[BeraniCerita #30] Sebuah Salam Kenal
Posted October 8, 2013
on:- In: Fiction
- 8 Comments
Sebuah peron stasiun kereta. Dengan hiruk pikuk khas tempat pertemuan ribuan orang dengan keperluan dan tujuan masing-masing yang hanya diketahui kepalanya. Harumnya parfum sejuta aroma berharga puluhan ribu sampai jutaan bercampur hangat dengan peluh keringat dan asamnya rasa ketiak hasil terpaan galak Sang Surya. Sebuah paduan suara tanpa pedoman antara percakapan, tawa, pekik dan teriakan dari mereka sang pelintas, yang menghasilkan melodi aneh tapi nyandu untukku.
Setiap hari aku menjadi pengamat dan penikmat di sini. Aku adalah saksi hidup dari rindu dan cinta orang-orang yang bertemu dan bersua di sini. Aku menyaksikan derasnya air mata dan pekik tangis mereka yang berpisah di sini, sekaligus mencicipi manisnya perjumpaan sepasang insan penuh cinta ataupun sanak keluarga yang saling merindu disiksa waktu dan jarak.
Mataku juga ikut perih saat menyaksikan mereka yang penuh penantian tanpa hasil di sini, selama berhari-hari bahkan berminggu-minggu. Getir dan pahitnya semuanya besertaku juga saat melihat rontoknya semangat mereka menanti yang dikasihi tiada datang kembali.
Aku juga saksi langsung dari bengisnya perkelahian antar preman, perebutan tempat jualan, perselisihan orang yang saling menyenggol di tengah kerumunan minim jeda atau pun spasi yang mengakibatkan ruang toleransi orang menipis dan putus bak karet diregangkan sampai maksimal. Aku pengamat dari ratusan ribu manusia yang berjalan cepat dengan ritme kesibukan mereka; menjadi observer dalam ketidakpedulian satu sama lain dari mereka yang tidak saling mengenal.
Duniaku adalah memperhatikan mereka yang bercengkrama dalam lingkaran persahabatan dan pergaulan. Hidup mati pun aku pernah bertemu dengannya, lewat mereka yang sedari subuh mangkal di tepi luar menanti para calon pembeli dengan mengharapkan secercah keberuntungan dan berkah untuk menafkahi mereka yang menunggu di rumah. Belum lagi puluhan ojek yang menunggu dengan penuh harap di gerbang luar.
Aku juga saksi sejarah saat terjadi peristiwa jatuhnya puluhan anak kecil dan pemuda dari atas gerbong kereta. Kenekatan dan ketidakpedulian mereka akan arti hidup membawa mereka dengan cepat disongsong dan disambut hangat oleh kematian. Air mataku ikut mengalir saat itu, perih dan pilu berbaur.
Sungguh pahit manisnya kehidupan kukecap di sini. Inilah hidupku, jiwa dan ragaku, tetesan darah dan tulang sumsumku. Riuh rendah suasana yang diciptakan para insan penumpang kereta berpadu manis dengan suara melengking kereta dan peluit para penjaga, semuanya menyatu sinkron seperti tercipta untuk saling melengkapi dalam suatu harmoni yang hanya aku seorang yang bisa mengerti, menurutku.
Aku mungkin buka Peron 9 ¾ yang tersohor di kisah Harry Potter, bukan pula sebuah peron dari Shinkanzen, kereta super cepat di negeri orang itu. Aku hanya sebuah peron kereta sederhana di pinggir kota ini, tapi betapa kucinta hidup dan duniaku ini. Sedikit pun keinginan untuk menukarnya tiadalah mampir dalam benakku. Enggan aku beranjak dari rutinitas harian yang mengisi rongga kenangan dalam tahunan hidupku.
Salam kenal wahai kalian, semoga kita bisa bersua suatu saat nanti saat kalian mampir ke kota indahku ini. Akan kubawa kalian menelusuri lorong-lorong panjang ritualku di sini sekaligus menikmati kisahku secara hidup.
Total Kata : 471
Cerita ini dibuat untuk memenuhi tantangan BeraniCerita dengan membuat Flash Fiction bersettingkan Peron Kereta Api.
1 | chris13jkt
October 8, 2013 at 6:31 am
Makin keren aja tulisannya, Fan!
fannywa
October 8, 2013 at 6:42 am
Hoaaaaa thank you Mas 😀