Movie Review : Oct 2014
Posted October 31, 2014
on:- In: Movie
- Leave a Comment
OUIJA
Well, sama halnya dengan film ini, di akhir saat meninggalkan bioskop pikiran saya sudah melayang ke hal lain; ini dan itu, dan film itu dengan cepat menguar dari kepala. Jadi apa sebenarnya kenikmatan menonton film itu kalau sepanjang film saya hanya melihat ke arah lain mana pun asal tidak ke layar, menutup kuping kencang-kencang tanpa ada lagi terbersit rasa malu akan pendapat penuh hina penonton lain, dan di akhir sang memori bahkan enggan menempel di benak barang secuwil pun? Entahlah, tanyakanlah pada para setan penuh pesona itu.
Kesan pertama tentang film ini adalah ritme tidak berjalan konsisten. Awalnya dia sama seperti film horor lain; penonton dibuat tegang dengan alur yang lambat dan mencekam. Ya, itu di awal film. Tapi lama-kelamaan, alur berjalan dengan lebih cepat, malahan cenderung sangat cepat. Hampir setiap adegan mencekam berjalan hanya sekian menit dan kemudian selesai, tentunya dengan berdarah-darah. Entah memang dibuat seperti itu, atau memang cerita berjalan kedodoran. Tapi yang pasti makin ke belakang saya makin lega karena kita tidak disiksa dalam detik-demi-detik yang mencekam dan membuat frustrasi, tapi sebaliknya adegan-adegan seperti berlangsung kilat.
Mengenai motif, background ceritanya not bad dan ada twist yang dimasukkan menjelang akhir. Ending cerita lagi-lagi sedikit berbeda dengan film horor kebanyakan. Ekspektasi kita dihancurleburkan menjelang detik-detik film berakhir, tapi somehow saya takjub karena fenomena ketidakpasaran ini.
Ketidakmakesensean cerita, ya, ada di beberapa bagian, misal saat si cowok browsing mengenai histori yang terjadi di rumah itu dan begitu mudahnya menemukan hasil yang sesuai hanya dengan keyword begitu general. Yang juga antara disayangkan/tidak disayangkan adalah ekspektasi pribadi saya terkait prosedur bermain OUIJA di mana di akhir kita harus mengucapkan salam perpisahan. Well saya pikir unsur terlupanya salam pisah akan ada di dalam salah satu adegan film dan memicu semua kejadian buruk, namun sepertinya hal itu tidak terjadi. Jadi semua cerita hantu-menghantui ini murni hanya karena sebuah papan OUIJA. Tidak ada pencetus sama sekali. Jadi sepertinya terbentuk konklusi bahwa sekalipun kita bermain dengan cara yang tepat, OUIJA tetaplah sebuah papan berbahaya. Bicara soal ekspektasi lagi, tadinya saya berharap ada motif tertentu yang membuat si gadis pada awalnya bermain OUIJA lagi, tapi ternyata itu hanya sebuah faktor kebetulan yang sebenarnya agak mengecewakan.
Akting, no comment. Ga terlalu greget, tapi para pemain muda dengan paras enak dilihat cukup membantu.
Score : 7.
CHEF
Ini adalah salah satu film yang di awal saat melihat posternya menurut saya harus ditonton, karena melibatkan banyak faktor yang memicu adrenalin dalam diri, di antaranya makanan, Downey, dan kegemaran akan kisah drama dan perjalanan hidup.
Ceritanya sesuai dugaan saja, menurut poster dan judulnya : tentang kisah hidup, naik-turun perjalanan karir seorang Chef yang punya idealisme sendiri. Film sederhana ini dibanjiri deretan artis ternama, walaupun tidak semua punya kontribusi penting baik dalam sisi peran maupun durasi waktu. Porsi terbesar sendiri tentu saja dilakoni oleh pemeran Happy di Iron Man sebagai The Chef. Downey kesayangan saya hanya tampil 10 menitan, tapi seperti biasa kekerenannya merajai sejagat.
Kelebihan utama film ini adalah akting yang kuat dari para pemerannya dan kenaturalan mereka, terutama dua koki pemeran utama. Akting si anak juga cukup menggigit. Menyaksikan kisah mereka, dialog-dialog dalam keseharian mereka, mimik dan tawa mereka, semua seperti menyaksikan kisah sungguhan di dunia kita; kisah tentang seorang teman akrab atau sejenisnya. Sungguh, sangat naturalis.
Mengenai tampilan makanannya, tidak usah dibahas, tentunya sangat representatif dan menggugah selera, apalagi bagi para rakusto yang motif menontonnya tulus hanya untuk, demi, dan atas nama makanan.
Overall film berjalan cukup datar menurut saya dengan konflik dan ending yang tentu saja predictable. Di akhir, tidak terlalu berkesan, tapi tetap sekian puluh menit yang cukup menyenangkan dan menghibur. Sempat terbersit tanya sedikit, apakah ada bedanya, menjadi koki restoran France ternama dengan kreasi yang sangat appearance-based, dengan menjadi koki keliling roti isi. “Apa ga sayang skill-nya?” pertanyaan orang awam itu sempat muncul sejenak.
Score : 7.5
FURY
Tapi karena ini Brad Pitt dan si Transformer-guy, maka sepertinya tidak ada salahnya kalau film ini ditonton. Bukan karena faktor kemenarikan mereka, karena I’m not their fans at all, tapi karena nama besar mereka.
Fury tampil begitu lambat sejak awal, dan konsisten terus seperti itu hingga akhir walaupun adegan puncak yang menyajikan perang 5-6 orang melawan ratusan orang cukup membuat terkesiap. Di tengah ada beberapa scene yang sumpah dipikir sampai uban berevolusi pun tetap tidak menghadirkan jawaban atas pertanyaan “Apa relevansi dan gunanya adegan-adegan ini dalam film?” Saya tidak usah menyebut adegannya, tapi setelah kalian menonton, kalian akan tahu adegan mana yang saya maksud. Panjang, membosankan, tiada guna dan tidak mengundang impresi apapun yang menolong kita memahami lebih lagi tentang inti film ini.
Brad Pitt sendiri bermain apik seperti biasa, dan sumpah lagi, di film ini dia kelihatan lebih keren dari biasanya, yang hanya bisa ditandingi dengan moment saat dia mengenakan tuxedo di hari pernikahannya, membuat kaki jenjang dan badan bagusnya terbungkus sempurna.
Di akhir, kami semua keluar bioskop dengan wajah kosong, seperti masih berusaha keras menemukan sisi menarik film ini.
Score : 7
Leave a Reply