Khianat Yang Termaafkan
Posted November 1, 2013
on:- In: Fiction
- 6 Comments
Hujan. Sore hari. Rintik-rintik awalnya, seolah berusaha mencari perhatian yang selama ini absen kuberi.
Aku bersidekap di depan kedai kopi langgananku. Murung ekspresiku, akibat tidak bisa pulang gara-gara sang hujan. Kutatap langit, yang masih terlihat cukup cerah dengan putihnya yang bersih.
Aku juga tahu kamu memperhatikanku, berusaha memberitahukan eksistensimu di sisiku. Sayangnya kuabaikan usahamu. Kamu masih membuatku kesal, sangat kesal. Hati ini masih sulit menerima perlakuan dan pengkhianatanmu.
“Hei,” kudengar kamu menyapaku. Aku diam saja, mati-matian berusaha menganggapnya tiada. Tatapanku tetap kuarahkan ke depan, seolah barisan mobil parkir di tanah kosong yang basah hasil guyuran hujan adalah objek menarik yang perlu mendapat seluruh perhatianku.
“Aku minta maaf,” katamu lagi.
Aku masih bergeming.
“Kamu harusnya mengerti posisiku waktu itu.. Ada yang lebih membutuhkanku daripadamu..” gumamnya lirih.
“Kamu menggagalkan semua, membuatku nyaris kehilangan pekerjaan,” balasku pedas. “P-E-N-G-K-H-I-A-N-A-T. Kata itu cocok untukmu..”
Hujan entah kenapa mulai menderas galak. Kulirik ke atas, langit mulai gelap, disebabkan kumpulan awan hitam yang saling bertubrukan hendak berkolaborasi kompak.
Kurasakan pula emosimu meninggi.
“Jangan egois,” tandasnya sakit hati, “Kamu tahu bahwa bocah ojek payung itu butuh uang untuk Ibunya.. Ibunya sakit keras, terbaring tanpa daya di gubug kecil mereka yang tidak layak itu. Terpaksa aku muncul tanpa ijin.. Apa salahnya kalau kubantu dia?”
Aku diam lagi. Sedikit sentilan menyinggung sisi hatiku, tapi gengsiku yang tinggi masih memenangkan kompetisi kesombongan.
Kulihat fenomena aneh lagi, dimana mendadak hujan mulai memelan, nyaris berbentuk gerimis lagi. Awan-awan hitam mulai menyingkir, seperti memberikan jalan untuk Sang Surya bersinar lagi di akhir eranya yang sebentar akan digeser malam.
“Jangan egois,” katanya lembut. “Akuilah bahwa anak itu lebih membutuhkanku saat itu..”
Aku diam, menunduk. Sepertinya sama seperti sang hujan yang mulai mengecil, harga diriku meluruh sedikit, tersentuh oleh bayangan bocah cilik yang berjuang demi ibunya.
“Yah,” aku bergumam salah tingkah.
Kurasakan kamu tersenyum.
“Maafkan aku,” katanya tulus. “Lain kali aku tidak akan mengkhianatimu.. Aku akan memenuhi perjanjian kita, tidak akan muncul seenak jidat lagi dan merusak semua..”
Senyum kecilku mulai merekah. Aku menghela nafas. Nafas yang menyiratkan persetujuan dan penerimaan maaf.
“Baiklah,” kataku.
Sahabatku tersenyum. “Aku pergi dulu ya,” pamitmu. Aku tersenyum melambai sejenak.
Hujan berhenti. Hilang pergi. Kerjasama kami resmi dimulai lagi.
Deringan telepon genggam mengejutkanku. Kurogoh kantungku, dan kulihat layar teleponku, sebelum kemudian mengangkatnya.
“Pak Pawang, mohon bantu, besok ada resepsi kawinan di tepi pantai.. Kami butuh jasa Bapak..”
Aku tersenyum.
Jumlah Kata : 381
Dibuat untuk mengikuti #GiveawayAfterRain Ridoarbain
1 | eksak
November 1, 2013 at 8:13 am
Hehe, kapan ya Pak Pawang gak musuhan ama hujan? Padahal kalo gak ada hujan kan dia gak kerja! Harusnya mereka baikan, dong?
fannywa
November 1, 2013 at 8:19 am
Ahaha agak rancu yak..
Maksudnya ‘sahabatan’ sih sebenernya bekerjasama gitu.. Perjanjiannya, kalau si pawang lagi beraksi, hujan ga boleh turun 😀