banyak peserta tour yang tetap berfoto-foto di bawah hujan sekalipun, termasuk saya -tentunya dengan berpayung.

IMG01143-20120517-1636

IMG_20130413_125731

IMG_20130211_211414

IMG01129-20120517-1620

Setelahnya kalo’ ga salah kami sempet mampir di WC umum saat meneruskan perjalanan, terus ga sengaja saya ketemu suatu kuil yang genjreng dan meriah banget. Cakep deh dekorasinya. Tau dong apa yang terjadi setelahnya? Jepret, jepret, betul sekali!!

IMG_20130211_211615

Terus kebetulan juga di depan tuh kuil (kalo’ ga salah) ada tukang jualan syal bulu yang cute banget, dalam aneka warna. Langsung deh kami semua mengerumuni si penjual. Kami di sini tentu saja adalah yang berjenis kelamin perempuan, jelas sejelas-jelasnya.

Si mbak penjual heboh mendemonstrasikan bagaimana tuh syal bulu bisa dipuntir-puntir jadi berbagai macam bentuk aksesori. Bisa jadi semacam pashmina, jadi bando, jadi kayak jaket yang ditaruh di leher, jadi ban pinggang, dan lain sebagainya. Keren banget, sampe’ takjub, betapa bunglonnya syal bulu mini yang sederhana itu!

Saya beli 10 biji buat oleh-oleh, dan sampe’ rumah pas saya coba praktikkin aksi puntir-memuntirnya, saya gagal total tuh. Ga berhasil sama sekali merubah bentuk syal itu, tetep aja jadinya syal. Entah sayanya yang dodol, si penjual yang kejagoan, atau si penjual punya syal bermodel lain yang bisa dikutak-katik (tau ah). Untung belum sempet pamer-pamer di hadapan para saudara. Maluku masih selamat.

Habis itu, seinget saya kami diajak pergi melihat patung Giant Buddha (kalo’ ga salah), yang kompleksnya gede banget. Di dalamnya ada toko-toko, ada kuil, tempat sembahyang, dan masih banyak lagi. Dari jauh patung Buddhanya udah kelihatan. Beberapa peserta yang beragama Buddha masuk sampai bagian terdalam (yang jalannya lumayan jauh dan perlu naik tangga cukup tinggi) demi bisa sembahyang di sana. Seingat saya kompleks ini seharusnya ga masuk dalam itinery sih.

P1050649

P1050681

P1050665

P1050658

IMG_20130212_130644

6

IMG_20130413_073901

P1050656

IMG01120-20120517-1439

P1050655

Kemudian, perjalanan lanjut ke Pearl Center, tempat dimana kami duduk seperti di kelas; diajarin tentang cara pengolahan mutiara, gimana cara bedain yang asli dan palsu, dan sebagainya, tapi sayangnya ga dikasih sampel (perhiasan) mutiara.

Setelahnya tentu saja kami juga dibawa ke tokonya dan dipaksa secara halus untuk membeli, dan saya sempet merelakan diri jadi korban dengan beli satu kalung mutiara di sini. Entah kenapa, saya lumayan suka mutiara. Bentuknya simpel tapi elegan banget.

Setelahnya, kami diturunin di Dream Shopping Mall (udah blank ini seperti apa) dan malamnya setelah dinner kami ke Leo Ho Night Market (yang saya juga lupa seperti apa bentuknya).

Hari kelima adalah jadwalnya ke Sun Moon Lake, danau terbesar di Taiwan yang cantik. Hujan kembali mengguyur hari ini. Kami harus ke dermaga dulu, sebelum bisa menikmati keindahan danau itu dengan cruise. Kapalnya lumayan bagus. Di situ kami foto-foto dan ngobrol-ngobrol sambil menikmati pemandangan danau. Setelahnya kami stop di kompleks Sun Moon Lake-nya, tempat kita bisa menikmati pemandangan Sun Moon Lake dari atas. Makin kelihatan deh cantiknya.

P1050704

P1050700

P1050698

13

P1050716

IMG_20130212_130101

Di kompleks ini juga ada Peacock Garden (sesuai itinery) tapi again saya juga ga ingat sama sekali dengan tempat ini.

Kami sempet makan siang di suatu kompleks yang juga nice, di dalamnya ada restoran super gede dengan ceiling tinggi yang katanya sering jadi tempat kawinan atau acara. Setelah makan kami jalan-jalan keliling sambil foto-foto, terus stuck ga bisa ke mana-mana karena hujan, sehingga harus nunggu beberapa saat.

P1050689

P1050685

IMG_20130412_205013

Setelahnya kami ke Wen Wu Temple, tapi saya ga masuk ke dalamnya karena agak males, jadi cuma nunggu di depan sambil foto-foto. Hujan masih lumayan awet di sini. Dari situ juga ada rute ke Chung Tai Temple, tapi saya lupa lagi kayak apa tempatnya hihi.. Ini mending ga usah nulis aja kali yah..

P1050727

P1050726

IMG_20130413_073729

Sorenya kami lanjut ke Taichiung dan diajak dinner di suatu tempat yang nice banget. Tempatnya mirip goa-goa di Turki, jadi restorannya terbuat dari batu-batu gitu, suasanya agak temaram, tapi bertingkat-tingkat kayak rumah Flinstones. Lucu deh interiornya. Makanannya juga lumayan. Setelahnya kalo’ ga salah kami ngunjungin Fong Chia Night Market (ga inget kayak apa), lalu balik hotel untuk istirahat.

P1050747

P1050737

Sepanjang jalan, Joe yang abege itu sering pasang lagu Mandarin, mulai dari Wang Lee Hom, Jay Chou, dll. Wah hidup banget deh saya 🙂

Kemudian, malamnya terjadi insiden yang ‘mengerikan’ buat saya gara-gara keteledoran saya. Jadi pas lagi ngelepas hardlense di wastafel dan membilasnya langsung dengan air keran, sebelah hardlense saya itu ‘nyalip’ dari tangan dan jatuh, terjun bebas ke wastafel, kebawa arus air, dan sukses masuk ke lubang. Tadinya saya masih dengan sigap berusaha ‘nangkep’ tuh hardlense di dasar wastafel, tapi karena hardlense kan terbuat dari kaca dan rentan pecah, otomatis usaha tangan saya untuk menangkupnya juga ‘lemah’ karena tanpa sadar tentunya saya takut hardlense tersebut pecah kalo’ langsung saya sambar/tepuk pake tangan. Ya sudah, terbawalah hardlense itu, masuk ke lubang wastafel. Kebayang ga sih betapa shock nya saya melihat kejadian itu, dimana saya sukses kehilangan sebelah ‘mata’ saya? Ya ampun, badan saya sampe; langsung lemes dan rasanya pingin banget memutar balik waktu. Berasa bodoh banget karena dari dulu selalu ‘nakal’ bilas hardlense langsung dengan air wastafel, padahal bakalan lebih aman kalo’ saya melakukan semua aktivitas itu ga di wastafel (misal di meja) dan airnya bilasannya itu dari gelas, bukan dibilas langsung pake’ air mengalir.

Walaupun udah tipis harapan, saya sampe’ bisa-bisanya manggil semacam room service untuk nolongin saya bongkar tuh wastafel dan cari benda kecil seukuran bola mata itu. Pathetic banget ga sih. Si kepala servicenya sampe’ udah geleng-geleng kepala, tapi saya sangat menghargai itikad baiknya untuk tetep ngebongkar pipa bawah wastafel. Setelah dibongkar, kami cari sama-sama di dalam pipa itu (yang ternyata isinya jorok banget, ya ampun.. baru pertama kali liat ‘isi’ wastafel) dan tentu saja hardlense saya itu udah nggak ada.

Sedih banget rasanya, dan lebih pusing lagi gimana ngadepin hari-hari besok dengan mata buta sebelah. Pake’ kacamata jelas ga mungkin karena kacamata saya tebel dan pasti bakal bikin pusing karena neken tulang telinga. Ya sudah mau ga mau terpaksa saya cuma pake’ hardlense sebelah. Pusingnya setengah mati, jelas.. Satu mata normal, satu mata berminus belasan. Kebayang kan?

Ya sudahlah, jadi suatu pelajaran buat saya untuk lain kali lebih hati-hati, dan yang patut disyukuri, at least perjalanan ini ‘tinggal’ 2 hari. Coba kalo’ insiden ini terjadi di hari-hari awal, pasti semua bakal lebih ruwet lagi kan?

Hari keenam, pagi-pagi kami ke Taoyuan, tepatnya ke stasiun bullet-train, terus lanjut ke Taipei naik bullet-train itu. Stasiunnya kecil, dan nunggu sekitar 15 menitan, kereta datang. Sambil nunggu Joe nunjukkin berbagai atraksi sulap yang lumayan menghibur. Di kereta, perjalanan sekitar setengah jaman saja. Keretanya lumayan bagus dan yang pasti bersih.

IMG01166-20120519-1037

Oh ya jangan lupa bahwa resmi per hari ini, saya udah buta sebelah. Jadi kerjaan saya kalo’ lagi bengong ya mejamin mata, biar mata yang cuma sebelah ga kecapekan dan ga bikin pusing kepala.

Sampe’ Taipei, kami ke Martyr’s Shrine untuk liat proses pergantian tentara di situ. Nunggu agak lama, dimulailah prosesi pergantian tentara. Lumayan menarik sih ya. Ga kebayang gimana para penjaga itu harus steady sepanjang hari dengan pose sama. Beberapa penjaga saya liat bajunya udah basah dengan keringet, pola basahnya tercetak dengan jelas di bagian ketiak dan punggung. Kasihan, tapi pasti cocok jadi iklan deodoran. Setelah ngeliat prosesi, baru kami jalan-jalan di sekitar kompleks sambil foto-foto.

P1050758

P1050754

P1050751

Tadinya pingin juga mampir ke makamnya Theresa Teng, penyanyi Taiwan yang tersohor itu, tapi waktu ga memungkinkan.

Selanjutnya perjalanan diteruskan ke National Palace Museum. Di sini cuma liat-liat aja sih sepertinya (saya blank lagi, tempat ini kayak apa, duh..), dan setelahnya kami ke Handicraft Center. Di sini tempatnya artistik banget, lengkap nyediain segala macam mochi, kerajinan tangan khas Taiwan, dan masih banyak lagi (kebanyakan emang makanan sih). Penjaga jualan mochinya pun murah hati, banyak ngasih kami sampel-sampel aneka ragam mochi.

IMG01174-20120519-1136

IMG01169-20120519-1133

Habis itu kami lanjut ke Shihlin Official Garden, yang sesuai namanya merupakan taman raksasa yang cantik, tempat kami jalan-jalan dan foto-foto saja, dan setelahnya perjalanan berakhir di Taipei 101 Mal. Haduh kenapa hampir semua mall saya lupa ya? Saking ga berkesannya kali ya.

IMG01168-20120519-1108

P1050763

Hari ketujuh adalah hari terakhir. Setelah breakfast kami langsung jalan ke airport. Selesailah perjalanan ke Taiwan, yang sepanjang hari lumayan sering diguyur hujan.

Selama perjalanan, antara tour leader kami dan local guide (Joe) sempet agak sedikit ‘kisruh’. Masalahnya Joe kan masih abege, yang agak cuek dan super semangat sehingga sometimes jalannya pun cepet banget, ninggalin para orang tua di belakang yang kewalahan nyamain langkahnya, sementara si tour leader kami pun yang ‘ngejagain’ para orang tua akhirnya juga ikut kelabakan, dan seringkali kehilangan Joe dan anak-anak muda yang udah jauh duluan di depan. Akibatnya si tour leader agak kesel karena menilai Joe kurang profesional. Hm, emang susah ya kalo’ harus bekerjasama dengan orang yang baru dikenal, apalagi harus bersinergi (ceilah) ngurusin segerombolan orang yang ngerepotin, dengan karakter berbeda-beda. Memang ga gampang jadi tour leader/local guide.

Anyway kesimpulan saya selama pergi ini, Taiwan sepertinya lebih cocok buat para orang tua, ketimbang anak muda, karena lebih banyak ngunjungin kuil dan lihat-lihat pemandangan. Orientalnya kerasa banget. Jadi sepertinya saya bakalan hanya 1x, pertama dan terakhir ke situ. At least udah tahu Taiwan kayak apa 🙂

** Silakan dihitung, berapa kali saya menuliskan “seingat saya”, “kalo’ ga salah”, dll. dalam postingan ini.

Sebenernya sumprit saya ga pernah sedikit pun kepengen pergi ke Korea. Saya kaga demen film Korea (kecuali Full House yang super bagus itu) dan bukan pula penggemar boyband Korea yang muka mulusnya bikin sirik sejagat. Cuma tahu sendiri, ‘sakit’nya saya yang demen bikin cap di passport tambah banyak, dan kebetulan Korea adalah salah satu negara yang belum kebagian jatah dikunjungin, plus kebetulan timingnya waktu itu pas dengan masa jeda setelah saya resign dari Beiersdorf. Jadi biarpun kaga ada secuwil nafsu pun sama negara ini, at the end saya tetep kunjungin dia sambil mencamkan pada diri sendiri, “berilah dia kesempatan, kasihanilah dia..”

Kebetulan pula harga tournya waktu itu ga terlalu mahal karena ga menyangkut Jeju Island (saya lupa harganya, kalo’ ga salah USD 800-an deh untuk 5 hari perjalanan). Tournya sendiri adalah Consortium Garuda, dan kebetulan saya, mama, cici pertama dan anaknya daftar lewat Avia Tour.

Suhu juga kebetulan pas peralihan antara musim semi ke musim panas. Masih oke lah, ga terlalu panas dan ga terlalu dingin juga, cocok buat mama yang ga tahan kena dingin.

Okeh seperti biasa tentu saja kerjaan saya browsing sana-sini di kantor tentang segala macam objek wisata di Korea, buat membekali diri plus biar terkesan sibuk lagi kerja (pasang tampang serius menatap layar komputer sambil ngernyit-ngernyit sesekali). Gatau ya, aktivitas satu ini memang mengasyikkan sih, gimana dong.

Setelah visa dan semua kelengkapan beres, tibalah hari keberangkatan, di awal Juni 2011. Berangkat deh kami ke airport (seinget saya itu pas sore menuju malam gitu), dan ternyata karena consortium, pesertanya jadi banyak dan rombongan kami dibagi dua dengan tour leader yang berbeda. Saya lupa waktu itu total peserta di rombongan saya berapa. ‘Sialnya’ rombongan saya nanti kedapetannya local guide bahasa Inggris, sementara rombongan yang satunya lagi cukup hoki dapat local guide yang bisa berbahasa Indonesia.

Perjalanan kalau ga salah sekitar 6-7 jam-an, mirip ke Jepang. Sayang banget ingetan saya susah banget dijernihin terkait kondisi perjalanan, makanan dll., sehingga pasti ke belakangnya cerita ini bakalan ga lengkap dan mengandung banyak kesalahan-kesalahan kronologis. Ampunilah.

Sampai di Incheon pagi harinya, kami langsung diajak kenalan sama Felix, local guide kami selama di sana. Bahasa Inggrisnya yah khas-khas Korea gitu deh, dan dia demen banget sama ponakan saya, karena katanya ponakan saya mukanya kayak orang Korea (terutama matanya yang kayak kuaci). Logat mendayunya Felix itu sering banget ditiruin sama peserta tour lain.

IMGP3921

Seinget saya kemudian (sambil liat-liat foto jaman dulu itu) kami langsung berangkat ke Nami Island setelahnya. Jadi kami pergi ke suatu dermaga bertajuk River Line, kemudian naik kapal cukup gede ke pulau tempat lokasi syuting Winter Sonata itu. Jangan pikir saya pergi dengan super excited siap untuk menyambut patung dan foto-foto Bae Yong Jun itu ya, wong nonton serinya aja saya ga pernah, belum lagi aselik saya kaga demen liat cowok putih yang matanya sayu-sayu minta dicolok itu, belum lagi senyumnya yang selalu terurai tiada henti – which is aneh banget buat saya.

IMGP3531

IMGP3532

Di luar Bae Yong Jun dan antek-antek dramatisnya itu, di luar dugaan pulau ini cukup menyenangkan. Pasti pada sering deh liat foto atau pemandangan Nami Island dengan pohon tinggi di kiri-kanannya. Nah, ya kagak gitulah Nami Island itu.

Selain itu, banyak spot-spot cantik dengan icon lucu-lucu bergambar komik gitu, cukup menggemaskan. Cewek-cewek pasti demen deh ke sini. Ada juga kanvas berisi lukisan pohon-pohon, berderet rapi di salah satu spot di pulau ini, seolah menyatu dengan pohon-pohon beneran di belakangnya. Cantik deh. Pokoknya tempat ini menyenangkan untuk berjalan-jalan dan berfoto. Cuacanya pun pas lagi adem.

Dan at the end biarpun kaga demen sama si aktor, toh saya berfoto juga dengan dia hanya atas nama “biarlah resmi kunjunganku ke Nami Island”. Tragis. Anyway foto itu ga akan di-share di sini (nehi-mehi). Banyak pula spot tempat mengenang scene-scene film ini, misalnya first kiss nya si Bae Yong Jun sama cewek bertampang tua itu.

IMGP3578

IMGP3557

IMGP3577

IMGP3562

IMG_20130211_212409

Di tempat ini kami juga sekalian lunch shabu-shabu gitu, yang dagingnya lumayan enak tapi bikin miris ati karena ga kenyang. Mukaku pasti sedih banget saat itu. Ada pipa-pipa unik di atasnya khas bakar-bakaran restoran Korea.

IMGP3546

Setelah puas putar-putar di Nami Island, kami ngumpul lagi, terus balik ke dermaga keberangkatan tadi dengan kapal.

Habis itu seinget saya, kami ke Dhaepo Wharf dan itu udah sore. Ini semacam pasar seafood gitu sih, jadi kita masuk ke suatu gang dimana kiri-kanan berjejer para penjual makanan dan bahan makanan. Tempat ini lumayan rame’ dikunjungi para turis, dan sayangnya waktu kami datang karena sudah kesorean (kalo’ ga salah), tempatnya udah mulai sepi dan kebetulan bekas hujan juga. Overall tentu saja saya pembenci pasar ga enjoy sama sekali di tempat ini, apalagi becek-becek begitu. Beberapa peserta sempat beli cemilan seperti sate cumi, dll.

Setelahnya kami balik hotel dan istirahat.

Hari kedua, kami ke Mount Sorak, gunung terkenal di Korea. Ada patung beruang gede di depannya, lambang Mt. Sorak ini (jangan tanya sejarahnya ya, saya lupa).

Jadi sebenernya Mt. Sorak ini adalah semacam national park gitu. Nah sampai di kompleksnya, kami jalan sedikit, kemudian ngantri untuk naik cable car gede yang muat puluhan orang, menuju Mt. Sorak. Sampe situ, jalan deh kami menyusuri semacam bukit batu yang ga bersahabat banget tanahnya dan sukses bikin boot saya rusak dan lecet-lecet. Medannya lumayan terjal dan banyak tangga-tangga, jadi para orang tua kebanyakan mendekam di ‘stasiun’ cable car aja dan minum di cafe sana, ga ikutan mendaki. Di sekeliling bukit-bukit ini juga banyak pepohonan hijau.

IMGP3617

IMGP3623

IMGP3645

IMGP3640

 Sampe’ puncak, udah deh kita cuma foto-foto dan lihat view yang sebenernya sumprit ga menarik banget, ditambah ada kabut lagi, jadi ga terlalu keliatan apa-apa. Terus ternyata di atas situ ada bekas benteng yang namanya Kwongeumseong Fortress, dan sampe’ detik ini pas nulis, saya ga ingat apa-apa tentang bentuk reruntuhan benteng itu, yang secara implisit menyatakan bahwa tuh benteng pasti kaga atraktif dan kaga menarik banget kan? Oh ya juga ada semacam papan bertuliskan informasi tentang sejarah benteng itu.

IMGP3641

Setelahnya, masih di kompleks yang sama, kami ke Shinheungsa Temple dan ngeliat Grand Bronze Statue of Buddha, patung Buddha yang lumayan gede, yang sayangnya saya ga tau keistimewaannya apa T_T

IMGP3652

IMGP3651

Ya sudah setelah itu kami berangkat lagi ke Vivaldi Park Resort. Sekitaran tempat ini kalo’ musim dingin bakal jadi arena ski, sementara pas summer gini jadi tempat berenang.

Setelah check-in, kami siap-siap tukeran baju renang dan jalan kaki nyeberang menuju Ocean World. Ceilah berenang aja jauh-jauh ke Korea, kasihan banget ya. Saya sih ga bisa berenang, jadi cuma duduk-duduk di kolam, super anteng menikmati pemandangan orang-orang (pria-pria) Korea yang lalu-lalang. Terus ternyata karena kami lagi-lagi udah kesorean, ada beberapa wahana yang menarik di situ (misal perosotan super tinggi) yang udah tutup, jadinya sebenernya kami ga gitu ngapa-ngapain di situ. Palingan cuma 1 jam-an aja. Habis itu bilas-bilas deh.

IMGP3722

Yang menyenangkan di ruang gantinya adalah mesin pengering baju renang yang superkeren, yang bisa bikin baju renang kering dalam sekejap sehingga kita ga usah bebawaan pulang baju basah. Terus cewek-cewek Korea ternyata cukup cuek, jadi mereka ganti bajunya ya berbugil ria gitu aja, ga pake’ tutup-tutupan. Saya dan yang lain sih tetep masuk ke bilik.

Habis itu kami jalan kaki lagi balik hotel kemudian keliling-keliling area hotel sambil foto-foto.

Hari ketiga, dari Vivaldi Park Resort kami meluncur ke theme park terkenal Korea, Everland, yang ternyata kayak Dufan aja. Ga bilang jelek sih, cuma wahananya kurang menarik ya. Wahana 4D pun agak burem dan gelap. Jauh banget sama Disneyland Jepang. Yang menyenangkan di sini adalah taman-tamannya, dengan bunga-bunga colorful yang cantik banget bikin mata jadi kelabakan, misal Four Season Garden.

Di bagian depan Everland juga ada sejenis bangunan yang seluruh dindingnya dilukis dengan gaya tumpuk rumah-rumah di Yunani. Nice banget, dan si bangunan itu selalu jadi background photo group manapun, termasuk group kami.

IMGP3734

IMGP3808

IMGP3772

IMGP3744

IMG_20130413_070747

IMGP3782

IMGP3739

IMG_20130413_071311

IMG_20130413_071407

Di Everland kami hanya setengah harian aja, setelah itu lanjut ke perkebunan strawberry. Cuma buat metik strawberry gitu loh. Di Bogor juga ada bukan yah? Habis lihat-lihat, kami dikasih petik beberapa strawberry. Lumayan manis sih.

IMGP3664

Habis itu saya, ponakan saya dan beberapa cewek-cewek lain ngotot mau optional tour ke Teddy Bear Museum. Setelah bujuk-bujuk supir dll. akhirnya jadi juga kami ke tempat itu. Di Korea ada beberapa Teddy Bear Museum, tapi setahu saya yang paling terkenal adalah Teddy Bear Museum di Jeju Island.

Sampe’ sana, menurut saya selain Nami Island dan Everland, inilah tempat yang berhasil membangkitkan ‘gairah’ lagi, setelah Mt. Sorak yang ‘datar’, Ocean World yang ‘basi’ dan kebun Strawberry yang ‘biasa banget’. Ya sudah di sini kami lihat-lihat dan foto-foto. Super-uber-cute deh, dengan semua pelosok penuh dengan Teddy Bear berbagai ukuran, sampe’ yang paling gede sekalipun. Puas banget!

IMG_20130413_071525

IMGP3710

IMGP3711

IMG_20130413_130851

IMG_20130413_131055

IMG_20130413_071018

Habis itu kami lanjut jalan ke Seoul, kemudian pulang ke hotel. Sempet mau request untuk optional tour Nanta Show, tapi setelah tour leader kami telepon ke tour lokal di Seoul, ternyata tempat duduk di show itu udah full. Maklum show tersebut memang populer. Katanya sih semacam lawakan Korea, dengan setting di dapur. Ga kebayang.

Hari keempat, kami full di Seoul. Pertama ngunjungin Gyongbok Palace. Ini aja saya udah lupa apaan. Kayaknya istana-istana kerajaan gitu deh. Ada kolam-kolam juga di dalam kompleksnya. Tradisional banget. Setelahnya kami ke Korea Folklore Museum, jelas di dalamnya kita bisa lihat-lihat pernak-pernik kebudayaan Korea dalam diorama-diorama cantik berdinding kaca, dimana kita ga boleh foto pake blitz.

IMGP3885

 Setelahnya, kami mampir ke Blue House alias rumah presiden, yang sama sekali ga menarik karena cuma numpang foto di depan semacam patung dan air mancur.

IMGP3873

Habis itu kami lanjut ke tempat bikin kimchi (makanan nasional Korea), dimana kita bakal pake’ celemek dan diajarin bikin makanan satu itu. Saya sih ketawa-ketiwi aja, secara saya paling males bikin tangan saya kotor biarpun tangan kita dilapisin plastik bening. Kita harus bolak-balikkin tuh kimchi di talenan, dilumurin bumbu merah-merah itu, dll. Si gurunya sampe’ ngelirik saya berkali-kali –pasti dipikirnya saya ga kooperatif.

IMGP3829

Setelahnya di bangunan yang sama, kami juga pake’ pakaian tradisional Korea, kemudian foto-foto deh. Lucu-lucu sih bajunya, warna-warni gitu, tapi asli bikin kita jadi gendut banget karena model bajunya berat dan lebar.

IMGP3950

Sorenya kami mulai belanja-belanja, dibawa ke toko ginseng (mama saya girang bukan kepalang) dengan harga ajigile, kemudian ke Etude, Faceshop dll. (di sini saya yang megap-megap, karena harga barangnya murah-murah banget, jauuuh deh dari harganya di Indo) dan sampe’ beli sekeranjang gede kosmetik.

IMGP3963

Setelahnya kami juga ke toko Amethys something, yang kayaknya isinya perhiasan-perhiasan gitu, terus terakhir malam harinya kami didrop di kompleks perbelanjaan gede, Dongdaemun. Ada berderet-deret mall di sini –mungkin semacam Orhcard-nya Singapore kali ya. Di sini saya ga inget kami ngapain. Kayaknya cuma dari outlet ke outlet aja, belanja.

IMG_20130413_070653

Setelahnya kami balik hotel, terus tidur.

Hari kelima, setelah breakfast kami langsung cabut ke airport. Selesai deh perjalanan ke Korea, tadaaaaaa..

Overall, jujur trip kali ini ga terlalu berkesan ya. Satu hal yang paling saya demen di sini cuma belanjanya, dan itu pun cuma belanja pernak-pernik (souvenirnya) yang lucuuuuu banget dan kosmetiknya yang murah meriah. Asli para cewek pasti bakal kalap selama di sana. Sampe’ sekarang saya masih simpen seplastik gede souvenir Korea super cute itu, mulai dari gantungan kunci, magnet, pembatas buku, dll. Nice banget.

Kemudian orang Korea sendiri -karena kami ‘cuma’ ikutan tour- tentu saja ga bisa ketangkep jelas karakternya. Tapi yang pasti physically mereka cantik-cantik dan ganteng-ganteng, badannya pun tipis-tipis serasa habis disiksa di papan gilasan. Dan udah pada tau kan, bahwa hadiah Sweet 17th dari para orang tua untuk anak mereka adalah dana untuk operasi wajah? Itu udah umum banget, jadi memang katanya sebagian besar wajah para gadis Korea adalah hasil operasian -bikin hidung  lebih mancung, bikin lipatan mata buatan, bikin pipi lebih tirus dll.

Walaupun perjalanannya ga gitu menarik secara keseluruhan, tentu saja saya hepi-hepi aja. Toh passport juga jadi tambah cantik dengan satu halaman penuh bergambar visa Korea 🙂

200px-CuckoosCallingCover

Robert Galbraith, alias J.K. Rowling, kembali berkarya pasca karya sukses & tidak-terlalu-suksesnya Harry Potter dan The Casual Vacancy (pernah saya review di sini). Awalnya dikatakan bahwa Rowling menyembunyikan identitasnya lewat nama samaran bermakna dalam yang menyiratkan popularitasnya (merujuk ke arti kata Galbraith dalam suatu bahasa asing – Yunani/Romawi kuno? Lupa..), tapi kemudian hal itu entah kenapa bocor ke publik, sehingga buku yang tadinya terbilang ‘hanya’ cukup sukses penjualannya kontan langsung melejit, berkat nama besar Rowling.

Benci dengan fakta ini, tapi itulah digdaya sebuah realita; nasib seorang penulis baru dibanding dengan para seniornya; subjektivitas baik berdasar maupun tidak yang membedakan penjualan penulis terkenal dan belum terkenal berdasarkan angka dan nilai, dan walau benci tentu saja saya pun terpengaruh, baru membeli buku ini setelah tahu fakta siapa pengarang aslinya. Jika tidak tahu, mana mungkin saya (dan mungkin jutaan orang lain) mau membeli buku karangan penulis antah-berantah tak dikenal bernama Robert Galbraith?

Sudahlah, mari masuk dalam ceritanya sendiri. Memang buku ini bergenre berbeda dari kedua buku sebelumnya, namun nuansa Casual Vacancy menurut saya masih sedikit menyelimuti buku ini. Entah kelamnya, entah ceritanya yang bertemakan tentang kepalsuan berkedok keindahan dalam dunia manusia.

Kali ini dalam The Cuckoo’s Calling, Rowling mencoba ‘peruntungannya’ dalam kisah detektif, dengan menyajikan Cormoran Strike sebagai tokoh utama –detektif eks veteran perang dengan kaki palsu yang berkarakter dingin, diceritakan sedikit melarat, bertubuh besar menyeramkan, cenderung kasar, dengan wajah tidak tampan. Sebagai sekretarisnya hadirlah Robin, wanita cantik yang pandai dan aktif yang ternyata sedari kecil punya mimpi menjadi seorang detektif. Ia mengorbankan beberapa pekerjaan menjanjikan demi mewujudkan mimpinya itu dengan mendampingi Strike memecahkan sebuah kasus bunuh diri seorang supermodel terkenal, Lula Lander.

Maka sedari awal kita akan diajak menyusuri sepotong demi sepotong puzzle dalam rangkaian penyidikan Strike. Di dalamnya kita akan dibawa pula ke masa lalu Strike yang ternyata anak seorang penyanyi terkenal serta kehidupan cintanya yang mengerikan dengan Charlotte; belum lagi dunia artis yang penuh kepalsuan -tempat teman-teman Lula berkecimpung- yang terpaksa dimasukinya, serta (kontradiktifnya) orang-orang dari kalangan bawah yang digambarkan hidup bak benalu dan hanya memeras orang-orang kaya, mulai dari sosok ibu kandung Lula sampai seorang Rochelle, sahabat Lula yang juga pecandu obat bius. Semua ini bersettingkan kota London yang digambarkan tak pernah mati; suatu denyut hidup kota metropolitan yang tak terkekang oleh apapun.

Menurut saya ceritanya sendiri cukup menarik, dan lumayan sulit untuk ‘dilepaskan’, tentu saja karena kisah detektif semacam ini selalu menghadirkan rasa penasaran akan tokoh si pembunuh, motif, caranya, dan lain sebagainya. Sayangnya, di akhir seperti banyak cerita detektif kebanyakan, saya mendapati bahwa lagi-lagi Strike menjadi tokoh super yang sangat hebat, yang bisa memecahkan semua kasus, tanpa kita pembaca diberi petunjuk/’pemantik’ untuk mengerti jalan pikiran dan aliran benaknya sampai bisa mengambil kesimpulan sepandai itu. Entah ya, mungkin saya terbiasa dengan Conan dan Kindaichi, yang selalu menghadirkan suatu ‘pemantik’ ataupun pencetus dalam rangka pencarian petunjuk, sebagai pendorong atau pembuka dalam proses analisa sehingga bisa berakhir pada suatu kesimpulan akan siapakah si pembunuh. Faktor itulah yang menurut saya ‘miss’ di novel ini, sehingga di akhir kita hanya dibuat mengikuti kesimpulan akhir (benak Cormoran), tanpa diajak ataupun dilibatkan melalui proses penemuan jati diri kesimpulan itu. Ehm, semoga dimengerti ya maksud saya.

Beberapa yang sedikit (sekali) mengganggu adalah kalimat narasi yang terkadang sering diulang dalam paragraf di satu halaman. Misal deskripsi tentang keadaan bisingnya kota London, bisa diulang dalam kalimat bernada sama di beberapa paragraf, sehingga buat saya kurang efektif. Akan lebih baik bila kalimatnya diganti dengan kata-kata lain; walaupun maknanya sama, at least dari faktor estetika dan fungsional, pembaca  jadi tidak menyadari perulangan makna kalimat yang sebenarnya sama tersebut.

Kemudian hal lain menurut penilaian saya adalah begitu banyaknya tokoh yang dikeluarkan dalam cerita ini, mulai dari awal sampai pertengahan. Berlimpah-ruah saksi yang dihadirkan terkait kasus pembunuhan Lula, tapi at the end tahu-tahu semua saksi mengerucut, dan absen tampil di akhir; hanya tersisa beberapa tokoh saja, seakan semua tokoh yang begitu banyak tadi hilang dalam sekejap, dan kehadiran mereka jadi terasa sia-sia sepanjang novel ini; tanpa sadar seolah mengecilkan dan meniadakan peran mereka yang tadinya digeber habis. Contohnya si penyanyi rap yang mengidolai Lula (lupa namanya. Macbee?), supir (xx-Lewis?) dan lain-lain.

Ganti dari semua tokoh yang menghilang di akhir tadi, muncullah seorang tokoh yang bisa dibilang baru sama sekali. Saya kurang suka dengan metode ini.

Sebaliknya yang saya kagumi tentu saja visualisasi dan deskripsi Rowling yang sangat detail seperti biasa, walaupun saya yang memang visualisasinya lemah kadang seringkali melewatkan bagian-bagian deskripsi tersebut, terutama deskrpsi gambaran tempat.

Yang saya suka di sini salah satunya adalah tambahan informasi : perbedaan antara efek heroin, kokain dan alkohol. Heroin akan membuat pemakainya pasif dan terlena; kokain akan membuat pemakainya paranoid dan cenderung waspada, sementara alkohol membuat peneguknya mudah emosi dan sangat reaktif. Fakta yang menarik, bukan?

Secara keseluruhan, gaya penulisan Rowling ‘cukup’ bisa dikenali; masih cukup konsisten terutama seperti The Casual Vacancy, novel sebelumnya, meskipun tentu saja The Cuckoo’s Calling ini jauh lebih menarik.

Score : 7,5

new year's eve 1 001

Dia duduk, wajah tengadah ke atas, menatap layar raksasa indah di hadapannya. Gelap pekat, sebuah latar sempurna untuk pertunjukan akbar malam ini.

Suara petasan bertubi-tubi tanpa hanti, pamer sejadi-jadinya, seolah sang langit sedang terkentut-kentut melampiaskan gas dari mulas perutnya. Maha dahsyat suaranya, belum lagi kerlap-kerlip kembang api yang membuat kentut sang langit seolah berasapkan cahaya dan api. Tawa riuh di sekitarnya membuat khayalannya itu seolah nyata.

Dia melantur sejenak, membayangkan bagaimana bunyi bom, atau bom nuklir, sebuah kreasi yang kapasitasnya jauh melebihi kembang api ecek-ecek ini. Imajinasinya melayang ke Hiroshima dan Nagasaki, satu-satunya sisa sejarah yang masih sudi menempel di otak lemahnya. Bulu kuduknya merinding sejenak, lalu lekas dia seret benaknya kembali ke moment sakral malam ini.

Semua cahaya dan bunyi-bunyian ini tak berarti banyak baginya. Tak seperti yang tertulis di social media, bagaimana petasan dan kembang api itu melambangkan semangat baru menyongsong resolusi di tahun depan, pendar kejayaan yang menyambut saat gerbang tahun dibuka, kegemilangan yang bercokol minta disambar saat kita melangkah ke tahun berikut, atau sejenisnya. Buatnya, semua itu tahi kentut. Muak dia membaca semua status dan timeline yang bertebaran dengan nada positif. Hanya semalam, sehari, dan selanjutnya terlupakan dalam 364 hari ke depan dalam riuhnya kesibukan dan segala problema hidup yang menempel bak parasit, enggan bergeser dalam keterlenaan.

Moment malam tahun baru ini hanya berarti satu hal untuknya, selalu hanya satu hal.

Cahaya maha terang di langit menumpahkan bayangnya ke bawah, menimpa wajah anak-anaknya yang bersorak gembira. Keriaan di wajah dan gegap gempita mereka buatnya lebh bermakna dari semua basa-basi dan omong kosong soal tahun baru. Keberadaan mereka –tepat di sampingnya, hanya sejauh rengkuhan peluknya, adalah sebuah fakta yang hangat melingkupinya, melampaui semua kemeriahan pesta dan hingar-bingar perayaan di jalan dan di tempat umum lainnya. Ini, dengan ketenangan bersanding elok bersama keriuhan, adalah surganya sendiri.

Selama tahun baru (lagi), untuk kamu masing-masing dan surga kalian, di manapun itu.

Tags:

???????????????????????????????

Di kursi itu kami berdua duduk, sesekali dia berdiri menyaksikan detik-detik pemotongan di meja tinggi itu. Sebaliknya, aku menolak menyaksikannya. “Miris,” kataku waktu itu, dengan nada menuduh dan pandangan menghujam yang kusengaja padanya. Dia hanya geleng-geleng.

Aku sudah bertekad mempertahankan sikap dan pembawaan ini selama kami berada di toko ini. Amarah masih menguasaiku. Aku masih tidak terima.

Setelah 15 menit yang terasa cukup lama, apalagi bagiku, akhirnya pemotongan itu selesai dilakukan. Si mas menyerahkan ban pinggang itu padaku, wajahnya tanpa dosa, membuatku semakin muak.

“Silahkan dicoba,” katanya. Langsung kuraih ban pinggang itu –agak kasar- dan dengan cepat mengembalikannya ke plastik. “Tidak usah dicoba lagi,” tandasku, sengaja menunjukkan gelagat ingin meninggalkan toko itu secepatnya.

Istriku melempar pandang minta maaf pada si mas penjaga toko –sekaligus eksekutor pemotongan ban pinggang itu, kemudian mengucapkan terima kasih dan dia setengah berlari mengejarku.

Di luar, dalam perjalanan ke tempat parkir, tak tahan rupanya ia untuk menegur kelakuanku.

“Ada salah apakah dia padamu?” tudingnya tidak senang, “Mengapa melampiaskan marahmu pada pria tak bersalah yang sudah membantumu memotong ban pinggangmu?”

Aku akhirnya tidak tahan juga, dan tertumpahlah lagi uneg-unegku –sesuatu yang dia sebenarnya sudah tahu karena sudah kukatakan kira-kira 40 kali sebelumnya.

“Aku sudah katakan berkali-kali, jangan pernah belikan aku ban pinggang bila memang nomorku tidak tersedia! Akhirnya benar kan, nomornya kebesaran! Kamu lihat kan akibatnya?” geramku.

“Aku suka ban pinggang itu! Menurutku warnanya akan sangat cocok dengan celana khaki yang baru kamu beli minggu lalu!” balasnya, “Lagipula, size-nya hanya berbeda sedikit saja. Mereka bilang itu memang sudah default size terkecil untuk jenis itu!”

“Dan kamu percaya dengan kata mereka, para pelayan dengan product knowledge minim bak bikini wanita murahan di pantai?!” Aku membalas, puas dengan analogiku yang terasa menohok.

“Aku tidak tahu! Memangnya aku kamu?! Memangnya aku pria?! Memangnya aku tahu bahwa seharusnya ada size lebih kecil?! Kalaupun kebesaran, mereka toh sudah bilang, ban pinggangnya bisa dipotong!”

Aku geleng-geleng kepala seolah kehabisan akal dan sabar, sengaja pasang aksi itu untuk mendramatisir semuanya, “Kamu tahu aku paling tidak suka ban pinggangku dipotong! Nomornya akan hilang! Otentiknya akan hilang! Dan mereka, para pelayan itu, tidak pernah mau peduli urusan printilan seperti itu! Yang ada dalam otak mereka hanya menjual, menjual, dan menjual! Kebesaran? Tinggal potong!! Hanya itu yang mereka tahu! Mereka tidak punya.. apa namanya.. ehm, seni! Ya, mereka tidak paham nilai seni sebuah ban pinggang!!” Aku menyelesaikan kalimatku dengan susah payah.

“Yah, memang hanya kamu seorang di dunia ini yang sebegitu paranoid akan proses pemotongan sebuah ban pinggang!” desis istriku marah, “Dan tidak semua pelayan sepicik itu! Mereka hanya ingin yang terbaik untuk pelanggannya! Jangan berpikir serendah dan sesempit itu! Saat mereka menawarkan saran pemotongan, itu adalah sebuah solusi, bukan sekedar demi menjual!”

“Naifnya kamu! Ahh.. Sudahlah, intinya aku sudah bilang aku tidak mau, tidak suka, dan tidak ingin! Aku sudah bilang jangan memaksa membeli ban pinggang yang kebesaran! Nyaris ban pinggang itu kumuseumkan! Hanya karena kamu memaksa dipotong! Dan FYI, aku SANGAT TERPAKSA melakukan pemotongan itu! Again, hanya demi katamu ‘Aku ingin kamu tetap memakai ban pinggang itu’,” dengan ganas kutirukan suara mendayu seorang wanita –suaranya, maksudku.

Dia mulai terlihat sakit hati. Tertegun sesaat, sebelum dengan getir berkata, “Itu kado ulang tahunku untukmu. Sengaja kujadikan kejutan untukmu.. dan rupanya begini caramu memperlakukan sebuah pemberian tulus.”

Aku nyaris mengatakan sesuatu, tapi untunglah masih bisa kurem mulut besarku ini. Teringat pagi tadi saat dengan sumringah dia memberikan kado itu padaku.

“Aku  mengerti maksudmu. Tapi aku tidak suka ban pinggangku dipotong, berkali-kali kukatakan itu, tapi kamu tetap memaksa membeli..” Aku mengulangi, kali ini lebih pelan. Kutahan-tahan amarahku, kupaksa masuk ke dalam belahan hati terdalam.

“Kamu bilang kamu mengerti? Aku yakin seyakin-yakinnya, kamu tidak mengerti, dan tidak pernah berusaha mengerti. Aku juga sudah bilang berkali-kali, pertama, menurutku ban pinggang itu bagus dan sangat cocok untukmu, terlebih lagi cocok untuk hadiah ulang tahunmu. Kedua, aku benar-benar berpikir size terkecil memang size itu, sesuai kata si pelayan toko. Ketiga, kupikir kalaupun agak kebesaran sedikit, kita bisa memotongnya, sebagaimana direkomendasikan juga oleh para pelayan di toko itu. Keempat, kamu tahu? Seharusnya kamu menghargai pemberianku. Perasaanku. Seharusnya sebuah niat yang dihargai, bukan bendanya. Seharusnya kamu tidak mempermasalahkannya sedemikian besar seperti yang kamu lakukan saat ini. Dan kelima, kamu.. kamu benar-benar menyakiti hatiku,” Dia meninggalkanku dengan berjalan duluan ke mobil, kakinya dihentak-hentakkan. Aku yakin air matanya pasti sudah bercucuran, istriku yang cengeng itu.

Sampai malam harinya kami tidak bicara. Ulang tahunku hari itu bisa dibilang hancur, kelam, terserahlah apa namanya. Sebuah ban pinggang merunyamkan semuanya. Hatiku seolah menggodaku, “Ban pinggang, atau kamu sendiri?” Tapi kuabaikan dan kutekan dalam-dalam suaranya. Persetan.

Esok paginya ketika aku bangun, dia sudah pergi. Darahku nyaris naik ke ubun-ubun seketika, merasa dia sengaja melakukannya untuk membuatku kesal, ketika mendadak pandanganku tertuju pada sebuah plastik indah berwarna peach di kaki ranjang.

Isinya sebuah potongan kulit. Warna cokelat gelap. Kukenali sebagai potongan ban pinggang yang kemarin dimutilasi dengan ganas dari ban pinggang baruku –hadiah dari istriku.

Ada sebuah notes kecil, digantung dengan benang di potongan ban pinggang itu. Notesnya sederhana, dengan sebuah merk hotel tertulis besar-besar di sisi atasnya, tanda notes gratisan dari sebuah seminar yang pernah kami ikuti. Ada tulisan istriku di situ.

“Dear You,

Sebuah pemotongan tidak berarti semuanya selesai. Sebuah pemotongan tidak berarti duniamu berakhir. Aku mengerti, otentisitas ban pinggang itu dipertaruhkan dengan memotong bagian tubuhnya. Tidak lagi orisinil, tidak lagi suci dan mentah seperti yang selalu kaudamba. Tapi maukah di usiamu yang sudah bertambah setahun ini, kau sekali ini melihatnya dari sudut pandang berbeda? Pandanglah pemotongan itu sebagai suatu upaya agar kau bisa mengenakan ban pinggang itu dengan baik. Pandanglah ban pinggang baru yang sudah terpotong itu sebagai suatu benda yang sekarang ‘bisa berfungsi dengan baik’ pasca pemotongannya.

Sama seperti hubungan kita yang begitu naik turun, bukankah sebuah pemotongan akan lebih baik? Egois, ingin menang sendiri, kemarahan, dendam, semua sifat asli manusia itu, bukankah baik adanya kalau dipotong dan dibuang, untuk membuat sebuah hubungan berfungsi dengan baik dan bisa ‘bekerja’? Mengapa tidak memandangnya seperti itu?

 Aku mengerti sakit bagimu untuk menyaksikan pemotongan benda yang kausayang, sebagaimana sakit pula untuk kedua orang membuang semua sifat jelek mereka demi menyatukan sebuah hubungan. Mengalah selalu sakit. Melupakan juga menorehkan luka. Memaafkan apalagi, berdarah-darah rasanya. Tapi menurutku semua pemotongan itu layak dan pantas dilakukan. Harganya sebanding dengan kebahagiaan setelahnya.

 Happy Birthday (again), Husband..

 NB : Aku belanja sebentar ke Pasar. Let’s have a big birthday party today.”

Aku kehilangan kata-kata setelah membacanya, merasa diri begitu picik dan jahat. Diam sejenak mencerna semua kata-katanya, perlahan aku merasakan kebenaran dan keindahan katanya; dalam makna yang terkandung dalam ucapannya.

Bertekad tidak menjadi perusuh lagi dan mengacaukan semua, lekas aku mandi dan bersiap menyambut kepulangannya. Ban pinggang itu –yang sekarang terlihat bersinar entah kenapa- akan menemani kami melalui hari ini bersama, dan pasti seterusnya. Sebelum mandi, kusimpan baik-baik potongan ban pinggang bertalibenangkan notes itu. Untuk sebuah kenangan, supaya tak lapuk dimakan masa -sekaligus untuk diceritakan ke anak cucu kelak.

Selamat ulang tahun untuk diriku sendiri!


Fanny Wiriaatmadja

Follow Fanny Wiriaatmadja on WordPress.com

Enter your email address to follow this blog and receive notifications of new posts by email.

Join 1,713 other subscribers

Memories in Picture - IG @fannywa8

No Instagram images were found.

Blog Stats

  • 594,798 hits

FeedJit

Archives

Categories

Protected by Copyscape DMCA Takedown Notice Infringement Search Tool

January 2014
M T W T F S S
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031  
Jia Effendie

Editor, Translator, Author

Dream Bender

mari kendalikan mimpi

catatan acturindra

sekelumit cerita penolak lupa

JvTino

semua yang ada di alam ini bersuara, hanya cara mendengarnya saja yang berbeda-beda

Rini bee

Ini adalah kisah perjalanan saya. Kisah yang mungkin juga tentang kamu, dia ataupun mereka. Kisah yang terekam di hati saya. Sebuah karya sederhana untuk cinta yang luar biasa. Sebuah perjalanan hati.. :)

hati dalam tinta

halo, dengarkah kamu saat hatimu bicara?

Agus Noor_files

Dunia Para Penyihir Bahasa

kata dan rasa

hanya kata-kata biasa dari segala rasa yang tak biasa

Iit Sibarani | Akar Pikiran

Akar Pikiran Besar Mengawali dan Mengawal Evolusi Besar

cerita daeng harry

cerita fiksi, film, destinasi dan lainnya

Dunia Serba Entah

Tempatku meracau tak jelas

Astrid Tumewu

i am simply Grateful

Mandewi

a home

FIKSI LOTUS

Kumpulan Sastra Klasik Dunia

Meliya Indri's Notes

ruang untuk hobi menulisnya

anhardanaputra

kepala adalah kelana dan hati titik henti

catatanherma

Apa yang kurasa, kupikirkan...tertuang di sini...

Rido Arbain's Personal Blog

Introducing the Monster Inside My Mind

Sindy is My Name

Introducing the Monster Inside My Mind

MIZARI'S MIND PALACE

..silent words of a silent learner..

Nins' Travelog

Notes & Photographs from my travels

Gadis Naga Kecil

Aku tidak pandai meramu kata. Tapi aku pemintal rindu yang handal.

lalatdunia's Blog

sailing..exploring..learning..

GADO GADO KATA

Catatan Harian Tak Penting

Maisya

My Thought in Words and Images

Luapan Imajinasi Seorang Mayya

Mari mulai bercerita...

hedia rizki

Pemintal rindu yang handal pemendam rasa yang payah

Catatannya Sulung

Tiap Kita Punya Rahasia

chocoStorm

The Dark Side of Me

copysual

iwan - Indah - Ikyu

nurun ala

menari dalam sunyi

Rindrianie's Blog

Just being me

Nona Senja

hanya sebuah catatan tentang aku, kamu, dan rasa yang tak tersampaikan

https://silly-us.tumblr.com/

Introducing the Monster Inside My Mind

Doodles & Scribles

Introducing the Monster Inside My Mind

All things Europe

Introducing the Monster Inside My Mind

The Laughing Phoenix

Life through broken 3D glasses. Mostly harmless.

miund.com

Introducing the Monster Inside My Mind

Dee Idea

Introducing the Monster Inside My Mind

DATABASE FILM

Introducing the Monster Inside My Mind

www.vabyo.com

Introducing the Monster Inside My Mind

amrazing007 tumblr post

Introducing the Monster Inside My Mind

The Naked Traveler

Journey Redefined

~13~

Introducing the Monster Inside My Mind