Archive for October 11th, 2013
Dear Diary
Posted October 11, 2013
on:- In: Fiction | Love
- Leave a Comment
Ini sebuah pemberontakan. Kudeta mengejutkan di pagi hari yang mendung berawan. Buku harianku ngambek seharian ini, bungkam seribu bahasa dan menolak kusentuh, setelah mungkin menahan diri selama mingguan, bahkan bulanan. Aku mengerti apa yang dirasanya. Suatu rasa sebal yang bermutasi perlahan menjadi kesal, kemudian secara bergradasi naik menjadi muak, ujung akhirnya mendorongnya berunjukrasa. Lelah terhadap tuannya, sang penulisnya yang setia. Aku, maksudnya.
“Jangan tulisi aku lagi dengan namanya,” kecam buku harianku setelah akhirnya kudesak bicara, mulai dari cara lembut sampai kasar, “Aku sungguh sudah muak.. Muak dengannya dan muak denganmu.. Aku tidak mau lagi tubuhku dikotori oleh nama busuknya.. Yang -perlu kaucatat- terus menerus kautorehkan tanpa henti..”
Walaupun aku mengerti rasa yang dialaminya, seketika emosiku tetap tersulut mendengar caranya berbicara padaku. Hampir kubanting dan kuinjak dia, kalau saja tidak kuingat bahwa setahunan ini telinganyalah yang selalu ada buatku tanpa kompromi.
“Kamu tidak berhak mengaturku,” desisku marah.
“Aku begini karena rasa sayang!” jeritnya histeris, “Buang dia dari lembaran hidupmu! Enyahkan dia dari lembaranku! Bukalah lembaran baru!”
Aku diam lagi, tidak tahu harus bicara apa pada Sang Sahabat.
“Dengarkan,” akhirnya aku berkata lirih sambil memejamkan mata. “Aku tahu bagaimana perasaanMU. Terlebih lagi, aku juga tahu bagaimana perasaanKU..”
“Yeah, jelas kamu tahu.. Kamu terus menerus membiarkan dirimu dibodohi olehnya.. Sekali kamu berhasil menjauhinya, kemudian kamu biarkan dirimu mendekat lagi, begitu terus, sampai aku sudah hafal polanya dan bahkan sudah tahu apa yang mau kautulis sebelum kaujamah aku dengan bolpon murahan itu..” Buku harianku berkata dengan cepat penuh emosi, hampir tanpa titik koma.
“Kamu tidak mengerti,” gumamku, otakku separuh memikirkan bolpoin yang disebutnya murahan itu, yang sedikit menyinggungku dan seketika melahirkan protes pelan di dalam hati, tapi akhirnya kuabaikan dengan alasan prioritas.
“Bisa dibilang aku hampir mengerti. Yang tidak kumengerti hanyalah mengapa kamu sebodoh itu..”
Aku diam lagi, dan akhirnya mengambil bolpoin murahan kesayanganku itu.
“Ijinkan aku menulis lagi.. Untukmu, sebuah penjelasan tidak bisa lewat lidah bibir.. Dan aku juga lebih nyaman jika mengguratkannya,” pintaku. Di benakku kuduga dia akan menolak mentah-mentah, tapi tak dinyana dia membuka halaman kosongnya walaupun tidak lantas seketika dan lekas. Akhirnya dia membiarkanku menuliskannya.
“Kalau tak masuk akal penjelasanmu, kita putus saja,” ancam buku harianku galak. Aku tersenyum simpul, tahu pasti bahwa itu ancaman belaka.
Maka mulailah aku menulis, sambil tiada berharap dia mau mengerti, sebab kebanyakan manusia berakal sehat pasti sulit memahami, apalagi sebuah kitab tak bernyawa seperti dirinya.
“Dear Diary,” aku memulai menulis. Kalimat picisan yang setia menemaniku di setiap awal curahan hati dalam lembaran buku itu.
“Aku tahu bagaimana pandanganmu terhadap pria itu. Dan aku tahu kegemasan dan kebencianmu akan mengapa aku tidak bisa menjauhinya dan selalu kembali padanya. Sebenarnya sebabnya sederhana dan sangat logis : Aku belum mampu. Itu saja. Aku sungguh belum mampu. Sebab jahatnya dia masih bisa tertutupi sesekali oleh kebaikannya, menjadikan aku akhirnya selalu berbalik lagi dan lagi. Seperti yang kau bilang, polanya sama. Selalu kemudian dia menjahatiku lagi. Aku pergi lagi, kemudian kembali lagi. Sebenarnya bukan tanpa sebab aku begitu. Aku hanya terus menantikan kejahatannya lebih lagi, terus sampai suatu titik dimana semua kebaikannya sudah tidak bisa menutupi jahat dan busuknya lagi. Titik dimana hanya kejahatannya yang bisa kulihat, memenuhi semua edaran pandanganku akan dirinya. Di titik itulah aku akan bisa meninggalkannya tanpa beban. Aku akan lepas dan bebas, dan tidak akan ada keinginan kembali lagi. Moment itulah yang terus kunanti. Kini aku masih separuh jalan.. Aku tidak bisa meninggalkannya sekarang, sebab kebaikannya masih terus membayang memabukkan dan ganjalan itu berat tersampir di dalam dada.. Kalaupun meninggalkannya, seperti yang kukatakan tadi, aku ingin meninggalkannya secara total.. Tanpa ganjalan ataupun penyesalan..”
Buku harianku membaca dirinya sendiri, kemudian memotong tegas, “Untuk apa kamu menunggu sampai selama itu?? Ini baru separuh jalan, katamu?”
“Aku tidak memungkiri bahwa di tengah perjalanan kami, aku sedikit berharap dia bisa berubah.. Setengah hatiku menyerukan itu setiap pagi aku bangun. Alangkah indahnya bila itu terjadi.. Dan kalaupun tidak terjadi, seperti yang kutuliskan tadi, titik jahatnya pasti akan maksimal sehingga bebanku akan tiada saat meninggalkannya untuk terakhir kalinya nanti.. Aku akan menyongsong itu bersamamu, dan kaulah yang akan jadi saksi pertamanya..”
Terakhir kutulis sebuah kesimpulan, “Entah dia berubah ataupun tidak, menurutku penantian ini cukup berharga dan layak, dan aku melakukannya untuk kebahagiaanku dan hidupku..”
Buku harianku diam, tapi bukan dalam nuansa marah ataupun ngambek. Aku juga selesai menulis. Kuletakkan bolpoin murahan itu, sambil mulai berpikir untuk membeli bolpoin bagus yang lebih layak untuk sahabatku itu.
Penjelasanku final. Aku tahu dia bisa mengerti walau tanpa ada kata setelahnya di antara kami. Kami berteman lagi.