[BeraniCerita #38] Pasar Mati
Posted November 29, 2013
on:- In: Fiction
- 11 Comments
Dalam hari yang biasa-biasa saja aku sudah benci tempat semrawut ini, apalagi setelah hujan singgah mengguyur, kemudian tanpa dosa menyisakan prasasti berupa kolam-kolam kecil yang sukses terbentuk dari ceruk yang terserak di sepanjang jalan, bukti pengabaian pemerintah akan kondisi infrastruktur daerah ini.
Jalan becek, alhasil berjalan harus ekstra hati-hati kalau tidak mau noda hitam air sisa hujan melekat mesra di kakimu.
Kutahan-tahan deritaku walau mulut konsisten mengutuk. Sabarlah, gumamku, sebentar lagi semua tak lagi begini.
Kiri kanan semua wajah tukang jualan langgananku muram durja. Mendung penyambut hujan sudah lama reda, tapi pasar ini punya mendung yang baru.
Mbok Kikir –dipanggil seperti itu karena kekikirannya dianggap tak masuk akal- yang biasa sibuk menjerit histeris, membalas sengit gerutuan pelanggannya yang protes akan biaya-biaya ekstra yang dikenakan seenak jidat, kini diam seribu bahasa dengan bibir terkatup rapat. Muka judesnya makin menyeramkan. Ajaibnya lagi, saat aku meminta kantung plastik untuk daun seledri belanjaanku, dia memberikannya cuma-cuma tanpa sepatah kata pun keluar!
Mang Uja, penjual tomat, lain lagi. Kalau biasanya bibir manisnya mendayu-dayu penuh rayu pada pelanggannya, kini kata-kata gombalnya berganti helaan napas berkali-kali. Sengaja disuarakan kencang-kencang, pertanda sifat suka jadi pusat perhatiannya belum digerus mendung massal ini. Hanya wajahnya saja yang terlihat asam. Ucapan terima kasihku hanya dibalas anggukan kaku. Aku jadi sedikit rindu pekik histerisnya, “terima kasih kembali, wahai manisku cintaku yang menawan indah..”
Terakhir saat mampir ke tempat Bang Jawir si tukang ayam, aku bengong melihat dirinya sudah tampak dari jauh. Utuh. Lazimnya, wajahnya akan tertutup setumpukan ayam-ayam yang baru dipotong. Dia diam bergeming dengan tatapan hampa, seolah sedang ada di alam lain.
“Ayamnya mana, Bang?” seruku heran.
Dia menggeleng-geleng, pasang raut terganggu dan menatapku sebal seolah pertanyaanku menyentil harga dirinya. Terpaksa ayam absen kubeli hari ini. Maklum hanya si abanglah penjual ayam satu-satunya di pasar ini.
Sesi belanja selesai, segera kuputuskan kembali ke rumah. Nuansa riuh rendah khas pasar ini benar-benar sudah lenyap. Semua keributan tawar-menawar dan segala perdebatan jual-beli seakan tamat riwayatnya. Pasar ini sedang menjemput ajalnya.
Ah, peduli amat, langkahku toh tetap ringan tanpa beban. Besok hypermart baru di blok sebelah resmi buka. Nyonyaku sudah bilang, selanjutnya kami akan belanja di sana.
Selamat tinggal becek, panas terik dan segala jenis bau-bauan pasar! Aku bahagia!
Total Kata : 365
Diikutsertakan dalam tantangan #BeraniCerita untuk membuat flash fiction dengan setting pasar tradisional.
1 | Susanti Dewi
November 29, 2013 at 4:35 am
kasihan itu pasar tradisioanal, tergantikan oleh pasar moder hiks…
fannywa
November 29, 2013 at 7:33 am
Iya nih.. 😦